SURAT MEMINTA PERLINDUNGAN HUKUM
11 Februari 2019
Kepada Yth : Kapolres Banyuasin
AKBP Yudhi Surya Markus Pinem, SIk.
Di -Tempat
Dasar Hukum.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 yang kemudian dilakukan penambahan (revisi) beberapa pasal melalui Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014.
Wujud perlindungan hukumnya, seperti yang tertuang dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yakni kemerdekaan menyatakan atau mengeluarkan fikiran dan pendapat.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pada pasal 4 ayat (4) yang bunyinya adalah :
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak” yang bertujuan agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber rahasia.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak” yang bertujuan agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber rahasia.
Upaya penegakan hukum pers, diawali dengan terjadinya interaksi sosiologis antara pers dan masyarakat dan, Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Kata kunci : Legal Protection, journalists and Journalistic Ethics
Pokok Permasalahan :
Maka dengan ini Saya Roni Paslah Wartawan juga Biro media petisi.co tribunus.co.id Sumatera Selatan. Melaporkan atas yang suda terjadi pada saya dan bagian keluarga saya baik langsung maupun tidak langsung.
Lapor Bapak Kapolres Banyuasin Sumsel.
Saya dan keluarga selama ini dan hampir 1 bulan belakangan ini merasa tidak nyaman dengan kondisi yang ada, (Terancam) Banyaknya keganjilan yang membuat resah saya dan keluarga bermacam2 modus Intervensi Intimidasi percobaan penganiayaan, pembunuhan, rekayasa kasus yang bersifat menyebak saya untuk menjerat secara hukum saya dan bagian keluarga, tidak hanya itu saja"
Saya dan keluarga juga di kriminalisasi dengan cara harta benda saya dan bagian keluarga saya, dibakar, dicuri dan dirusak” tanpa ada tindakan yang cepat dan tegas dari pihak yang berwajib Saya tidak tahu Dalang dan Motif dibalik semua ini.
Sepertinya ada oknum dan kelompok-kelompok yang mengiginkan saya dan keluarga celaka resiko ancaman yang setiap saat bisa membahayakan keselamatan saya dan keluarga.
Sepertinya ada oknum dan kelompok-kelompok yang mengiginkan saya dan keluarga celaka resiko ancaman yang setiap saat bisa membahayakan keselamatan saya dan keluarga.
Diyakini ini karena saya seorang jurnalis yang sangat kritis terhadap pejabat pemerintah yang korup, penegakan hukum yang tidak Adil beradab dan segala bentuk kezaliman yang meresahkan masyarakat yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab moril saya seorang Jurnalis luput dari tuntutan Profesi.
Dibaca :
BANYUASIN 19 JANUARI 2019
Nomor : 01/TBS-MBM/LS3-JPKP/2019
Perihal : Kasus KKN Kabupaten Banyuasin Tahun 2018.
Mohon perlindungan Secara Hukum pada seorang jurnalis atau Wartawan dan Perlindungan Secara Hukum Pada LPSK Sebagai Warga Negara Indonesia yang Baik.
TTD
Roni Paslah
Media Petisi.co tribunus.co.id Biro Sumsel
Alamat Dusun 1 Desa Tebing Abang RT.RW : 04/01 Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Sumsel.
Tembusan :
Kapolda Sumsel
Kompolnas
Komnas HAM
Arsif Redaksi media petisi.co
Arsif Redaksi media tribunus.co.id
Keterangan dan penjelasan atas perlindungan bagi saksi dan korban.
Jaminan hak melalui norma hukum
melahirkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang merupakan lex specialis perlindungan saksi dan korban di Indonesia.
Peran saksi dan korban sangat sentral dalam menemukan kejelasan fakta hukum sebagai upaya menurunkan indeks kriminalitas (kejahatan), peranan keterangan saksi menjadi sangat penting terutama dalam kejahatan yang dikelompokkan menjadi extraordinary crime dan sebagai salah satu alat bukti sah yang tercantum pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia diatur secara khusus melalui lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Pasal 1 angka 8 tercantum ketentuan sebagai berikut:
Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang- Undang ini.
Dari ketentuan diatas peran sentral dipegang oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dimana perlindungan diberikan kewajiban kepada LPSK. Pada Undang Undang Nomor 13 Tahun 2016 tidak secara khusus menyebutkan pelapor dengan istilah Whistleblower, tapi yang dimaksud dengan pelapor dalam penjelasan UU ini adalah orang yang memberikan informasi beritikad baik.
Substansi perlindungan tersebut dengan penambahan Pasal 15 ayat (3) sebagai berikut:
(3) Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.”
Hak sebagaimana yang dimaksud pada pasal 5 ayat (2) adalah sebagai bentuk perlindungan hukum. Hak tersebut adalah:
a. memperoleh perlindungan atas keamanan peribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya ;
b.ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.mendapat penerjemah;
e.bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f.mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g.mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h.mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i.dirahasiakan identitasnya;
j.mendapat identitas baru;
k.mendapat tempat kediaman sementara;
l.mendapat tempat kediaman baru;
m.memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n.mendapat nasihat hukum;
o.memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
p.mendapat pendampingan.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 juga menambahkan substansi pengaturan lain terhadap pelapor dan saksi pelaku, yaitu sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang,Dalam pendekatan sosiologis, bentuk perhatian atau perlindungan yang diberikan oleh Negara melalui aparat penegak hukum kepada para saksi masih sangat minim. Sehingga hal ini menimbulkan phobia masyarakat dalam memberikan keterangan sebagai saksi atau korban. Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya, harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Perlindungan yang ini minim juga menimbulkan keengganan saksi atau korban memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakan sendiri.
Selain itu, berbagai bentuk kekerasan, ancaman kekerasan atau intimidasi yang diterima korban menjadi alasan utama yang mempengaruhi psikologi korban maupun saksi kejahatan dalam memberikan kesaksiannya atas suatu perbuatan pidana, bahkan seringkali seorang yang melaporkan suatu perbuatan pidana justru dilaporkan kembali telah melakukan pencemaran nama baik orang yang dilaporkan melakukan kejahatan.
Beberapa faktor tersebut berdampak pada banyak kasus yang tidak tersentuh proses hukum untuk diproses di persidangan, karena tidak adanya satupun saksi, korban dan/atau pelapor yang berani mengungkapkan kesaksiannya, sementara alat bukti yang didapat oleh penyidik sangat kurang memadai, sehingga penyidik pun tidak bisa memproses lebih lanjut suatu perkara pidana. Beberapa hal tersebut pula yang menjadi pertimbangan pembentuk undang-undang, hal ini tercermin dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan: Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar