Rabu, 27 Februari 2019

Bukan Kabupaten Banyuasin saja yang menjadi Korban Kejahatan Oknum Auditor BPK, Negara pun Jadi Korban

Bukan Kabupaten Banyuasin saja yang menjadi Korban Kejahatan Oknum Auditor BPK, Negara pun Jadi Korban, Sudah Menjadi Rahasia Umum Salah Satu Bukti

Gugat BPK dan Auditornya, Begini Alasan Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim Aji Prasetyo
     
                  
TRIBUNUS.CO.ID - Sjamsul Nursalim, melalui kuasa hukumnya dari Otto Hasibuan dan Associates melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Tangerang terhadap I Nyoman Wara dan Badan Pemeriksa Keuangan. Berdasarkan penelusuran media ,I Nyoman Wara merupakan Auditor Utama Investigatif BPK yang pernah dihadirkan sebagai ahli dalam sidang pemberian surat keterangan lunas bantuan likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) atas terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.

Kerugian negara akibat SKLN BLBI senilai Rp4,58 triliun.

Otto Hasibuan, kuasa hukum Sjamsul, membenarkan pihaknya menjadi kuasa hukum Sjamsul untuk menggugat Nyoman serta BPK. Ia pun menjelaskan alasan melayangkan gugatan tersebut. “Dasar gugatan kami adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH), karena kami melihat BPK melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengeluarkan audit yang tidak independen dan obyektif dan tidak sesuai UU BPK,” ujar Otto melalui sambungan telepon, Senin (25/2) Kemarin.

Pasal 1 angka (9) UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan “Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara”.

Otto berpandangan BPK tidak independen dan obyektif karena hanya menerima data secara sepihak dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal menurut aturan umum audit, semua pihak yang berkepentingan harus dikonfirmasi. Dalam konteks ini, BPK seharusnya mengkonfirmasi Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) serta pemiliknya Sjamsul Nursalim yang menerima kucuran dana BLBI.

Otto menegaskan bahwa kliennya, Sjamsul Nursalim, dan BDNI tidak pernah diperiksa oleh BPK. Kedua pihak tersebut selama ini belum pernah menerima surat panggilan. Atas alasan inilah ia menilai audit investigasi yang dilakukan BPK cacat hukum.

Dilansir dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Tangerang, audit bernama “Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam Rangka Penghitungan Kerugian Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham/Surat Keterangan Lunas kepada Sdr. Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali BDNI pada Tahun 2004 Sehubungan dengan Pemenuhan Kewajiban Penyerahan Aset oleh Obligor BLBI kepada BPPN Nomor 12/LHP/XXI/08/2017 tanggal 25 Agustus 2017".

Patut diduga audit investigasi BPK inilah yang menjerat mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka hingga terdakwa. Syafruddin dianggap menguntungkan Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI sebesar Rp4,58 triliun.

“Kalau mereka hanya mengandalkan data KPK tapi tidak dikonfirmasi kepada pihak ketiga dan audit itu kan merugikan Sjamsul Nursalim. Nah, berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dituntut perbuatan melawan hukum," terangnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun tim media, setidaknya ada enam petitum gugatan yang dilayangkan Sjamsul Nursalim. Pertama, meminta majelis hakim agar menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

Kedua, menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum. Ketiga, menyatakan "Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam Rangka Penghitungan Kerugian Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham/Surat Keterangan Lunas kepada Sdr. Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham Pengendali BDNI pada Tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN Nomor 12/LHP/XXI/08/2017 tanggal 25 Agustus 2017" tidak sah, cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Keempat, menghukum Tergugat I dan II membayar kerugian kepada Penggugat sebesar Rp1.000 sebagai kerugian immaterial. Kelima, menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada verzet, banding atau kasasi. Keenam, menghukum Tergugat I dan II membayar biaya perkara.

Pihak media telah coba mengkonfirmasi gugatan ini kepada Kepala Bagian Hubungan Lembaga dan Media BPK Rati Dewi Puspita Purba, tetapi hingga berita ini diturunkan belum ada respons dari yang bersangkutan. Sidang perdana gugatan ini akan dilangsungkan pada 6 Maret 2019 mendatang.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang tidak menjadi tergugat maupun turut tergugat, namun audit investigasi ini menjadi salah satu dasar KPK menganggap Sjamsul Nursalim diuntungkan. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku akan mendukung penuh BPK dan auditornya dalam proses gugatan Sjamsul Nursalim.

"KPK tentu akan mendukung penuh BPK dan auditornya yang dijadikan Tergugat dalam kasus ini. Karena Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPK terkait SKL pada Sjamsul Nursalim tersebut dilakukan berdasarkan permintaan KPK dalam proses penyidikan dengan tersangka SAT sebelumnya," kata Febri.

Apalagi menurut Febri secara substansi, hasil pemeriksaan BPK dan keterangan auditor BPK yang diajukan sebagai ahli di persidangan terdakwa Syafrudin Arsyad Temenggung sudah diuji di Pengadilan Tipikor.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sudah menyatakan yang Syafrudin terbukti bersalah. Walaupun perkara ini belum berkekuatan hukum tetap, KPK meyakini fakta persidangan.

"Setidaknya sampai pada tingkat pengadilan banding, putusan hakim tersebut diperkuat dan bahkan hukuman terhadap terdakwa ditambah," pungkasnya.

Terkait dengan Sjamsul, Febri menyatakan pihaknya sudah memberikan ruang bagi bos Gajah Tunggal itu untuk datang memenuhi permintaan keterangan di tahap penyelidikan sebanyak dua kali. Tetapi justru Sjamsul tidak hadir padahal proses tersebut bisa menjadikan wadah baginya untuk membantah ataupun menyangkal audit ini.

"Terkait dengan upaya menghadapi gugatan tersebut, KPK sendiri sudah berkoordinasi dengan BPK dan akan melakukan upaya yang sah secara hukum untuk memberikan dukungan terhadap BPK," terangnya.

Febri juga mengindikasikan adanya tersangka baru dalam perkara SKL BLBI. Apalagi pengadilan tingkat pertama dan banding sependapat dengan penuntut umum KPK bahwa perbuatan korupsi tidak dilakukan Syafruddin seorang, melainkan bersama-sama dengan sejumlah pihak seperti Sjamsul, Itjih Nursalim, dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.

Pewarta : rn
Sumber : hukumonline.com

SESJEN MPR : PANCASILA ADALAH SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM


TRIBUNUSBANYUASIN.CO.ID - Sekretaris Jendral MPR RI Dr Ma'ruf Cahyono, SH.MH menegaskan, para pendiri bangsa sudah bersepakat menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup, jati diri, ideologi, falsafah, dan dasar negara. Karena itu bangsa Indonesia harus menempatkan Pancasila sebagai sesuatu yang sangat tinggi dan terhormat. Salah satunya sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

Artinya, tidak boleh ada satupun hukum dan peraturan perundangan yang tidak berlandaskan pada Pancasila, apalagi sampai bertentangan dengan Pancasila. Karena itu silang pendapat menyoal perda bermuatan syariat harus diluruskan. Perda bermuatan syariat bisa diasumsikan seolah hanya menunjuk pada agama tertentu, dan tidak mempertimbangkan agama-agama lainnya.

"Dalam Sistem Peraturan Perundang undangan, jelas tidak ada istilah secara resmi Perda Syariah. Tetapi materi muatan Perda atau substansinya bisa berasal dari mana saja. Misalnya, materi yang bermuatan nilai-nilai moral dan agama, budaya dan kearifan lokal. Karena di tempat yang mayoritas muslim maka masuklah nilai-nilai syariat. Itu tidak salah, apalagi nilai-nilai agama itu kan baik, sesuai dengan sila pertama Pancasila kita bangsa yang religius, Itu landasan filosofis bangsa dan memang semua peraturan harus merujuk ke situ, kata Ma'ruf Cahyono menambahkan.

Perda-perda yang bermuatan nilai nilai agama dan kearifan lokal seperti itu menurut Ma'ruf sudah cukup banyak; ada di berbagai Provinsi dan Kabupaten/Kota. Seperti perda soal larangan prostitusi dan miras. Perda-perda itu isinya sesuai dengan kearifan lokal dan nilai nilai agama yang pasti mengajak pada kebaikan, dengan landasan etika dan moral. Intinya bahwa setiap kebijakan perundangan termasuk Perda adalah wujud dari kesadaran hukum masyarakat setempat. Yang penting tidak diskriminatif apalagi melanggar HAM.

Pernyataan itu dikemukakan Setjen MPR saat memberikan kuliah umum di hadapan ratusan mahasiswa dan civitas akademika Fakultas Syariah IAIN Purwokerto Jawa Tengah. Acara tersebut berlangsung di ruang pertemuan perpustakaan IAIN Purwokerto, Selasa (26/2). Tema yang dibahas dalam acara tersebut adalah Posisi Perda Bernuansa Syariah Dalam Sistem Hukum Nasional. Ikut hadir dalam acara tersebut Rektor IAIN Purwokerto Dr. A. Lutfi Hamidi M. Ag, Wakil Rektor Drs. Asdlori, M. Pd.I, Dekan Fakultas Syariah: Dr. Syufaat, MAg, serta Wakil Dekan I Fakultas Syariah IAIN Purwokerto Dr. H. Ridwan M. Ag.

Selain menyampaikan kuliah umum, kehadiran Sesjen MPR di IAIN Purwokerto juga diisi dengan penandatanganan kerjasama antara Sekretariat Jenderal MPR dengan IAIN Purwokerto. Penandatangan, itu antara lain menyangkut kerjasama pelaksana sosialisasi empat pilar MPR dan kegiatan pengkajian sistem ketatanegaraan.

Menjawab pertanyaan wartawan menyangkut penandatanganan MOU dengan IAIN Purwokerto, Ma'ruf mengatakan MPR sudah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, bukan hanya perguruan tinggi, tetapi juga dengan berbagai lembaga negara termasuk ormas, organisasi profesi hingga organisasi kepemudaan dan kewanitaan.

"Tentunya kita harus saling bersinergi untuk kerjasama dan saling membantu dalam pelaksanaan sosialisasi maupun kajian-kajian sistem ketatanegaraan, seperti kerjasama-kerjasama yang sudah dilakukan selama ini", kata Ma'ruf menambahkan.

Pewarta : rn
Sumber : HUMAS MPR

Selasa, 26 Februari 2019

APA ITU DPA APBDESA, RKA DESA, RKKD DAN RAB

Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DPA adalah dokumen yang memuat rincian setiap kegiatan, anggaran yang disediakan, dan rencana penarikan dana untuk kegiatan yang akan dilaksanakan berdasarkan kegiatan yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDesa).
Dalam penyusunan DPA, Kepala Desa menugaskan Kaur dan Kasi Pelaksana Kegiatan Anggaran sesuai tugasnya paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah Peraturan Desa tentang APBDesa dan Peraturan Kepala Desa tentang Penjabaran APBDes ditetapkan. Sesuai dengan Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, DPA terdiri atas : Rencana Kegiatan dan Anggaran Desa (RKA Desa), Rencana Kerja Kegiatan Desa (RKKD) dan Rencana Anggaran Biaya (RAB).
DPA APBDesa, RKA Desa, RKKD dan RAB [Sesuai Permendagri Nomor 20 Tahun 2018]
Mengenal apa itu DPA APBDesa, RKA Desa, RKKD dan RAB Sesuai Permendagri Nomor 20 Tahun 2018
Lihat Juga : Internet Desa Kominfo, Desa Masuk Target Program Internet Gratis Kominfo [LAGI HITS]

#RKA Desa

RKA Desa adalah kepanjangan dari Rencana Kegiatan dan Anggaran Desa. RKA Desa adalah salah satu dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) yang merinci setiap kegiatan, anggaran yang disediakan, dan rencana penarikan dana untuk kegiatan yang telah dianggarkan. 
Lebih lanjut mengenai RKA Desa, dapat didownload pada link dibawah ini :
Contoh Format RKA DESA [ Link 1 ]  [Link 2]
Baca Juga :
Panduan Download Gratis Di Blog Format Administrasi Desa

#RKKD

RKKD adalah kepanjangan dari Rencana Kerja Kegiatan Desa. RKKD adalah salah satu dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) yang merinci lokasi, volume, biaya, sasaran, waktu pelaksanaan kegiatan, pelaksana kegiatan anggaran, dan tim yang melaksanakan kegiatan. 
Lebih lanjut mengenai RKKD, dapat didownload pada link dibawah ini :
Contoh Format RKKD [ Link 1 ]  [Link 2]

Baca Juga :
Panduan Download Gratis Di Blog Format Administrasi Desa

#RAB

RAB adalah kepanjangan dari Rencana Anggaran Biaya. RAB adalah salah satu dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) yang merinci satuan harga untuk setiap kegiatan. 
Lebih lanjut mengenai RKKD, dapat didownload pada link dibawah ini :
Contoh Format RAB [ Link 1 ]  [Link 2]
Baca Juga :
Panduan Download Gratis Di Blog Format Administrasi Desa
Demikian penjelasan tentang Apa Itu DPA APBDesa, Apa itu RKA Desa, Apa Itu RKKD dan Apa Itu RAB. Semoga bermanfaat bagi Anda semua. Terima kasih sudah berkunjung di FORMAT ADMINISTRASI DESA. Portal Referensi Dan Preferensi Pemerintahan Desa Se-Indonesia.

Perdes Tentang Kewenangan Desa Terbaru


Apakah Anda mencari Format Perdes (Peraturan Desa) tentang Kewenangan Desa terbaru 2019? 

Bagaimana contoh Perdes yang mengatur kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa ini?

Ada beberapa poin penting yang perlu kita ketahui menyangkut Perdes ini. Agar paling  tidak, kita memiliki pemahaman dasar yang utuh dari apa yang nantinya akan kita "perdes-kan" ini? Terlebih, untuk regulasi yang satu ini Pemerintah Desa dan BPD sebaiknya melakukan pengkajian secara mendalam.

Lihat Juga : Internet Desa Kominfo, Desa Masuk Target Program Internet Gratis Kominfo [LAGI HITS]
Secara sederhana, dapat Kami katakan bahwa Perdes kewenangan desa ini mengatur :
Apa-apa yang boleh di-program-kan oleh Desa. Dan Apa-apa yang tidak boleh di-program-kan oleh Desa
Jadi memang batasannya harus jelas. Jangan sampai tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah kabupaten (misalnya). Sobat desa bisa bayangkan, jika satu program/kegiatan di lokasi dan waktu yang sama, tapi berbeda sumber dana. Yang satu APBD dan yang satunya lagi Dana Desa (DD).  Wah.. Apa yang terjadi kemudian kalau kondisinya begitu?

<img src="https://2.bp.blogspot.com/-e8BdMoNM83U/XGiDxhwH_SI/AAAAAAAAAO4/uqw_1ztznuMoFjw65hETJ65TEWD3Bt4YACLcBGAs/s320/perdes-kewenangan-desa-terbaru.png" alt="Perdes Tentang Kewenangan Desa Terbaru"/>

Baca Juga : Apa Itu Perdes?
Yang kita bahas saat ini sangat berkaitan dengan artikel-artikel kami sebelumnya. Dalam beberapa Poin-Poin Penting Seputar Permendagri Nomor 20 Tahun 2018, Kami sempat menyinggung, perlu adanya regulasi-regulasi yang harus dipersiapkan oleh Pemerintah Desa dan BPD. Salah satunya adalah Perdes mengenai kewenangan desa ini. 
Pasal 34 Ayat (3) huruf f Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 adalah dasar kami untuk membagikan contoh format ini kepada sobat desa semua. Anda bisa lihat pada link (tautan) itu.

Apa yang dimaksud dengan kewenangan desa?
Kewenangan Desa adalah kewenangan yang dimiliki Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat Desa.
Apa saja kewenangan desa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa dan peraturan turunannya?
  1. Kewenangan berdasarkan hak asal usul; dan
  2. Kewenangan lokal berskala desa.
Secara teknis, Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Permendagri 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa dan telah diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1037. 

Selain itu, Pemerintah Kabupaten/Kota (yang memiliki desa) juga menerbitkan Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Bupati mengenai Daftar Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. 

Pada titik ini, kita selaku Pemerintahan Desa (Pemerintah Desa Dan BPD) harus menindaklanjuti melalui Peraturan Desa.  Pemerintah Desa dan BPD harus membahas dan menetapkan secara bersama-sama perdes ini.
Lihat Juga : 
Namun demikian, jika kita ingin menjabarkan kewenangan desa melalui Perdes, sebaiknya didasarkan atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. 

MUATAN DRAFT RANCANGAN PERDES KEWENANGAN DESA .
Didalam Perdes kewenangan desa yang Kami bagikan ini, terdiri dari beberapa bab :
  • BAB I Ketentuan Umum
  • Bab II Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul 
Kewenangan adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat.

  • Bab III Kewenangan Lokal Berskala Desa
Kewenangan lokal berskala Desa adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa. 

  • Bab IV Ketentuan Peralihan
  • Bab V Ketentuan Penutup
Lantas, apa saja contoh kewenangan berdasarkan hak asal usul maupun kewenangan lokal berskala desa?

Untuk lebih lengkap, jika sobat desa mau. Kami punya contoh format word (doc) yang bisa kami bagikan kepada Anda secara gratis. Silahkan download pada link dibawah ini :


ATAU



Link diatas adalah link download-nya. Silahkan unduh format nya/file nya. Jika ada kendala, tolong sampaikan kepada Kami melalui kolom komentar dibawah artikel ini. 

Lihat Juga Format Terkait :

Meskipun ada beberapa saluran kontak yang dapat sobat desa gunakan, namun saran kami jika sobat desa ingin memberi masukan atau tanggapan. Silahkan pada kolom komentar facebook dibawah artikel ini. Karena itu lebih interaktif menurut Kami.

Untuk contoh-contoh format administrasi desa lainnya silahkan Anda cari sesuka Anda. Sobat desa bisa menggunakan kolom search, menu (pada bagian atas), atau artikel terkait.

Kami senang bisa berbagi kepada sobat desa semua. Jika berbagi itu baik, BAGIKAN lah format ini kepada sobat desa lain di social media sobat.   Baik facebook, twitter, whatsapp, instagram, google plus, dan lain-lain. ðŸ˜ƒ

Demikian penjelasan singkat mengenai "Perdes Tentang Kewenangan Desa Terbaru", semoga bermanfaat untuk sobat desa semua yang membutuhkan.

Tag Search :
  • Perdes kewenangan desa,
  • Perdes tentang kewenangan desa 2019,
  • perdes kewenangan desa 2018 doc,
  • peraturan desa tentang kewenangan lokal berskala desa,
  • contoh kewenangan lokal berskala desa,
  • peraturan desa tentang kewenangan berdasarkan hak asal usul,
  • daftar kewenangan desa.

BUKTI DAN REALISASI DUGAAN KKN 866 PAKET PENGADAAN DAN PEKERJAAN LANGSUNG PL KABUPATEN BANYUASIN 2018



1.1. BANYUASIN 19 JANUARI 2019
Perihal    : Kasus KKN Kabupaten Banyuasin Tahun 2018.
Lampiran  : Terlampir.

Kepada Yth :
-Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI,
Kapolri,
-Kapolda Sumsel,
-Kepala Kejaksaan Tinggi Sumsel,
-Kepala Kejaksaan Negeri Banyuasin,
-Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, dan
-Ketua Ombudsman RI.

Jumat, 22 Februari 2019

Sejalan Denga Terbentuknya Dewan Pers dan Perjalanan Panjang Insan Pers Nasional


Roni Paslah,  jurnalis pemerhati pemerintah dan penggiat Korupsi yang tinggal di Kabupaten Banyuasin Sumsel.

BANYUASIN,TRIBUNUS.CO.ID - Kondisi Pers saat ini yang sangat dibutuhkan, oleh asupan Publik berita yang Benar tanpa ada motif dan unsur kepentingan pribadi atau kelompok. Oriantasi yang di buming kan saat ini berita Hoax, mungkin Pers yang bernaung di perusahaan berorientasi pada pasar mungkin bebas dari intervensi pemerintah, tetapi fenomena menyedihkan terjadi di Indonesia. Perusahaan pers dikuasai oleh para konglomerat.

“Di Indonesia, sebanyak 12 kelompok media besar menguasai saluran informasi dari ujung Aceh hingga Papua. Kedua belas kelompok media ini menguasai saluran informasi mulai dari media cetak koran, majalah, radio, televisi, serta jaringan berita online.” dikutip dari Anggia Valerisha waktu lalu 2017

Dampak konglomerasi media ini adalah terdistorsinya informasi yang diterima masyarakat. Masyarakat akhirnya tidak menerima informasi yang memadai, dan hanya mewakili satu sudut pandang. Pemberitaan juga menyuarakan kepentingan pemiliknya. Khalayak atau publik hanya dianggap sebagai pasar semata. Monopoli kepemilikan ini juga hanya menghasilkan opini yang seragam. (Anggia Valerisha: 2017)

Lebih memilukan lagi ketika para konglomerat media terjun ke ranah politik praktis dan berselingkuh dengan penguasa, sehingga peran watchdog bukan saja mandul tetapi pers berubah menjadi lapdog (anjing peliharaan) atau attack dog (anjing penyerang) bagi kepentingan pemiliknya. Kepentingan khalayak atau publik bukanlah tujuan dari perusahaan pers tersebut.

Orientasi jurnalisme watchdog kepentingan publik bagi pers dalam pandangan pers barat yang diadopsi pers berbagai negara termasuk di Indonesia. Namun bagaimana dengan pers Islam? dapatkah konsep pers sebagai watchdog sejalan dengan Islam sebagai pandangan hidup?

Seperti yang dibahas dalam “Menyelami Jurnalisme Islami” salah satu tawaran dalam wacana jurnalisme Islami adalah prinsip jurnalisme Islami adalah tabligh (edukasi), termasuk di dalamnya amar ma’ruf nahi munkar. Satu ajaran untuk menyokong yang hak dan menolak yang batil.

“Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolak lah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)

Ajaran amar ma’ruf nahi mungkar inilah yang diterapkan pula dalam jurnalisme Islami ketika pers Islam melakukan kontrol atau pengawasan terhadap penguasa. Penguasa dalam ajaran Islam bukanlah figur makhluk yang bebas dari kesalahan. Justeru tanggung jawab sebagai pemimpin amatlah berat. Namun ketika seorang pemimpin menyimpang dari ajaran Islam maka meluruskannya merupakan salah satu bentuk jihad tertinggi.

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadis ini hasan).(red.rn)

Simak berita di bawah tersebut :

Ilustrasi power dan kapasitas media untuk konsumsi Publik yang semakin hari semakin dilemahkan di kriminalisasi tanpa ada perlindungan dari pemerintah sesuai dengan yang suda di atur dalam Perundang undangan Pers

Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya berdasar Undang-Undang No. 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang ditandatangani Presiden Soekarno, 12 Desember 1966. Dewan Pers kala itu, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No.11/1966, berfungsi mendampingi pemerintah, bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Sedangkan Ketua Dewan Pers di jabat oleh Menteri Penerangan (Pasal 7 ayat (1).

Pemerintahan Orde Baru melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, yang ditandatangani Presiden Soeharto 20 September 1982 tidak banyak mengubah keberadaan Dewan Pers. Kedudukan dan fungsinya sama: lebih menjadi penasehat pemerintah, khususnya kantor Departemen Penerangan. Sedangkan Menteri Penerangan tetap merangkap sebagai Ketua Dewan Pers.


Perubahan yang terjadi, menurut UU No. 21 Tahun 1982 tersebut, adalah penyebutan dengan lebih jelas keterwakilan berbagai unsur dalam keanggotaan Dewan Pers. Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982 menyatakan “Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain”. Undang-Undang sebelumnya hanya menjelaskan “anggota Dewan Pers terdiri dari wakil-wakil organisasi pers dan ahli-ahli dalam bidang pers”.


Perubahan fundamental terjadi pada tahun 1999, seiring dengan terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang diundangkan 23 September 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Bacharudin Jusuf Habibie, Dewan Pers berubah menjadi Dewan Pers (yang) Independen. Pasal 15 ayat (1) UU Pers menyatakan “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”.


Fungsi Dewan Pers Independen tidak lagi menjadi penasehat pemerintah tapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural antara Dewan Pers dengan pemerintah diputus, terutama sekali dipertegas dengan pembubaran Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Tidak lagi ada wakil pemerintah dalam keanggotaan Dewan Pers seperti yang berlangsung selama masa Orde Baru.

Meskipun pengangkatan anggota Dewan Pers tetap melalui Keputusan Presiden, namun tidak ada lagi campur tangan pemerintah terhadap institusi maupun keanggotaan Dewan Pers yang independen. Jabatan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers tidak lagi dicantumkan dalam Keputusan Presiden namun diputuskan oleh seluruh anggota Dewan Pers dalam Rapat Pleno.


Anggota Dewan Pers yang independen, menurut UU Pers Pasal 15 ayat (3), dipilih secara demokratis setiap tiga tahun sekali, yang terdiri dari: “(a) Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; (b) Pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; dan (c) Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers”.*

Pewarta : rn

Kamis, 14 Februari 2019

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 / PMK.05 / 2012

MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 81 / PMK.05 / 2012

TENTANG

SOSIAL BELANJA BANTUAN PADA KEMENTERIAN NEGARA / LEMBAGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:Sebuah.
Karena itu, dalam rangka melindungi masyarakat dari pada pengeluaran dalam sosial, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan dana belanja bantuan sosial;
  
b.
bahwa agar pengalokasian dan pengelolaan dana bantuan sosial dapat dilaksanakan, efisien, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan, perlu disediakan informasi mengenai belanja bantuan sosial di Kementerian Negara / Lembaga;
  
c
Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
  
d.
yang sesuai dengan persetujuan yang dikeluarkan dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu diatur Peraturan Menteri Keuangan tentang Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian Negara / Lembaga;
Mengingat
:
1.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  
2.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  
3.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
  
4.
  
5.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134 / PMK.06 / 2005 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  
6.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57 / PMK.05 / 2007 tentang Pengelolaan Rekening Milik Kementerian Negara / Lembaga / Kantor / Satuan Kerja;
  
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BELANJA BANTUAN SOSIAL PADA KEMENTERIAN NEGARA / LEMBAGA.


BAB I 
KETENTUAN UMUM. 
Pasal 1


1.
Belanja Bantuan Sosial adalah transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah Pusat / Masyarakat kepada masyarakat guna melindungi masyarakat sehubungan dengan meningkatkan kepentingan sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan / atau kesejahteraan masyarakat.


2.
Risiko Sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi pertanggungan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok, dan / atau masyarakat sebagai akibat dari krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam yang diperlukan disediakan Belanja Bantuan Sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.


3.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan yang dibuat oleh Menteri / Pimpinan Lembaga atau unit kerja serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan selaku Bendahara yang mengeluarkan dana negara dan pencairan dana atas Anggaran dan Belanja Negara (APBN) serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.


4.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selanjutnya disingkat KPPN adalah badan vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang memperoleh otoritas sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara.


5.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah Menteri / Pimpinan Lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran pada Kementerian Negara / Lembaga yang disetujui.


6.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut Kuasa PA adalah otoritas yang memperoleh wewenang dari PA untuk menyetujui sebagian dan tanggung jawab penggunaan anggaran di Kementerian Negara / Lembaga yang didukung.


7.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya mengeluarkan PPK adalah pejabat yang diberi wewenang oleh PA / Kuasa PA untuk mengambil keputusan dan / atau tindakan yang dapat dilakukan atas pengeluaran berdasarkan APBN.


8.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PP-SPM adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Kuasa PA untuk melakukan pemeriksaan atas Surat Permintaan Pembayaran dan menerbitkan Surat Perintah Membayar.


9.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP merupakan dokumen yang dibuat / dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan / PPK dan disampaikan kepada PP-SPM.


10.
Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah surat perintah pembayaran yang dikeluarkan oleh PP-SPM kepada pihak ketiga atas dasar perikatan atau surat keputusan.


11.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan diterbitkan atas beban APBN berdasarkan SPM.


12.
Bank / Pos Penyalur adalah bank / pos mitra kerja sebagai tempat dibukanya rekening atas nama unit kerja untuk dana bantuan Belanja Sosial yang akan disalurkan kepada penerima bantuan sosial.


13.
Rekening Kas Umum Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara atau pejabat yang ditunjuk untuk menerima seluruh negara penerima atau membayar seluruh negara pada Bank / Sentral Giro yang ditunjuk.


BAB II 
RUANG LINGKUP 
Pasal 2


Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini tentang pengalokasian, pencairan dan penyaluran dana Bantuan Sosial pada Kementerian Negara / Lembaga yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penerima bantuan sosial termasuk pertanggungjawabannya.


BAB III 
PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA BANTUAN SOSIAL 
Pasal 3


(1)
Anggaran Belanja Bantuan Sosial yang dialokasikan dalam APBN berdasarkan pada persetujuan yang dikeluarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan terkait dan penelaahan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara / Lembaga.


(2)
Pengalokasian Belanja Bantuan Sosial dari biaya operasional unit kerja bantuan sosial, biaya pencairan dan penyaluran bantuan sosial serta biaya yang timbul dalam rangka pengadaan barang dan jasa.


(3)
Biaya-biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan pada Belanja Barang.


Pasal 4


(1)
Anggaran Belanja Bantuan Sosial disusun oleh Kementerian Negara/Lembaga dengan memperhatikan:



a.
tujuan penggunaan bantuan sosial;



b.
pemberi bantuan sosial;



c.
penerima bantuan sosial; dan



d.
bentuk bantuan sosial yang disalurkan.


(2)
Tujuan penggunaan anggaran bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:



a.
Rehabilitasi sosial, yang bertujuan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar;



b.
Perlindungan sosial, yang bertujuan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai kebutuhan dasar minimal;



c.
Pemberdayaan sosial, yang merupakan semua upaya yang ditujukan untuk warga negara, yang terkait dengan masalah sosial, yang berkenaan dengan kebutuhan;



d.
Jaminan sosial, yang merupakan persyaratan yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak;



e.
Penanggulangan Kemiskinan, yang merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok, dan / atau masyarakat yang tidak memiliki atau memiliki sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kesejahteraan; dan



f.
Penanggulangan Bencana, yang merupakan pembahasan yang mencakup penetapan kebijakan pembangunan yang menimbulkan risiko bencana, kegiatan pertanggungan darurat, tanggap darurat, dan rehabilitasi.


(3)
Pemberi bantuan sosial disetujui pada ayat (1) huruf b merupakan Kementerian Negara / Lembaga yang bertugas dan terkait dengan keselamatan meningkatkan Risiko Sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi, dan / atau kesejahteraan masyarakat.


(4)
Penerima Bantuan Sosial menyetujui ayat (1) huruf c terdiri dari perorangan, keluarga, kelompok, dan / atau masyarakat yang bergantung pada stabilitas, sosial, ekonomi, politik, perubahan, dan fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum.


(5)
(4) termasuk juga lembaga Non Pemerintah bidang pendidikan, kesehatan, agama dan bidang lain yang mendukung perlindungan individu, kelompok dan / atau masyarakat untuk meningkatkan risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi, dan / atau kesejahteraan masyarakat .


(6)
Bantuan sosial yang diberikan oleh pemberi bantuan sosial yang disetujui pada ayat (3) dan penerima sosial yang disetujui pada ayat (4) dan ayat (5) tidak untuk:



Sebuah.
Minta bantuan kepada sosial; atau



b.
 Diperoleh oleh pemberi bantuan sosial.


(7)
Bentuk Belanja Bantuan Sosial yang disalurkan selesai pada ayat (1) huruf d terdiri atas:



Sebuah.
uang;



b.
barang; dan / atau



c.
jasa.
  
(8)
Belanja Bantuan Sosial yang disalurkan dalam bentuk uang yang diberikan pada ayat (7) huruf a yang digunakan oleh penerima bantuan sosial untuk pengadaan barang dan / atau jasa, dikerjakan / diproduksi sendiri oleh penerima bantuan sosial dengan swakelola.


(9)
Belanja Bantuan Sosial yang disalurkan dalam bentuk barang dan / atau layanan yang disetujui pada ayat (7) huruf b dan huruf c, dilaksanakan melalui penyaluran barang dan / atau jasa penerima bantuan sosial yang membeli barang dan / atau sesuai pesanan yang diminta sesuai permintaan Tentang pengadaan barang / jasa pemerintah.


Pasal 5


Pasal 3 dan Pasal 4 dituangkan dalam DIPA Kementerian Negara / Lembaga.


BAB IV 
KEWENANGAN PA, PA KUASA, DAN PPK 
DALAM RANGKA PENGELOLAAN DANA BELANJA BANTUAN SOSIAL


Pasal 6


Kewenangan PA, Kuasa PA, dan PPK dalam rangka pengelolaan dana


Sebuah.
PA memiliki wewenang untuk mengatur peraturan umum tentang pertanggungan dan tanggung jawab Belanja Bantuan Sosial atas dasar peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan tugas dan fungsi Kementerian Negara / Lembaga berkenaan;


b.
Kuasa PA memiliki wewenang untuk menentukan petunjuk teknis pengelolaan Belanja Bantuan Sosial, dan mengesahkan surat keputusan penerima bantuan sosial;
  
c.
PPK memiliki komitmen untuk melakukan proses pemilihan, penetapan dan penetapan surat keputusan penerimaan bantuan sosial, pelaksanaan perikatan dengan pihak ketiga, dan pelaksanaan pembayaran.


Pasal 7


Petunjuk Teknis Belanja Bantuan Sosial yang ditetapkan oleh Kuasa


Sebuah.
tujuan penggunaan Belanja Bantuan Sosial;


b.
pemberi bantuan sosial;


c.
penerima bantuan sosial;


d.
alokasi anggaran;


e.
persyaratan penerima bantuan sosial;


f.
tata kelola pencairan dana Belanja Bantuan Sosial;


g.
Pelaksanaan penyaluran Belanja Bantuan Sosial; dan


h.
pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial.


BAB V 
PENCAIRAN DAN PENYALURAN BANTUAN SOSIAL

Bagian Kesatu 
Penetapan Penerima Bantuan Sosial

Pasal 8


(1)
Dalam rangka menentukan penerima bantuan sosial, PPK melakukan seleksi penerima bantuan sosial sesuai kriteria / persyaratan yang ditentukan dalam pedoman umum pengelolaan dan pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial yang ditetapkan oleh PA dan petunjuk teknis pengelolaan Belanja Bantuan Sosial yang ditetapkan oleh Kuasa PA.


(2)
Berdasarkan hasil seleksi yang disetujui pada ayat (1), PPK menyetujui surat keputusan penerima bantuan sosial.


(3)
Dalam rangka penyaluran Bantuan Sosial dalam bentuk uang, surat keputusan penerimaan bantuan sosial disetujui pada ayat (2)



Sebuah.
identitas penerima bantuan sosial;



b.
nilai uang bantuan sosial; dan



c.
nomor rekening penerima bantuan sosial.


(4)
Dalam hal penerima bantuan sosial tidak memiliki nomor rekening yang disetujui pada ayat (3) huruf c, nomor rekening yang dicantumkan dalam surat persetujuan penerima bantuan sosial adalah nomor rekening Bank / Pos Penyalur.


(5)
Dalam rangka penyaluran Bantuan Sosial dalam bentuk barang dan / atau jasa, surat persetujuan penerima bantuan sosial disetujui pada ayat (2)



Sebuah.
identitas penerima bantuan sosial;



b.
nilai barang bantuan sosial; dan



c.
bentuk barang dan / atau jasa yang akan diberikan.


(6)
Surat keputusan penerima bantuan sosial disetujui pada ayat (2) selanjutnya disahkan oleh Kuasa PA.


(7)
Surat keputusan penerima bantuan sosial yang disahkan oleh Kuasa diminta atas ayat (6) merupakan dasar pemberian bantuan sosial bagi penerima bantuan sosial.


(8)
Untuk menyetujui bantuan sosial, surat keputusan persetujuan yang disetujui pada ayat (2) dan surat pengesahan penerimaan bantuan sosial disetujui pada ayat (6) dapat dilakukan secara bertahap bagi penerima yang telah disetujui persyaratan.


Bagian Kedua 
Pencairan Dana Bantuan Sosial 
Yang Disalurkan Dalam Bentuk Uang 
Pasal 9


Pencairan dana Belanja Sosial yang disalurkan dalam bentuk uang dilakukan melalui pembayaran langsung (LS):


Sebuah.
dari Rekening Kas Umum Negara ke penerima bantuan sosial di bank / pos; atau


b.
dari Rekening Kas Umum Negara ke rekening Bank / Pos Penyalur.


Pasal 10


(1)
Pasal 9 huruf b dilakukan dalam hal:



Sebuah.
penerima bantuan sosial dalam bentuk uang tidak diperbolehkan untuk dibuka pada bank / pos;



b.
dana Belanja Bantuan Sosial yang disalurkan merupakan Program Nasional yang sesuai dengan peraturan-undangan harus disalurkan melalui lembaga penyalur; atau



c.
jumlah penerima bantuan sosial dalam bentuk uang pada satu jenis Belanja Bantuan Sosial dan satu DIPA lebih dari 100 (seratus) penerima bantuan sosial.


(2)
Dalam kerangka pencairan dana Bantuan Sosial dikeluarkan dalam Pasal 9 huruf b, Kuasa PA dibuka pada Bank / Pos Penyalur.


(3)
Pembukaan rekening pada Bank / Pos Penyalur oleh Kuasa PAharusnya disetujui pada ayat (2) diterapkan sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengaturan rekening milik Kementerian Negara / Lembaga / Kantor / Satuan Kerja.


(4)
Pasal 9 huruf b disalurkan kepada penerima bantuan sosial dengan cara:



Sebuah.
Pemindahbukuan dari rekening Bank / Pos Penyalur ke rekening penerima bantuan sosial; atau



b.
pemberi uang tunai dari rekening Bank / Pos Penyalur untuk penerima bantuan sosial oleh petugas Bank / Pos Penyalur.


Pasal 11


(1)
Pasal 9 huruf b, PPK melakukan pemilihan Bank / Pos Penyalur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengadaan barang / jasa pemerintah.


(2)
Bank / pos yang dipilih menjadi Bank / Pos Penyalur dana Belanja Bantuan Sosial kontrak / perjanjian kerja sama dengan PPK.


(3)
Kontrak / persetujuan kerja sama yang disetujui pada ayat (2)



Sebuah.
hak dan kewajiban kedua belah pihak;



b.
tata cara dan persyaratan penyaluran dana Bantuan Sosial dalam bentuk uang kepada penerima Belanja Bantuan Sosial;



c.
menyatakan kesanggupan Bank / Pos Penyalur untuk menyalurkan dana Bantuan Sosial dalam bentuk uang kepada penerima bantuan sosial paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak dana Belanja Bantuan Sosial ditransfer dari Rekening Kas Umum Negara ke rekening Bank / Pos Penyalur;



d.
menyatakan kesanggupan Bank / Penyalur Posisinya sebagai Belanja Bantuan Sosial dalam bentuk uang pada Bank / Pos Penyalur yang tidak tersalurkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara pada hari kerja berikutnya;



e.
menerima Bank / Pos Penyalur untuk menyerahkan laporan penyaluran dana



f.
menyatakan kesanggupan Bank / Pos Penyalur untuk menyetorkan bunga dan jasa giro pada Bank / Pos Penyalur yang timbul dalam rangka kegiatan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial ke Rekening Kas Umum Negara;



g.
menyatakan kesanggupan Bank / Pos Penyalur untuk menyetorkan sisa dana Belanja Sosial yang tidak tersalurkan hingga akhir tahun anggaran ke Rekening Kas Umum Negara; dan



h.
Ketentuan tentang pembayaran yang dikenakan terhadap salah satu pihak yang disetujui kontrak / perjanjian kerja sama.


(4)
Dalam kontrak / perjanjian kerja sama yang disetujui pada ayat (2) tidak disetujui mencantumkan klausul potongan atau pungutan terhadap penerima dana Belanja Bantuan Sosial.


(5)
Dalam tiga hari, tiga hari yang lalu harus disetujui terlebih dahulu dari yang ditentukan pada tanggal yang ditentukan (3) huruf c, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Perbendaharaan.


Bagian Ketiga 
Pencairan Dana Bantuan Sosial Yang Disalurkan 
Dalam Bentuk Barang dan / atau Jasa 
Pasal 12


(1)
Dalam rangka pengadaan barang dan / atau jasa untuk bantuan sosial yang akan disalurkan dalam bentuk barang dan / atau jasa untuk penerima bantuan sosial, PPK pengangkutan pemasok pengadaan barang dan / atau jasa dengan penyedia barang dan / atau jasa.


(2)
Pengadaan barang dan / atau jasa yang akan disalurkan kepada penerima bantuan sosial yang diminta pada ayat (1) dapat juga termasuk pelaksanaan penyaluran barang dan / atau jasa yang diterima oleh penerima bantuan sosial.


(3)
Pencairan dana Belanja Bantuan Sosial dalam rangka pengadaan barang dan / atau jasa yang akan disalurkan untuk penerima bantuan sosial yang dilakukan dengan cara pembayaran langsung (LS) dari Rekening Kas Umum Negara ke rekening penyedia barang dan / atau jasa.


(4)
Penyaluran barang dan / atau jasa yang pengadaannya menggunakan dana Bantuan Sosial untuk penerima bantuan sosial yang dilakukan oleh:



Sebuah.
PPK; atau



b.
Penyedia barang dan / atau jasa sesuai kontrak yang disetujui pada ayat (2).


BAB VI 
TATA CARA PENGAJUAN SPP, SPM, DAN SP2D
DALAM RANGKA PENCAIRAN DANA BELANJA BANTUAN SOSIAL 
Pasal 13


(1)
Dalam kerangka pencairan dana Bantuan Sosial, PPK undangan SPP Belanja Bantuan Sosial untuk PP-SPM yang paling sedikit dilampiri dengan:



Sebuah.
Surat keputusan penerima bantuan sosial;



b.
Daftar dan rekapitulasi penerima bantuan sosial;



c.
Naskah kontrak / perjanjian kerjasama penyaluran Belanja Bantuan Sosial antara PPK dan Bank / Pos Penyalur dalam hal penyaluran bantuan sosial dilakukan melalui Bank / Pos Penyalur;
   
d.
Dokumen kontrak pengadaan barang dan / atau jasa antara PPK dan penyedia barang dan / atau jasa dalam dana dana Bantuan Sosial disalurkan dalam bentuk barang dan / atau jasa.


(2)
PP-SPM melakukan pemeriksaan terhadap SPP dan lampiran yang diajukan oleh PPK.


(3)
(2), SPP diumumkan lengkap dan benar sesuai dengan peraturan perundang undangan, PP-SPMundang SPM-LS.
  
(4)
Tata cara pengujian SPP, pengajuan SPM-LS oleh PP-SPM ke KPPN, dan evaluasi SP2D oleh KPPN dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN.
  
BAB VII 
PENYETORAN DANA BELANJA BANTUAN SOSIAL DAN PEMBAYARAN KEMBALI
SOSIAL ATAS SETORAN DANA BELANJA BANTUAN 
Bagian Pertama 
Penyetoran Dana Belanja Sosial 
Pasal 14


(1)
PPK melakukan penelitian atas laporan penyaluran dana Bantuan Sosial yang disampaikan oleh Bank / Pos Penyalur yang disetujui dalam Pasal 11 ayat (3) huruf e.


(2)
Dalam hal penelitian yang disetujui pada ayat (1), yang disediakan dana Bantuan Sosial yang belum tersalurkan sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam kontrak / kerja sama, PPK menerbitkan surat permintaan penyetoran dana, Belanja Bantuan Sosial ke Rekening Kas Umum Negara.


(3)
Penyetoran dana Bantuan Sosial disetujui pada ayat (2) yang dilakukan pada tahun anggaran berjalan menggunakan Surat Setoran Pengembalian Belanja (SSPB).


(4)
SSPBolehkan disetujui pada ayat (3) dilampiri dengan daftar nama penerima bantuan sosial yang tidak disalurkan.


(5)
Setoran dana Belanja Sosial disetujui pada ayat (3) dibukukan sebagai dana belanja senilai nilai setoran Dana Belanja Sosial pada fungsi, subfungsi, program, kegiatan, output, dan jenis belanja yang sama yang dipindahkan yang dialihkan dalam SSPB.


(6)
Dalam hal penyetoran dana Bantuan Sosial tidak dilaksanakan pada tahun anggaran berjalan disetujui pada ayat (3), penyetoran dana Belanja Bantuan Sosial disetujui pada ayat (2) dilaksanakan pada tahun anggaran berikutnya menggunakan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) yang dilampiri dengan daftar nama penerima bantuan sosial.


(7)
Penyetoran dana Belanja Sosial dan bunga / giro yang timbul dalam rangka kegiatan penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial, surat setorannya dibuat lengkap.


Bagian Kedua 
Pembayaran Kembali Atas Setoran Dana Belanja Bantuan Sosial 
Pasal 15


(1)
Pembayaran kembali atas setoran dana yang tidak tersalurkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) hanya dapat dilakukan pada tahun anggaran berjalan.


(2)
Rencana pembayaran kembali setoran dana Bantuan Sosial diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.


BAB VIII 
PENGAWASAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN 
Pasal 16


(1)
Kuasa, PA, pertanggungjawaban, target, target, penyaluran, dana, Bantuan Sosial, bagi penerima bantuan sosial.


(2)
PPK bertanggung jawab atas pelaksanaan penyaluran dana Bantuan Sosial untuk penerima bantuan sosial untuk persetujuan bantuan sosial telah sesuai dengan peruntukan dan tepat sasaran dengan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Kuasa PA.


(3)
Dalam rangka pengawasan penyaluran dana Bantuan Sosial, Kuasa dapat melakukan koordinasi dengan pengawasan fungsional.


(4)
Untuk menyetujui akuntabilitas dan menyetujui penyaluran dana Bantuan Sosial, Kuasa PA harus menyiapkan laporan pertanggungjawaban.


(5)
Laporan pertanggungjawaban yang disetujui pada ayat (4) paling sedikit dari jumlah pagu bantuan sosial yang disalurkan, bantuan sosial yang telah disalurkan, dan dana bantuan sosial yang diserahkan ke Rekening Kas Umum Negara.


(6)
Dalam hal ini masih ada dana Belanja Bantuan Sosial pada rekening Bank / Pos Penyalur yang belum disetorkan sampai akhir tahun, dana tersebut disajikan sebagai Kas Lainnya di Kementerian Negara / Lembaga pada Laporan Keuangan Kementerian Negara / Lembaga (LKKL).


(7)
Laporan pertanggungjawaban yang disetujui pada ayat (4) dilampiri dengan:



Sebuah.
data bukti transfer / tanda terima / konfirmasi dari Bank / Pos Penyalur / penerima bantuan sosial, untuk penyaluran dana Belanja Bantuan Sosial dalam bentuk uang; atau



b
berita acara serah terima, untuk penyaluran dana Bantuan Sosial dalam bentuk barang dan / atau jasa.


(8)
Laporan pertanggungjawaban yang disetujui pada ayat (4) dilampirkan sebagai suplemen pada Laporan Keuangan Kementerian Negara / Lembaga.


BAB IX 
KETENTUAN PERALIHAN 
Pasal 17


Pencairan dan penyaluran dana Bantuan Sosial yang dilaksanakan sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, dapat dilakukan dan disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini.


BAB X 
KETENTUAN PENUTUP. 
Pasal 18


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua ketentuan tentang pencairan dan penyaluran dana Bantuan Belanja Sosial, dicabut dan disetujui tidak berlaku.


Pasal 19


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, ajukan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.











Ditetapkan di Jakarta






pada tanggal 1 Juni 2012






MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,













                   ttd.













AGUS DW MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
padatanggal 1 Juni 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA 
REPUBLIK INDONESIA,
             ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 563

TOPIK MINGGU

KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN

SURAT KEPUTUSAN : Nomor : SK/42/DEPIDER/BK/VI/2016. TENTANG KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN.  "MAJU TERUS PANTANG MUND...