TRIBUNUS.CO.ID - Praktek jual beli fasilitas di Lapas/rutan bukanlah hal baru, ini sudah berlangsung lama dan terjadi hampir di smua Lapas seluruh Indonesia. Budaya jual beli fasilitas ini telah mengakar kuat dan menjadi bisnis kotor di dalam institusi lembaga pemasyarakatan. Terkesan ada pembiaran dan sengaja dipelihara karena dari level bawahan hingga atas di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan merasa menikmati.
Sudah hampir 5 tahun Mentri Hukum dan Ham Bpk Yasonna Laoly menjalankan tugasnya, namun praktek jual beli fasilitas Lapas tak pernah berhenti justru makin parah.
Terbongkarnya praktek jual beli fasilitas di Lapas Sukamiskin dan beberapa lapas lain pd waktu lalu seperti puncak gunung es yang menyisakan banyak persoalan. Buruknya sistem pengelolaan Lapas telah menjadi bom waktu yg siap meledak kapanpun dan akan menggerus wibawa kementrian Hukum dan Ham.
Berdasarkan hasil investigasi dan laporan masyarakat yang kami kumpulkan sebagai tindak lanjut dari investigasi tentang Jual beli Jabatan di beberapa Lapas di Indonesia pada tahun 2017. Dari 528 Lapas yang ada, hampir 75 persen terjadi praktek jual beli fasilitas. Temuan kami dilapangan memperlihatkan jual beli fasilitas dengan modus operandinya antara lain :
1. Lapas Perempuan Kelas IIA Martapura, Kalsel. Modus jual beli remisi letter F kepada Napi dg tarif antara Rp.2 jt hingga Rp.10 jt. Diduga Aktor lapangan bagian register (S) yang diketahui Kalapas (Y) dan memiliki ATM berjalan dari Napi Narkoba yang dijadikan Tamping (tahanan pendamping).
2. Rutan Klas I Cipinang, jual beli Pembebasan bersyarat, Cuti bersyarat, remisi kpd napi-napi dg berbagai modus diduga di koordinir oleh salah satu pejabat (H) dg gaya Medan yg kental semua urusan dilapas harus pakai Uang.
3. Rutan Kelas IA Surabaya, memperjual belikan "remisi" kepada napi Narkoba dengan berbagai tarif yg berkisar antara Rp.3 jt hingga Rp.20 jt. Diduga Aktor lapangan bagian Kasubsie Adminitrasi dan Perawatan Rutan (WIK) atas sepengetahuan Kalapas (TP). Bahkan ada jual beli untk tidak dipindah ke rutan lain dengan tarif Rp.10 jt.
4. Lapas Klas II A pemuda Tangerang. Jual beli remisi kepada napi Narkoba dg tarif antara Rp. 3 jt hingga Rp.10jt. Diduga Aktor lapangan adlh Kasubsie register (TA).
5. Rutan Kelas I Palembang. Modus jual beli remisi kepada napi dg tarif Rp.2 jt hingga Rp.5 jt yang diduga sebagai aktor utamanya oknum Rutan (M).
6. Rutan Klas II Balikpapan. Jual beli fasilitas kamar. Untk mengurus pembebasan bersyarat dan cuti bersyarat dg tarif minimal Rp.5 jt, Mau menjadi tamping harus membayar Rp5 jt.
7. Lapas Klas III Bayur Samarinda. kami mendapatkan informasi unt memilih kamar dg tarif minimal Rp.2jt. Jual beli pembebasan bersyarat dan remisi. Unt menjadi tamping harus membayar minim Rp.3 jt, Peredaran narkoba masih terjadi didalam lapas.
Aktor lapangan oknum kasubsi dan klapas Fakta diatas merupakan contoh kecil berbagai fasilitas Lapas di komersilkan hanya untuk melanggengkan kekuasaannya. Tentu Mereka tidak bekerja sendirian, ada sindikasi keterlibatan pejabat lain yang dilakukan secara sistematis, terstruktur dan sudah berlangsung lama.
Sindikat kejahatan ini telah berubah menjadi kerajaan bisnis tersendiri dari kelompok kepentingan yang berlindung dibalik institusi Hukum dan Ham.
Masih ingat dalam memori kita tentang insiden kerusuhan yang berujung pada kaburnya ratusan Napi di Lapas Kelas II Sialang Bungkuk Riau pada Mei 2017. Kerusuhan ini tentu tidak terjadi sendiri, ada faktor maraknya pungli/pemerasan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap Napi yang dilakukan pejabatnya sendiri.
Karena dianggap gagal, Kakanwil Hukum Ham Riau Ferdinand Siagian kemudian dicopot dan diberi sanksi non job dan kemudian ditempatkan sebagai Kabiro umum Sekjen Kementrian Hukum dan Ham.
Anehnya, tidak ada proses penyelidikan atas insiden tersebut, 2 bulan pasca pencopotan Ferdinand Siagian justru mendapatkan posisi strategis menjadi Kakanwil Hukum dan Ham Kalimantan Selatan. Kejanggalan ini memperkuat dugaan bahwa Ferdinand Siagian merupakan pion dari sindikasi kejahatan itu sendiri.
Apakah praktek jual beli fasilitas Lapas di wilayah Kalsel hilang? faktanya justru makin marak terjadi di Lapas Perempuan Kelas II A Martapura.
Kami masih menemukan kesamaan modus jual beli fasilitas yang berujung pada pungutan liar/pemerasan terhadap Napi. Dalam menjalankan kejahatannya terkesan ada kerjasama terselubung antara petugas rutan (bagian register), Kalapas kelas IIA Martapura, Kadiv, Kakanwil Hukum Ham Kalsel hingga level Direktur di Direktorat Jenderal PAS. Indikasinya adalah terkesan terjadi pembiaran dan tidak ada langkah tegas untuk menghentikan praktek jual beli fasilitas yang berlangsung dari Kalapas, Kadiv, Kakanwil Kalsel hingga Direktur di Direktorat Jenderal Hukum dan Ham yang memiliki otoritas penuh dalam pengawasan Lapas.
Potret ini mencerminkan ada jaringan kecil dari sebuah sindikasi kejahatan, tentunya praktek jual beli fasilitas terjadi di hampir seluruh Lapas maka besar kemungkinan ada jaringan sindikasi kejahatan yang lebih besar lagi. Inilah ancaman kewibawaan Kementrian Hukum dan Ham.
Potret ini mencerminkan ada jaringan kecil dari sebuah sindikasi kejahatan, tentunya praktek jual beli fasilitas terjadi di hampir seluruh Lapas maka besar kemungkinan ada jaringan sindikasi kejahatan yang lebih besar lagi. Inilah ancaman kewibawaan Kementrian Hukum dan Ham.
Kementrian Hukum dan Ham terkesan tidak serius dan tidak berdaya dalam melakukan pembenahan total terhadap buruknya sistem Lapas. Tak heran komitmen Mentri Hukum dan Ham dlm melakukan evaluasi total terhadap tatakelola Lapas hanya menjadi macan kertas, sementara bawahannya selalu mengabaikan dan cenderung mengamputasi setiap kebijakan. Ada ketidaksinkronan antara atasan dan bawahan akan mengganggu keberlangsungan roda pelayanan di Kemntrian Hukum dan Ham.
Pewarta : roni
Narasumber : Gigih Guntoro
Direktur Eksekutif Indonesian Club