Roni Paslah, jurnalis pemerhati pemerintah dan penggiat Korupsi yang tinggal di Kabupaten Banyuasin Sumsel.
BANYUASIN,TRIBUNUS.CO.ID - Kondisi Pers saat ini yang sangat dibutuhkan, oleh asupan Publik berita yang Benar tanpa ada motif dan unsur kepentingan pribadi atau kelompok. Oriantasi yang di buming kan saat ini berita Hoax, mungkin Pers yang bernaung di perusahaan berorientasi pada pasar mungkin bebas dari intervensi pemerintah, tetapi fenomena menyedihkan terjadi di Indonesia. Perusahaan pers dikuasai oleh para konglomerat.
“Di Indonesia, sebanyak 12 kelompok media besar menguasai saluran informasi dari ujung Aceh hingga Papua. Kedua belas kelompok media ini menguasai saluran informasi mulai dari media cetak koran, majalah, radio, televisi, serta jaringan berita online.” dikutip dari Anggia Valerisha waktu lalu 2017
Dampak konglomerasi media ini adalah terdistorsinya informasi yang diterima masyarakat. Masyarakat akhirnya tidak menerima informasi yang memadai, dan hanya mewakili satu sudut pandang. Pemberitaan juga menyuarakan kepentingan pemiliknya. Khalayak atau publik hanya dianggap sebagai pasar semata. Monopoli kepemilikan ini juga hanya menghasilkan opini yang seragam. (Anggia Valerisha: 2017)
Lebih memilukan lagi ketika para konglomerat media terjun ke ranah politik praktis dan berselingkuh dengan penguasa, sehingga peran watchdog bukan saja mandul tetapi pers berubah menjadi lapdog (anjing peliharaan) atau attack dog (anjing penyerang) bagi kepentingan pemiliknya. Kepentingan khalayak atau publik bukanlah tujuan dari perusahaan pers tersebut.
Orientasi jurnalisme watchdog kepentingan publik bagi pers dalam pandangan pers barat yang diadopsi pers berbagai negara termasuk di Indonesia. Namun bagaimana dengan pers Islam? dapatkah konsep pers sebagai watchdog sejalan dengan Islam sebagai pandangan hidup?
Seperti yang dibahas dalam “Menyelami Jurnalisme Islami” salah satu tawaran dalam wacana jurnalisme Islami adalah prinsip jurnalisme Islami adalah tabligh (edukasi), termasuk di dalamnya amar ma’ruf nahi munkar. Satu ajaran untuk menyokong yang hak dan menolak yang batil.
“Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolak lah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)
Ajaran amar ma’ruf nahi mungkar inilah yang diterapkan pula dalam jurnalisme Islami ketika pers Islam melakukan kontrol atau pengawasan terhadap penguasa. Penguasa dalam ajaran Islam bukanlah figur makhluk yang bebas dari kesalahan. Justeru tanggung jawab sebagai pemimpin amatlah berat. Namun ketika seorang pemimpin menyimpang dari ajaran Islam maka meluruskannya merupakan salah satu bentuk jihad tertinggi.
Seperti yang dibahas dalam “Menyelami Jurnalisme Islami” salah satu tawaran dalam wacana jurnalisme Islami adalah prinsip jurnalisme Islami adalah tabligh (edukasi), termasuk di dalamnya amar ma’ruf nahi munkar. Satu ajaran untuk menyokong yang hak dan menolak yang batil.
“Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolak lah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)
Ajaran amar ma’ruf nahi mungkar inilah yang diterapkan pula dalam jurnalisme Islami ketika pers Islam melakukan kontrol atau pengawasan terhadap penguasa. Penguasa dalam ajaran Islam bukanlah figur makhluk yang bebas dari kesalahan. Justeru tanggung jawab sebagai pemimpin amatlah berat. Namun ketika seorang pemimpin menyimpang dari ajaran Islam maka meluruskannya merupakan salah satu bentuk jihad tertinggi.
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadis ini hasan).(red.rn)
Simak berita di bawah tersebut :
Ilustrasi power dan kapasitas media untuk konsumsi Publik yang semakin hari semakin dilemahkan di kriminalisasi tanpa ada perlindungan dari pemerintah sesuai dengan yang suda di atur dalam Perundang undangan Pers
Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya berdasar Undang-Undang No. 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang ditandatangani Presiden Soekarno, 12 Desember 1966. Dewan Pers kala itu, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No.11/1966, berfungsi mendampingi pemerintah, bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Sedangkan Ketua Dewan Pers di jabat oleh Menteri Penerangan (Pasal 7 ayat (1).
Pemerintahan Orde Baru melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, yang ditandatangani Presiden Soeharto 20 September 1982 tidak banyak mengubah keberadaan Dewan Pers. Kedudukan dan fungsinya sama: lebih menjadi penasehat pemerintah, khususnya kantor Departemen Penerangan. Sedangkan Menteri Penerangan tetap merangkap sebagai Ketua Dewan Pers.
Perubahan yang terjadi, menurut UU No. 21 Tahun 1982 tersebut, adalah penyebutan dengan lebih jelas keterwakilan berbagai unsur dalam keanggotaan Dewan Pers. Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982 menyatakan “Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain”. Undang-Undang sebelumnya hanya menjelaskan “anggota Dewan Pers terdiri dari wakil-wakil organisasi pers dan ahli-ahli dalam bidang pers”.
Perubahan fundamental terjadi pada tahun 1999, seiring dengan terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang diundangkan 23 September 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Bacharudin Jusuf Habibie, Dewan Pers berubah menjadi Dewan Pers (yang) Independen. Pasal 15 ayat (1) UU Pers menyatakan “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”.
Fungsi Dewan Pers Independen tidak lagi menjadi penasehat pemerintah tapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural antara Dewan Pers dengan pemerintah diputus, terutama sekali dipertegas dengan pembubaran Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Tidak lagi ada wakil pemerintah dalam keanggotaan Dewan Pers seperti yang berlangsung selama masa Orde Baru.
Meskipun pengangkatan anggota Dewan Pers tetap melalui Keputusan Presiden, namun tidak ada lagi campur tangan pemerintah terhadap institusi maupun keanggotaan Dewan Pers yang independen. Jabatan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers tidak lagi dicantumkan dalam Keputusan Presiden namun diputuskan oleh seluruh anggota Dewan Pers dalam Rapat Pleno.
Anggota Dewan Pers yang independen, menurut UU Pers Pasal 15 ayat (3), dipilih secara demokratis setiap tiga tahun sekali, yang terdiri dari: “(a) Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; (b) Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; dan (c) Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers”.*
Pewarta : rn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar