Senin, 01 Juni 2020

Rumpun Melayu, Kedatuan Sriwijaya Palembang Darusalam l

Sumatera Selatan atau pulau Sumatera bagian selatan yang dikenal sebagai provinsi Sumatera Selatan didirikan pada tanggal 12 September 1950 yang awalnya mencakup daerah Jambi, Bengkulu, Lampung, dan kepulauan Bangka Belitung dan keempat wilayah yang terakhir disebutkan kemudian masing-masing menjadi wilayah provinsi tersendiri akan tetapi memiliki akar budaya bahasa dari keluarga yang sama yakni bahasa Austronesia proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa dan logat antara lain seperti Palembang, Ogan, Komering, Musi, Lematang dan masih banyak bahasa lainnya.

Menurut sumber antropologi disebutkan bahwa asal usul manusia Sumatera bagian selatan dapat ditelusuri mulai dari zaman paleolitikum dengan adanya benda-benda zaman paleolitikum pada beberapa wilayah antara lain sekarang dikenal sebagai Kabupaten Lahat, Kabupaten Sarolangun Bangko, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Tanjung Karang yakni desa Bengamas lereng utara pergunungan Gumai, di dasar (cabang dari Sungai Musi) sungai Saling, sungai Kikim lalu di desa Tiangko Panjang (Gua Tiangko Panjang) dan desa Padang Bidu atau daerah Podok Salabe serta penemuan di Kalianda dan Kedaton dimana dapat ditemui tradisi yang berasal dari acheulean yang bermigrasi melalui sungai Mekong yang merupakan bagian dari bangsa Monk Khmer.



Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika.



Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri China.

Roni Paslah : Bapak, Muhammad Ali Bin Masyhur Bin Abbas Bin Kutong. (Pemulutan Ilir Ogan).
Roni Paslah : Ibu, Rusliah Binti Amir Hamzah Bin Sidi Bin Mahajib Bin Danomayo. (Tanjung Sakti Lahat, Muara Kati Lubuk Linggau).
Ini peninggalan merupakan bukti dan tabat sejarah Simbol dari Roni Paslah : Bapak, Muhammad Ali Bin Masyhur Bin Abbas Bin Kutong. (Sriwijaya, Lahat, Pemulutan Ilir Ogan).

Nenek moyang dari masyarakat suku Ogan diperkirakan berasal dari masyarakat yang menghuni Gunung Dempo, yang terletak di dataran tinggi Basemah. 

Berdasarkan penemuan arkeologis, telah ada masyarakat yang hidup di sekitar dataran tinggi Pasemah, yang diperkirakan telah ada sejak 4.500 tahun yang lalu (2.500 SM). Mereka yang berasal dari dataran tinggi Pasemah akhirnya mulai turun ke bawah untuk kemudian menyusuri Sungai Ogan, dengan tujuan mencari lahan pemukiman yang baru. 

Keberadaan mereka di pinggiran Sungai Ogan, pada akhirnya berinteraksi dengan masyarakat yang telah ada sebelumnya, untuk kemudian membentuk satu kebudayaan tersendiri. 

Pemukiman masyarakat di sekitar sepanjang Sungai Ogan sendiri sebenarnya sudah ada sebelum kedatangan nenek moyang dari suku Ogan. 

Temuan arkeologis di Gua Harimau, salah satu peninggalan zaman purba di wilayah Sumatra Selatan, menunjukkan bahwa peradaban disekitar Sungai Ogan sudah berumur puluhan ribu tahun, bahkan diperkirakan telah ada sejak masa zaman es. 

Penghuni gua-gua purba ini, awalnya merupakan komunitas Ras Australomelanesid. Lalu setelah kedatangan Ras Mongoloid, kedua ras ini menyatu dalam satu kelompok masyarakat yang baru.[3]

Sumber lain mengatakan bahwa nenek moyang dari suku Ogan diduga ada yang berasal dari Lampung, Palembang, dan Tanah Jawa, diantaranya yang tercatat adalah:

Keluarga Sanghyang Sakti Nyata; Berdasarkan catatan dari masyarakat Lampung Pesisir Way Lima, diceritakan beliau memiliki 7 orang anak, yang kemudian menjadi leluhur bagi Suku Ogan, Rejang, Semende, Pasemah, Komering dan Lampung.

Pengikut Penguasa Palembang yang pernah hijrah ke Ogan Ilir, antara lain:
Pangeran Sido ing Rajek di Desa Saka Tiga (Inderalaya) tahun 1659.
Sultan Mahmud Badaruddin (II) Pangeran Ratu di Desa Tanjung Lubuk tahun 1821.
Sultan Ahmad Najamuddin (IV) Prabu Anom di Hulu Sungai Ogan tahun 1824.
MELAYU PALEMBANG

Batang Hari Sembilan, Ibu Suku dan Marga
Melalui jalur sungai itu, Kesultanan Palembang menegakkan integritas wilayah, kedaulatan hukum, dan kesatuan budaya. Jaringan sungai yang menguntai budaya Palembang itu memiliki sebutan khusus, yakni Batang Hari Sembilan, yang terdiri dari Sungai Musi dan delapan anak sungai utamanya.

Batang Hari Sembilan, Ibu Suku dan Marga
Rangkaian Light Rail Transit (LRT) Palembang melintas di atas Sungai Musi, Palembang, Sumatra Selatan Budaya palembang berkembang di sepanjang Musi dan anak-anak sungainya, wilayah budaya yang disebut Batang Hari Sembilan. Budaya sungai itu melahirkan banyak suku dan marga.

Masyarakat Palembang itu khas. Ada yang menyebutnya Melayu-Palembang untuk membedakannya dengan Melayu Riau, atau Deli. Dalam Melayu Palembang ada jejak budaya Arab, Cina, Minang, dan Jawa yang kental. Jejak budaya itu muncul dalam aspek bahasa, kuliner, busana, arsitektur, kesenian, tradisi, nilai, dan pranata sosial khas ala Palembang. Budaya ini pun menyebar ke seantero Sumatra Selatan, sebagian Lampung dan Jambi.

Palembang kembali tumbuh menjadi pusat budaya ketika kerajaan baru yang independen muncul di abad 16. Kerajaan ini didirikan oleh bangsawan Kesultanan Demak yang notabene adalah anak-cucu Sultan Fatah yang  berasal dari Palembang. Sejarah mencatat, Raden Fatah adalah putra Brawijaya III dari Majapahit  dari istrinya yang berdarah Cina, yang diasuh dan dibesarkan oleh Arya Damar, Adipati Palembang.

Hijrah dari Demak (Jawa Tegah) ke Palembang itu terjadi menyusul adanya konflik berkepanjangan pada keluarga kerajaan. Di bawah pimpinan Ki Gede Suro, rombongan trah Demak itu mendarat di Palembang sekitar 1560-an. Dengan membawa atribut sebagai cucu-cicit Raden Fatah serta Ario Damar, rombongan ini diterima dengan baik oleh masyarakat Palembang yang sudah tumbuh menjadi komunitas Islam.

Kekosongan kekuasaan di Palembang memberi peluang Ki Gede Suro menjadi penguasa di lembah Musi itu, dan berlanjut hingga anak cucunya. Dinasti Ki Gede Suro pun membangun kerajaan kecil. Hampir seabad kemudian, setelah berhasil mengkonsolidasikan wilayah dan kekuasaan politiknya,  pada 1659 Pangeran Ario Kesumo memproklamasikan diri sebagai Sultan Palembang I dengan gelar pertama dibawa Sri Susuhunan Sultan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayidil Iman.

Ketika itu Palembang sudah menjadi bandar yang ramai. Palembang hidup dari perdagangan hasil bumi, hutan, dan tambang. Pedagang Arab dan Tionghoa datang. Sesuai peraturan yang berlaku ketika itu, para pedagang asing itu diijinkan bermukim di seberang Ulu, di seberang Sungai Musi dari arah Keraton yang kini ada di jantung Kota Palembang, yakti Benteng Kuto Besak.

Para era-era berikutnya, masyarakat lain dari berbagai daerah datang dan bermukim di Palembang dan sebagian datang dari Ranah Minang. Jadilah Palembang sebagai bandar besar dengan budaya khas.

Sampai 150 tahun silam, kawasan  hutan alam masih mendominasi alam di  Sumatra Selatan. Jalan darat amat minim. Toh, penetrasi budaya Palembang ke pedalaman berjalan lancar, lewat jalur air. Sungai Musi yang panjangnya 720 km itu bisa dilayari sampai 450 km ke pedalaman. Empat Lawang, Tebing Tinggi, Musi Banyuasin, dan Sekayu adalah kota-kota yang dilewati Sungai Musi.

Sungai Musi juga menjadi muara bagi delapan sungai besar lainnya, yakni Sungai Komering, Sungai Rawas, Sungai Leko (disebut juga Batang Hari Leko), Lakitan, Kelingi, Lematang, Lahan (Semangus), dan Sungai Ogan. Melalui badan Sungai Musi dan kedelapan anak sungainya, budaya Palembang ini tumbuh dan mengakar di antero Sumatra Selatan. Wong Pelembang menjadi identitas mereka semua.

Melalui jalur sungai itu pula, Kesultanan Palembang menegakkan integritas wilayahnya, kedaulatan hukum, dan kesatuan budayanya. Jaringan sungai yang menguntai budaya Palembang itu memiliki sebutan khusus, yakni Batang Hari Sembilan, yang terdiri dari Sungai Musi dan delapan anak sungai utamanya.

Wilayah Kesultanan Palembang dibagi dalam wilayah-wilayah semacam kabupaten. Bila daerahnya luas, maju, dan berpenduduk besar, pemimpinnya disebut Pangeran. Yang lebih kecil dipimpin oleh Depati. Di bawah mereka ada demang-demang yang memimpin sejumlah wilayah adat dan masing-masing wilayah adat itu dipimpin seorang Pasirah.

Meski sama-sama berkiblat ke Palembang, warga di sepanjang tepian Batang Hari Sembilan itu tidak mudah saling berkomunikasi secara langsung. Tidak heran bila komunitas pada masing-masing anak sungai itu itu berkembang subkultur sendiri. Orang Palembang menyebutnya suku.

Ada banyak suku di kawasan Batang Hari Sembilan itu. Ada suku Kikim, Semenda, Komering, Ogan, Lintang, Pasemah, Lintang, Pegagah, Rawas, Sekak Rambang, Lembak, Kubu, Penesek, Gumay, Musi, Panukal, Bilida, Rejang, dan Ranau. Meski satu induk, bahasa di masing-masing suku tak sepenuhnya sama. Dari suku-suku itu ada kesatuan adat di bawahnya yang disebut marga.

Hingga saat ini ada puluhan marga yang masih hidup di Sumatra Selatan. Seperti di Sumatra Barat, warga Batang Hari Sembilan itu boleh menggunakan nama marga boleh juga tidak. Beberapa nama marga Palembang yang masih sering terdengar, antara lain, adalah Madang, Mandayun, Temenggung, atau Samendawai. (P-1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TOPIK MINGGU

KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN

SURAT KEPUTUSAN : Nomor : SK/42/DEPIDER/BK/VI/2016. TENTANG KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN.  "MAJU TERUS PANTANG MUND...