Tampilkan postingan dengan label Sejara Ke Sultanan Palembang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejara Ke Sultanan Palembang. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 September 2020

Kiai Marogan Ulam Besar Palembang

TRIBUNUSBANYUASIN.COM  PALEMBANG - Bagi masyarakat Sumatera Selatan khususnya di kota Palembang. Siapa yang tak kenal dengan Kiai Merogan, ulama penuh kharismatik dan punya karomah. Siapa sebenarnya Kiai Merogan tersebut?. Berikut silsilah sejarah dan riwayat Kiai Merogan.

Kiai Marogan terlahir dengan nama Masagus H. Abdul Hamid bin Masagus H. Mahmud. Namun bagi masyarakat Palembang, julukan “Kiai Marogan” lebih terkenal dibanding nama lengkapnya. Julukan Kiai Marogan dikarenakan lokasi masjid dan makamnya terletak di Muara sungai Ogan, anak sungai Musi, Kertapati Palembang. Mengenai waktu kelahirannya, tidak ditemukan catatan yang pasti. Ada yang mengatakan, ia lahir sekitar tahun 1811, dan ada pula tahun 1802.

Namun menurut sumber lisan dari zuriatnya, dan dihitung dari tahun wafatnya dalam usia 89 tahun, maka yang tepat adalah ia lahir tahun 1802, dan meninggal dunia pada 17 Rajab 1319 H yang bertepatan dengan 31 Oktober 1901.

Pada waktu Kiai Marogan lahir, kesultanan Palembang sedang dalam peperangan yang sengit dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda.  Kiai Marogan dilahirkan oleh seorang ibu bernama Perawati yang keturunan Cina dan Ayah yang bernama Masagus H. Mahmud alias Kanang, keturunan ningrat. Dari surat panjang hasil keputusan Mahkamah Agama Saudi Arabia, diketahui silsilah keturunan Masagus H. Mahmud berasal dari sultan-sultan Palembang yang bernama susuhunan Abdurrahman Candi Walang.

Berikut ini adalah silsilah beliau sampai ke Rasulullah:

Masagus Haji Abdul Hamid (Kiai Marogan) bin
Mgs. H. Mahmud Kanang bin
Mgs. Taruddin bin
Mgs. Komaruddin bin
Pangeran Wiro Kesumo Sukarjo bin
Pangeran Suryo Wikramo Kerik bin
Pangeran Suryo Wikramo Subakti bin
Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayyidul Imam bin
Pangeran Sedo Ing Pasarean (Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat VI ) bin
Tumenggung Manco Negaro bin
Pangeran Adipati Sumedang bin
Pangeran Wiro Kesumo Cirebon (Tumenggung Mintik) bin
Sayyid Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin
Sayyid Maulana Ishaq (Syeikh Al Umul Islam) bin
Sayyid Ibrahim Akbar bin
Sayyid Husain Jamaluddin Al Akbar bin
Sayyid Achmad Syah Jalal Umri bin
Sayyid Abdullah Azmatkhan bin
Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
Sayyid Alwi bin
Sayyid Muhammad Shohib Mirbat bin
Sayyid Ali Khaliq Qosam bin
Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin
Sayyid Alwi bin Sayyid Abdullah bin
Sayyid Ahmad Al Muhajir bin
Sayyid Isa Arrumi bin
Sayyid Muhammad An Naqib bin
Sayyid Ali Al Ridho bin Sayyid Ja’far Shidiq bin
Sayyid Muhammad Al Baqir bin
Sayyid Ali Zainal Abidin bin
Sayyidina Husain bin (Ali bin Abi Tholib dan Fatimah Az Zahro binti “Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam

Kiai Marogan (Mgs.H. Abdul Hamid) dan saudaranya Mgs.H Abdul Aziz. terlahir dari perkawinan orangtuanya (Ayah) yang bernama Mgs. H. Mahmud dan (ibu) Perawati (keturunan Cina) adapun saudaranya yang lain (Lain Ibu) bernama Msy.Khadijah dan Msy. Hamidah.

Kiai Marogan hanya memiliki seorang adik yang bernama Masagus KH. Abdul Aziz, yang juga menjadi seorang ulama dengan sebutan Kiai Mudo. Sebutan ini dikarenakan ia lebih muda dari Kiai Marogan. Kiai Mudo lebih dikenal di daerah Muara Enim seperti Gumay, Kertomulyo, Betung, Sukarame, Gelumbang, Lembak dan sekitarnya.

Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan dari keluarga bangsawan, Kiai Marogan memperoleh pendidikan agama dengan istimewa. Hal ini dikarenakan di dalam lingkungan kesultanan Palembang, agama Islam mempunyai tempat yang terhormat, di mana hubungan antara negara dan agama sangat erat, sebagaimana dibuktikan oleh birokrasi agama di istana Palembang.

Birokrasi ini dipimpin oleh seorang pegawai dengan gelar Pangeran Penghulu Naga Agama. Di samping itu, Kiai Marogan memperoleh pendidikan langsung dari orang tuanya yang ternyata merupakan seorang ulama besar yang lama belajar di Mekah dibawah bimbingan ulama besar seperti Syekh Abdush Shomad al-Falimbani. Setelah wafat, ayah Kiai Marogan dimakamkan di negeri Aden, Yaman Selatan. Melihat kecerdasan Kiai Marogan dalam menyerap ilmu agama kemudian orang tuanya mengirimkannya ke Mekah untuk belajar mendalami ilmu-ilmu agama.

Kiai Marogan tercatat pernah belajar ilmu-ilmu agama seperti ilmu fiqih, hadits dan tasawuf. Hal ini dapat diperoleh dari isnad-isnad yang ditulis oleh Syekh Yasin al-Fadani, mudir (pimpinan) Madrasah Darul Ulum Mekah.

Dasar-dasar pendidikan agamanya diberikan oleh ayahnya sendiri, Ki. Mgs. H. Mahmud Kanang yang juga sebagai sufi kelana dan wafat di Kota Aden –Yaman, yang makamnya terkenal dengan nama “Kubah al-Jawi”.

Ketika remaja Abdul Hamid belajar berbagai disiplin ilmu agama Islam kepada ulama-ulama besar Palembang waktu itu seperti: Syekh Pangeran Surya Kusuma Muhammad Arsyad (w.1884), Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad (w.1837), Syekh Datuk Muhammad Akib (w.1849), dll. Ia berpegang kepada akidah ahlussunnah wal jamaah, bermazhabkan Imam Syafei.

Sedang dibidang tasawwuf, ia mengamalkan dan mendapat ijazah Tarekat Sammaniyah dari ayahnya sendiri dan Tarekat Naqsyabandiyah dari para gurunya. Selanjutnya ia meneruskan studinya ke tanah suci, terutama Makkah dan Madinah kepada gurunya Sayid Ahmad Zaini Dahlan, Sayid Ahmad Dimyati dan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Sedangkan kawan seperguruannya saat itu antara lain Imam Nawawi Banten (1813-1897), KH. Kholil Bangkalan (1820-1925), KH. Mahfuz Termas (1824-1920), Kgs. Abdullah bin Ma’ruf, dan lain-lain.

Setelah merampungkan studinya di tanah suci, ia berkeinginan untuk hijrah ke Masjidil Aqsa, namun niat tersebut diurungkannya. Karena ia memperoleh petunjuk bahwa negerinya masih sangat memerlukannya, dimana beliau meninggalkan dua anak yatim yang tak lain Masjid Kiai Merogan dan Masjid Lawang Kidul.

Kiai Marogan memiliki dua orang isteri yang bernama Masayu Maznah dan Raden Ayu salmah. Dari pernikahannya ia dikarunia tiga putra putri yaitu Masagus H. Abu Mansyur, Masagus H. Usman, dan Masayu Zuhro. Pada masa mudanya Kiai Marogan dikenal giat berbisnis di bidang saw-mill atau perkayuan. Ia memiliki dua buah pabrik penggergajian kayu.

Bakat bisnis mungkin diperoleh dari ibunya yang merupakan keturunan Cina. Berkat sukses dalam bisnis kayu ini memungkinkan Kiai Marogan untuk pulang pergi ke tanah suci dan menjalankan kegiatan penyebaran dakwah di pedalaman Sumatra Selatan. Dari hasil usaha kayu ini juga Kiai Marogan mampu mendirikan sejumlah masjid yang diperuntukkan sebagai pusat pengajian dan dakwah.

Banyak ajaran Kiai Marogan yang masih melekat di sebagian penduduk Palembang, di antaranya adalah sebuah dzikir:

La ilaha Illallahul Malikul Haqqul Mubin Muhammadur Rasulullah Shadiqul Wa’dul Amin”,
yang artinya “Tiada Tuhan Selain Allah, Raja Yang Benar dan Nyata, Muhammad adalah Rasulullah Yang Jujur dan Amanah.”

Dzikir yang diamalkan oleh Kiai Marogan di atas, ternyata sumbernya di dalam hadits. Dari Sayyidina Ali Ra Karramallahu wajhahu berkata, Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa setiap hari membaca 100 x Lailahaillah al-Maliku al-Haqqu al-Mubin, maka ia akan aman dari kefakiran, jadi kaya, tenang di alam kubur, dan mengetuk pintu surga.”

Konon, amalan zikir ini dibaca oleh Kiai Marogan dan murid-muridnya dalam perjalanan di atas perahu. Sambil mengayuh perahu, beliau menyuruh murid-muridnya mengucapkan zikir tersebut berulang-ulang sepanjang perjalanan dengan suara lantang. Zikir ini dapat menjadi tanda dan ciri khas penduduk apabila ingin mengetahui Kiai Marogan melewati daerahnya.

Amalan zikir ini ternyata sampai sekarang masih dibaca oleh Wong Palembang, khususnya kaum Ibu-ibu ketika menggendong anak bayi untuk menimang atau menidurkan anaknya dengan irama yang khas dan berulang-ulang. Dan dzikir ini juga dipakai oleh penduduk untuk mengantarkan mayit sambil mengusung keranda sampai ke pemakaman.

Sabtu, 12 September 2020

Daftar Penguasa dan Sultan Palembang

 Penguasa dan Sultan Palembang


Sejarah panjang terbentuknya Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-17, dapat kita runut dari tokoh Aria Damar, seorang keturunan dari raja Majapahit yang terakhir. Kesultanan Palembang Darussalam secara resmi diproklamirkan oleh Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (atau lebih dikenal Kimas Hindi/Kimas Cinde) sebagai sultan pertama (1643-1651), terlepas dari pengaruh kerajaan Mataram (Jawa). Corak pemerintahanya dirubah condong ke corak Melayu dan lebih disesuaikan dengan ajaran agama Islam. 

Tanggal 7 Oktober 1823, Kesultanan Palembang Darussalam dihapuskan oleh penjajah Belanda dan kota Palembang dijadikan Komisariat di bawah Pemerintahan Hindia Belanda (kontrak terhitung 18 Agustus 1823).

Berikut beberapa nama penguasa/raja dan Sultan yang pernah memimpin Kesultanan Palembang Darussalam.

NoNama PenguasaTahunMakamKeturunan
1Ario Dillah (Ario Damar)1455 – 1486Jl. Ario Dillah III, 20 ilrAnak Brawijaya V
2Pangeran Sedo ing Lautan (diganti putranya)s.d 15281 Ilir, di sebelah Masjid Sultan AgungKeturunan R. Fatah
3Kiai Gede in Suro Tuo (diganti saudaranya)1528 – 15451 Ilir, halaman musim Gedeng SuroAnak R Fatah
4Kiai Gede in Suro Mudo (Kiai Mas Anom Adipati ing Suro/Ki Gede ing Ilir) (diganti putranya)1546 – 15751 Ilir, kompleks makam utama Gedeng SuroSaudara Kiai Gede in Suro Tuo
5Kiai Mas Adipati (diganti saudaranya)1575 – 15871 Ilir, makam Panembahan selatan Sabo KingkingAnak Kiai Gede in Suro Mudo
6Pangeran Madi ing Angsoko (diganti adiknya)1588 – 162320 ilir, candi AngsokoAnak Kiai Gede in Suro Mudo
7Pangeran Madi Alit (diganti saudaranya)1623 – 162420 Ilir, sebelah RS CharitasAnak Kiai Gede in Suro Mudo
8Pangeran Sedo ing Puro (diganti keponakannya)1624 – 1630Wafat di IndralayaAnak Kiai Gede in Suro Mudo
9Pangeran Sedo ing Kenayan (diganti keponakannya)1630 – 16422 Ilir, Sabokingking
10Pangeran Sedo ing Pasarean (Nyai Gede Pembayun) (diganti putranya)1642 – 16432 Ilir, SabokingkingCucu Kiai Mas Adipati
11Pangeran Mangkurat Sedo ing Rejek (diganti saudaranya)1643 – 1659Saka Tiga, Tanjung RajaAnak Pangeran Sedo ing Pasarean
12Kiai Mas Hindi, Pangeran Kesumo Abdurrohim (Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam) (diganti putranya)1662 – 1706Candi Walang (Gelar Sultan Palembang Darusslam 1675)Anak Pangeran Sedo ing Pasarean
13Sultan Muhammad (Ratu) Mansyur Jayo ing Lago (Diganti saudaranya)1706 – 171832 Ilir, Kebon GedeAnak Kiai Mas Hindi
14Sultan Agung Komaruddin Sri teruno (diganti keponakannya)1718 – 17271 Ilir, sebelah Masjid Sultan AgungAnak Kiai Mas Hindi
15Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo (diganti putranya)1727 – 17563 Ilir, Lamehabang Kawmah TengkurapAnak Sultan Muhammad Mansyur Jayo ing Lago
16Sultan/Susuhunan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo (diganti putranya)1756 – 17743 Ilir, Lemahabang (wafat 1776)Anak Sultan Mahmud Badaruddin I
17Sultan Muhammad Bahauddin1774 – 18033 Ilir, LemahabangAnak Sultan Ahmad Najamuddin I
18Sultan/Susuhunan Mahmud Badaruddin II R. Hasan1803 – 1821Dibuang ke Ternate (wafat 1852)Anak Sultan Muhammad Bahauddin
19Sultan/Susuhunan Husin Dhiauddin (adik SMB II)1812 – 1813Wafat 1826 di Jakarta. Makam di Krukut, lalu dipindah ke LemahabangAnak Sultan Muhammad Bahauddin
20Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (putra SMB II)1819 – 1821Dibuang ke TernateAnak SMB II
21Sultan Ahmad najamuddin IV Prabu Anom (putra Najamuddin II)1821 – 1823Dibuang ke Manado 25-10-1825. Wafat usia 59 tahunAnak Sultan Husin Dhiauddin
22Pangeran Kramo Jayo, Keluarga SMB II. Pejabat yang diangkat Pemerintah Belanda sebangai Pejabat Negara Palembang1823 – 1825Dibuangke Purbalingga Banyumas. Makam di 15 Ilir, sebelah SDN 2, Jl. SegaranAnak Pangeran Natadiraja M. Hanafiah

Sumber: ‘Kesultanan Palembang’, Ir. Nanang S. Soetadji

Senin, 01 Juni 2020

Rumpun Melayu, Kedatuan Sriwijaya Palembang Darusalam l

Sumatera Selatan atau pulau Sumatera bagian selatan yang dikenal sebagai provinsi Sumatera Selatan didirikan pada tanggal 12 September 1950 yang awalnya mencakup daerah Jambi, Bengkulu, Lampung, dan kepulauan Bangka Belitung dan keempat wilayah yang terakhir disebutkan kemudian masing-masing menjadi wilayah provinsi tersendiri akan tetapi memiliki akar budaya bahasa dari keluarga yang sama yakni bahasa Austronesia proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa dan logat antara lain seperti Palembang, Ogan, Komering, Musi, Lematang dan masih banyak bahasa lainnya.

Menurut sumber antropologi disebutkan bahwa asal usul manusia Sumatera bagian selatan dapat ditelusuri mulai dari zaman paleolitikum dengan adanya benda-benda zaman paleolitikum pada beberapa wilayah antara lain sekarang dikenal sebagai Kabupaten Lahat, Kabupaten Sarolangun Bangko, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Tanjung Karang yakni desa Bengamas lereng utara pergunungan Gumai, di dasar (cabang dari Sungai Musi) sungai Saling, sungai Kikim lalu di desa Tiangko Panjang (Gua Tiangko Panjang) dan desa Padang Bidu atau daerah Podok Salabe serta penemuan di Kalianda dan Kedaton dimana dapat ditemui tradisi yang berasal dari acheulean yang bermigrasi melalui sungai Mekong yang merupakan bagian dari bangsa Monk Khmer.



Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika.



Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri China.

Roni Paslah : Bapak, Muhammad Ali Bin Masyhur Bin Abbas Bin Kutong. (Pemulutan Ilir Ogan).
Roni Paslah : Ibu, Rusliah Binti Amir Hamzah Bin Sidi Bin Mahajib Bin Danomayo. (Tanjung Sakti Lahat, Muara Kati Lubuk Linggau).
Ini peninggalan merupakan bukti dan tabat sejarah Simbol dari Roni Paslah : Bapak, Muhammad Ali Bin Masyhur Bin Abbas Bin Kutong. (Sriwijaya, Lahat, Pemulutan Ilir Ogan).

Nenek moyang dari masyarakat suku Ogan diperkirakan berasal dari masyarakat yang menghuni Gunung Dempo, yang terletak di dataran tinggi Basemah. 

Berdasarkan penemuan arkeologis, telah ada masyarakat yang hidup di sekitar dataran tinggi Pasemah, yang diperkirakan telah ada sejak 4.500 tahun yang lalu (2.500 SM). Mereka yang berasal dari dataran tinggi Pasemah akhirnya mulai turun ke bawah untuk kemudian menyusuri Sungai Ogan, dengan tujuan mencari lahan pemukiman yang baru. 

Keberadaan mereka di pinggiran Sungai Ogan, pada akhirnya berinteraksi dengan masyarakat yang telah ada sebelumnya, untuk kemudian membentuk satu kebudayaan tersendiri. 

Pemukiman masyarakat di sekitar sepanjang Sungai Ogan sendiri sebenarnya sudah ada sebelum kedatangan nenek moyang dari suku Ogan. 

Temuan arkeologis di Gua Harimau, salah satu peninggalan zaman purba di wilayah Sumatra Selatan, menunjukkan bahwa peradaban disekitar Sungai Ogan sudah berumur puluhan ribu tahun, bahkan diperkirakan telah ada sejak masa zaman es. 

Penghuni gua-gua purba ini, awalnya merupakan komunitas Ras Australomelanesid. Lalu setelah kedatangan Ras Mongoloid, kedua ras ini menyatu dalam satu kelompok masyarakat yang baru.[3]

Sumber lain mengatakan bahwa nenek moyang dari suku Ogan diduga ada yang berasal dari Lampung, Palembang, dan Tanah Jawa, diantaranya yang tercatat adalah:

Keluarga Sanghyang Sakti Nyata; Berdasarkan catatan dari masyarakat Lampung Pesisir Way Lima, diceritakan beliau memiliki 7 orang anak, yang kemudian menjadi leluhur bagi Suku Ogan, Rejang, Semende, Pasemah, Komering dan Lampung.

Pengikut Penguasa Palembang yang pernah hijrah ke Ogan Ilir, antara lain:
Pangeran Sido ing Rajek di Desa Saka Tiga (Inderalaya) tahun 1659.
Sultan Mahmud Badaruddin (II) Pangeran Ratu di Desa Tanjung Lubuk tahun 1821.
Sultan Ahmad Najamuddin (IV) Prabu Anom di Hulu Sungai Ogan tahun 1824.
MELAYU PALEMBANG

Batang Hari Sembilan, Ibu Suku dan Marga
Melalui jalur sungai itu, Kesultanan Palembang menegakkan integritas wilayah, kedaulatan hukum, dan kesatuan budaya. Jaringan sungai yang menguntai budaya Palembang itu memiliki sebutan khusus, yakni Batang Hari Sembilan, yang terdiri dari Sungai Musi dan delapan anak sungai utamanya.

Batang Hari Sembilan, Ibu Suku dan Marga
Rangkaian Light Rail Transit (LRT) Palembang melintas di atas Sungai Musi, Palembang, Sumatra Selatan Budaya palembang berkembang di sepanjang Musi dan anak-anak sungainya, wilayah budaya yang disebut Batang Hari Sembilan. Budaya sungai itu melahirkan banyak suku dan marga.

Masyarakat Palembang itu khas. Ada yang menyebutnya Melayu-Palembang untuk membedakannya dengan Melayu Riau, atau Deli. Dalam Melayu Palembang ada jejak budaya Arab, Cina, Minang, dan Jawa yang kental. Jejak budaya itu muncul dalam aspek bahasa, kuliner, busana, arsitektur, kesenian, tradisi, nilai, dan pranata sosial khas ala Palembang. Budaya ini pun menyebar ke seantero Sumatra Selatan, sebagian Lampung dan Jambi.

Palembang kembali tumbuh menjadi pusat budaya ketika kerajaan baru yang independen muncul di abad 16. Kerajaan ini didirikan oleh bangsawan Kesultanan Demak yang notabene adalah anak-cucu Sultan Fatah yang  berasal dari Palembang. Sejarah mencatat, Raden Fatah adalah putra Brawijaya III dari Majapahit  dari istrinya yang berdarah Cina, yang diasuh dan dibesarkan oleh Arya Damar, Adipati Palembang.

Hijrah dari Demak (Jawa Tegah) ke Palembang itu terjadi menyusul adanya konflik berkepanjangan pada keluarga kerajaan. Di bawah pimpinan Ki Gede Suro, rombongan trah Demak itu mendarat di Palembang sekitar 1560-an. Dengan membawa atribut sebagai cucu-cicit Raden Fatah serta Ario Damar, rombongan ini diterima dengan baik oleh masyarakat Palembang yang sudah tumbuh menjadi komunitas Islam.

Kekosongan kekuasaan di Palembang memberi peluang Ki Gede Suro menjadi penguasa di lembah Musi itu, dan berlanjut hingga anak cucunya. Dinasti Ki Gede Suro pun membangun kerajaan kecil. Hampir seabad kemudian, setelah berhasil mengkonsolidasikan wilayah dan kekuasaan politiknya,  pada 1659 Pangeran Ario Kesumo memproklamasikan diri sebagai Sultan Palembang I dengan gelar pertama dibawa Sri Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayidil Iman.

Ketika itu Palembang sudah menjadi bandar yang ramai. Palembang hidup dari perdagangan hasil bumi, hutan, dan tambang. Pedagang Arab dan Tionghoa datang. Sesuai peraturan yang berlaku ketika itu, para pedagang asing itu diijinkan bermukim di seberang Ulu, di seberang Sungai Musi dari arah Keraton yang kini ada di jantung Kota Palembang, yakti Benteng Kuto Besak.

Para era-era berikutnya, masyarakat lain dari berbagai daerah datang dan bermukim di Palembang dan sebagian datang dari Ranah Minang. Jadilah Palembang sebagai bandar besar dengan budaya khas.

Sampai 150 tahun silam, kawasan  hutan alam masih mendominasi alam di  Sumatra Selatan. Jalan darat amat minim. Toh, penetrasi budaya Palembang ke pedalaman berjalan lancar, lewat jalur air. Sungai Musi yang panjangnya 720 km itu bisa dilayari sampai 450 km ke pedalaman. Empat Lawang, Tebing Tinggi, Musi Banyuasin, dan Sekayu adalah kota-kota yang dilewati Sungai Musi.

Sungai Musi juga menjadi muara bagi delapan sungai besar lainnya, yakni Sungai Komering, Sungai Rawas, Sungai Leko (disebut juga Batang Hari Leko), Lakitan, Kelingi, Lematang, Lahan (Semangus), dan Sungai Ogan. Melalui badan Sungai Musi dan kedelapan anak sungainya, budaya Palembang ini tumbuh dan mengakar di antero Sumatra Selatan. Wong Pelembang menjadi identitas mereka semua.

Melalui jalur sungai itu pula, Kesultanan Palembang menegakkan integritas wilayahnya, kedaulatan hukum, dan kesatuan budayanya. Jaringan sungai yang menguntai budaya Palembang itu memiliki sebutan khusus, yakni Batang Hari Sembilan, yang terdiri dari Sungai Musi dan delapan anak sungai utamanya.

Wilayah Kesultanan Palembang dibagi dalam wilayah-wilayah semacam kabupaten. Bila daerahnya luas, maju, dan berpenduduk besar, pemimpinnya disebut Pangeran. Yang lebih kecil dipimpin oleh Depati. Di bawah mereka ada demang-demang yang memimpin sejumlah wilayah adat dan masing-masing wilayah adat itu dipimpin seorang Pasirah.

Meski sama-sama berkiblat ke Palembang, warga di sepanjang tepian Batang Hari Sembilan itu tidak mudah saling berkomunikasi secara langsung. Tidak heran bila komunitas pada masing-masing anak sungai itu itu berkembang subkultur sendiri. Orang Palembang menyebutnya suku.

Ada banyak suku di kawasan Batang Hari Sembilan itu. Ada suku Kikim, Semenda, Komering, Ogan, Lintang, Pasemah, Lintang, Pegagah, Rawas, Sekak Rambang, Lembak, Kubu, Penesek, Gumay, Musi, Panukal, Bilida, Rejang, dan Ranau. Meski satu induk, bahasa di masing-masing suku tak sepenuhnya sama. Dari suku-suku itu ada kesatuan adat di bawahnya yang disebut marga.

Hingga saat ini ada puluhan marga yang masih hidup di Sumatra Selatan. Seperti di Sumatra Barat, warga Batang Hari Sembilan itu boleh menggunakan nama marga boleh juga tidak. Beberapa nama marga Palembang yang masih sering terdengar, antara lain, adalah Madang, Mandayun, Temenggung, atau Samendawai. (P-1)

Rabu, 29 April 2020

Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (SMB l) Memper Istri Masayu Ratu Puteri Yang Dan Asal Nama Muntok

🏝️ Bangka wilayah Kekuasan Kesultanan Palembang
Sebagaimana diketahui, dulu Pulau Bangka Belitung termasuk dalam bagian wilayah Kesultanan Palembang Darussalam.

setelah Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (SMB l) memerintah, produksi & eksploitasi tambang timah di Bangka mengalami peningkatan.

Penggarapan secara serius dengan mengrekrut & menambah tenaga kerja manusia yang sebagian besar orang Cina peranakan Siantan dari Kepulauan Natuna-Riau. Jumlah mereka sekitar 1000 orang ditempatkan di Muntok, yang dikenal ahli dalam pertambangan. Komunitas keluarga Cina ini beragama Islam, kaum prianya bergelar “Abang”, sedang perempuannya bergelar “Yang”. Puteri Yang ini menjadi salah satu isteri sultan-sultan Palembang & mendapat gelar kehormatan ‘Masayu Ratu’.

Menurut sejarahnya, SMB I sendiri yg memberikan nama tempat Muntok. Waktu itu belum bernama Muntok. Menurut RM Akib, dalam buku Sejarah Melayu Palembang (1929), diceritakan ketika SMB I  bersama isteri &! pengikutnya kembali dari rihlah ke Siantan menuju Palembang, mereka terlebih dulu singgah di Muntok. Waktu baginda pulang, disebutnya tempat itu “Mantuk”, dalam bahasa Palembang asli/bebaso artinya balik/pulang (Mantuk=Muntok).

Di Pulau Bangka Belitung waktu itu berlaku Undang-Undang Bangka produk yang dirancang dan  disusun oleh SMB I. Undang-Undang ini sebetulnya mengacu kepada perundangan yang telah dibentuk dan berlaku sebelumnya di zaman Sunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706) dan mertuanya Bupati Nusantara, penguasa Bangka waktu itu. Memang, setelah Sultan Abdurrahman menikah dengan puteri Bupati Nusantara, Pulau Bangka diwarisi kepada anaknya yg menjadi permaisuri Palembang terutama jika ayahnya wafat. Dengan demikian,  Bangka menjadi bagian wilayah kesultanan Palembang.

SMB I mempersunting puteri Yang Zamiah (Lim Ban Nio) binti Datuk Dalem Abdul Jabar (Lim Piauw Kin) bin Datuk Nandam Abdul Hayat (Lim Tauw Kian)  tahun 1715.

Hingga akhir hayatnya puteri Yang dimakamkan bersanding bersama Sultan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (SMB I) di komplek pemakaman Kawah Tengkurep Lemabang.

Refrensi:

#kesultananpalembang

TOPIK MINGGU

KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN

SURAT KEPUTUSAN : Nomor : SK/42/DEPIDER/BK/VI/2016. TENTANG KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN.  "MAJU TERUS PANTANG MUND...