Selasa, 16 April 2019

UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/MPR tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam‎

UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/MPR tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam‎.

Setelah memberikan membahas suatu kerangka pengaturan mengenai keberadaan dan hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam dalam UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/MPR tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, selanjutnya pembahasan akan diturunkan pada tingkatan undang-undang. 
Dalam bagian ini, ketentuan di dalam undang-undang tidak saja dianalisis secara tekstual, namun juga dimaknai secara konteks tual.Untuk memberikan pemahaman yang lebih luas dalam melakukan studi sinkronisasi dan harmonis asi terhadap ketentuan undang-undang maka analisis teks ini telah dilengkapi dengan informasi yang diperoleh melalui Focus Group Discussion yang diselenggarakan sebagai bagian dari penelitian ini. 
Bagian ini akan dimulai dengan pembahasan mengenai pengaturan dan dinamika permasalahan masyarakat hukum adat dalam perundang undangan bidang pertambangan, kemudian perundang-undangan di bidang ke lautan dan pesisir, lalu perundang-undangan di bidang sumber daya alam. 
Peneliti dalam kegiatan penelitian ini memahami bahwa lingkup yang dibahas belum komprehensif untuk juga melakukan sinkronisasi terhadap pengaturan yang berkaitan dengan pertanahan, kehutanan, dan tata pemerintahan. Meski pun demikian, penelitian ini memberikan suatu kerangka kerja (framework) yang dapat dikembangkan dalam menganalisis berbagai sektor lain dan pada berbagai tingkatan peraturan perundang undangan 1 Masyarakat Hukum Adat Dalam Perundang-undangan Bidang Pertambangan.
Pengelolaan pertambangan di Indonesia diatur dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Di dalam UU No. 2 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) diatur mengenai perlindungan terhadap masyarakat adat, seperti yang terdapat di dalam Pasal 11, Pasal 33 dan Pasal 34 UU Migas. Di dalam Pasal 11 UU Migas yang mengatur mengenai Kontrak Kerja Sama (KKS) dalam usaha hulu migas ditentukan bahwa di dalam KKS tersebut harus membuat beberapa ketentuan pokok, salah satunya adalah mengenai pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat. 
Dengan ketentuan ini, maka semua KKS yang dipegang oleh perusahaan Migas harus berisi tentang bagaimana perlindungan terhadap hak masyarakat adat apabila wilayah konsesi dari perusahaan Migas tersebut di atas atau berada di dekat wilayah kehidupan masyarakat adat.
Selain itu, di dalam Pasal 33 dan Pasal 34 UU Migas diatur pengelolaan Migas dalam kaitannya dengan hak atas tanah. Pasal 33 ayat (3) UU Migas menyatakan bahwa kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat. 5Dengan demikian nampak jelas bahwa pada prinsipnya kegiatan usaha Migas tidak dapat dilakukan di atas tanah masyarakat adat.
Namun pada pengaturan lain ditentuan bahwa pada tanah masyarakat adat tetap dapat dilakukan kegiatan usaha Migas setelah memperoleh persetujuan dari masyarakat adat. Pada penjelasan Pasal 33 ayat (4) disebutkan bahwa: “…Khusus tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci dan tanah milik masyarakat adat, sebelum dikeluarkan izin dari instansi Pemerintah yang berwenang perlu mendapat persetujuan dari masyarakat setempat.
”Ketentuan ini menganulir larangan penggunaan tanah masyarakat adat untuk usaha Migas. Dengan kata lain, kegiatan Migas dapat dilakukan di atas tanah masyarakat adat setelah mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat. Persetujuan masyarakat adat tersebut dilakukan dalam bentuk penyelesaian secara musyawarah dan mufakat untuk mendapatkan keputusan mengenai cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atas tanah.
Berbeda dengan UU Migas, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) tidak menyediakan ketentuan yang spesifik mengenai masyarakat adat. Di dalam UU Minerba pengaturan lebih bersifat umum mengenai peran dan keterlibatan masyarakat dari pada satu kategori yang lebih spesifik mengenai masyarakat adat.
Hal ini menunjukan suatu ketidaksinkronan karena antara UU Migas dan UU Minerba samasama merupakan undang-undang yang menjadi landasan kegiatan pertambangan di Indonesia.
Apalagi kegiatan pertambangan mineral dan batubara seringkali membutuhkan tanah yang lebih luas bila dibandingkan dengan kegiatan minyak dan gas bumi Dalam penjelasan UU Minerba disebutkan bahwa mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Dari ketentuan ini jelas menunjukkan bahwa peran masyarakat harus dilibatkan dalam setiap kegiatan usaha pertambangan.Salah satunya ketentuan di dalam Pasal 21 UU Minerba yang menyatakan bahwa bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka.
Peran serta masyarakat dalam keterlibatan dalam kegiatan usaha pertambangan karena usaha kegiatan tambang merupakan suatu kegiatan besar yang berada ditengah masyarakat, dimana tentunya kegiatan ini akan berinteraksi dengan masyarakat setempat dimana lokasi pertambangan itu berada.
Keterlibatan masyarakat sangat penting oleh karena banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan pertambangan, mulai dari pemerataan ekonomi hingga mempertimbangan kelestarian lingkungan serta dampak dari kegiatan tersebut menimpa masyarakat setempat dimana kegiatan usaha tambang dilakukan. 
Atas dasari itu, dalam Pasal 10 huruf b UU Minerba dinyatakan bahwa Penetapan Wilayah Pertambangan dilakukan secara secara terpadu dengan memperhatikan pendapat masyarakat. Perlunya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan usaha pertembangan untuk menghidari persoalan-persoalan yang akan timbul dari kegiatan usaha pertambangan tersebut. 
Seperti apa yang diutarakan Siti Maimunah dalam FGD tanggal 22 Oktober di BPHN bahwa tidak dilibatkan nya masyarakat dalam proses usaha pertambangan menimbulkan persoalan di masyarakat dalam kegiatan usaha pertambangan. 
Seperti persoalan adanya kegiatan usaha tambang di tengah-tengah pemukiman penduduk, tampa adanya batasan jarak dengan rumah penduduk, dan lokasi kegiatan usaha tambang tersebut merupakan hutan resapan air untuk kebutuhan penduduk setempat. Belum lagi.
permasalahan kerusakan akibat aktivitas pertambangan ini sangatlah bervariasi, tergantung dari jenis bahan tambang yang digali. Di samping itu juga dampak sosial-ekonomi.
Hal yang sering terjadi adalah timbulnya kesenjangan sosial-ekonomi antara masyarakat sekitar dengan orang-orang yang berada di tambang.
Kesenjangan sosial ini disebabkan oleh karena perbedaan budaya dan juga teknologi, serta status ekonomi. Orang-orang yang berada di perusahaan tambang biasanya berasal dari orang-orang kota dengan gaya hidup cenderung glamour dan mewah, teknologi yang dipakai juga canggih dan modern, serta kondisi ekonomi orang-orang perusahaan tambang biasanya ada di tingkat menengah ke atas, karena gaji di pertambangan tergolong besar. 
Hal yang sebaliknya dialami oleh masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan tambang, mereka biasanya adalah penduduk asli dan sudah tinggal di daerah tersebut bahkan sebelum perusahaan penambangan didirikan. Perbedaan budaya antara orang perusahaan dan masyarakat dapat menyebabkan kurang harmonisnya hubungan diantara keduanya. 
Akibat dari dampak tersebut menimbulkan gejolak maupun konflik ditengah-tengah masyarakat sehingga terkadang berakibat sampai adanya korban jiwa. Dalam Pasal 134 UU Minerba dinyatakan bahwa Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Ketentuan ini serupa dengan ketentuan mengenai larangan penggunaan tanah tertentu untuk kegiatan minyak dan gas bumi dalam UU Migas. Namun bedanya ketentuan di dalam UU Minerba tidak merinci larangan larangan pada tempat tertentu yang dimaksudnya, melainkan merujuk kepada peraturan perundang-undangan. 
Hal ini menjadi lebih kabur karena tidak tahu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan mana larangan yang dimaksud tersebut harus berpatokan.
Secara normatif, keberadaan UU Minerba pun juga dibuatnya dengan maksud dapat menciptakan lapangan kerja untuk sebesar besar kesejahteraan rakyat seperti yang tercantum dalam Pasal 2 huruf a UU yang menyebutkan bahwa pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan. 
Kemudian dalam Pasal 3 huruf e menyebutkan bahwa dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Demikian pula dalam Pasal 1 angka 28 UU Minerba yang menyatakan bahwa Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. Memang pada awalnya, masyarakat akan merasa gembira ketika suatu lahan pertambangan dibuka di daerahnya. 
Mereka akan berharap bahwa mereka akan mendapat pekerjaan yang layak seperti yang dimaksud ketentuan undang-undang di atas, namun pada kenyataannya karena keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh masyarakat menyebabkan mereka tidak dapat bekerja pada perusahaan tambang yang berada di wilayahnya. Padahal Pasal 2 UU Minerba menentukan bahwa pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan: huruf a : manfaat, keadilan, dan keseimbangan. Serta pasal 3 huruf e semakin memperjelas bahwa pertambangan dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat
Dengan demikian tujuan dari pembentuk undang-undang bahwa dengan dibuat undang-undang ini akan berdampak terhadap peningkatan kemakmuran rakyat hanya sebatas gagasan ideal atau das solen saja. Seharusnya hukum sebagaimana dikatakan Mochtar Kusumaatmadja hukum mempunyai kekuasaan untuk melindungi dan mengayomi seluruh lapisan masyarakat sehingga tujuan hukum dapat tercapai dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan sekaligus menunjang pembangunan secara menyeluruh (Kusumaatmadja, 1976:17
Akibat dari kenyataan ini maka di dalam masyarakat selalu timbul kesan bahwa hukum masih kurang mampu menjamin keteraturan, ketertiban, kepastian dan pada gilirannya juga dirasakan kurang mampu menjawab tuntutan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Memperhatikan beberapa ketentuan dalam undang undang tambang dan aturan kebijakan lainnya terdapat pertentangan antara yang diatur dengan kenyataan yang ada di masyarakat, hal demikian menurut Hadjon mengutip pendapat seorang ahli hukum ternama Lon Luvois Fuller.Filsuf hukum asal Universitas Harvard, Amerika Serikat, membagi ‘delapan jalan menuju kegagalan dalam pembentukan UU’.  
Kedelapan jalan itu adalah 
(i) tidak ada aturan atau hukum yang menimbulkan ketidakpastian; 
(ii) Kegagalan untuk mempublikasikan atau memperkenalkan aturan hukum kepada masyarakat; 
(iii) Aturan berlaku surut yang diterapkan secara tidak pantas. 
(iv) Kegagalan menciptakan hukum yang bersifat komprehensif, 
(v) Pembentukan aturan yang kontradiksi satu sama lain; 
(vi) Pembentukan aturan yang mencantumkan persyaratan yang mustahil dipenuhi; 
(vii) Perubahan aturan secara cepat sehingga menimbulkan ketidakjelasan; 
(viii) Adanya ketidaksinambungan antara aturan dengan penerapan nya.
2. Masyarakat Hukum Adat Dalam Perundang-undangan Bidang Pesisir dan Ke lautan.
Ada sejumlah peraturan perundang-undangan terkait dengan pesisir dan ke lautan, antara lain: Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, ketentuan ini telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.Undang-undang yang lama dinilai, sebagaimana tersurat dalam pertimbangannya, belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Sejak awal proses pembentukan hukum, terutama proses revisi UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil di penghujung 2013 lalu, yang kemudian menjadi UU No. 1 Tahun 2014, dikerjakan secara tidak partisipasi. 
Tudingan ini setidaknya dialamatkan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (disebut KIARA), yang menyatakan bahwa menyayangkan persetujuan rancangan regulasi dilakukan tanpa partisipasi dan peran masyarakat nelayan tradisional secara terbuka.Proses persetujuan dilakukan secara terbatas dan tertutup hanya dengan melibatkan pihak akademisi dan pengusaha. 
Hal ini jelas mencederai prinsip utama demokrasi berkaitan dengan elemen formal partisipasi publik dalam pembentukan hukum atau kebijakan. Sementara dari sisi pemerintah, klaim partisipasi sudah dilakukan. Menteri Sharif, dalam sumber Hukum Online, menjelaskan substansi UU tersebut sebagai perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat dan nelayan tradisional. Termasuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisonalnya.
Yang perlu dipahami adalah bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak hak tradisional nya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengakui dan menghormati Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.
Secara umum undang-undang ini mencakup pemberian hak kepada masyarakat untuk mengusulkan penyusunan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, serta Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; pengaturan mengenai Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Setiap Orang dan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; pengaturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya; serta pemberian kewenangan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Perlu pula memahami pasal berkemungkinan besar menciptakan perdebatan, yakni Pasal 26A ayat (4) Huruf b, yang menyebutkan, “Yang dimaksud dengan “akses public”adalah jalan masuk yang berupa kemudahan, antara lain:  
a. akses Masyarakat memanfaatkan sempadan pantai dalam menghadapi Bencana Pesisir; b. c. d. e. 
b.akses Masyarakat menuju pantai dalam menikmati keindahan alam;  
c.akses nelayan dan pembudi daya ikan dalam kegiatan perikanan, termasuk akses untuk mendapatkan air minum atau air bersih;  
d.akses pelayaran rakyat; dan,
e.akses Masyarakat untuk kegiatan keagamaan dan adat di pantai.
Masalah mendasarnya cukup kompleks. Misalnya, aparat polisi selama ini tak mengembangkan proses khusus untuk menangani secara khusus dalam penyelesaian kasus-kasus eksploitasi berkaitan dengan sumberdaya alam dan adat. 
Hal ini harus dipahami bukan semata soal tumpang tindih hukum, melainkan paradigma menempatkan posisi SDA sebagai komoditas, ataukah ruang hidup. Sehingga dalam proses harmonisasi hukum ini harus meletakkan rekomendasi-rekomendasi nya lebih berani, terutama dalam mengupayakan menegakkan keadilan bagi komunitas masyarakat adat agar lebih ter lindungi.
Dalam ketentuan undang-undang yang baru, UU No. 1 Tahun 2014, ditemui sejumlah permasalahan yang besar kemungkinan melahirkan penyingkiran hak-hak masyarakat adat. Ada sejumlah pasal yang berpotensi melahirkan konflik kepentingan, karena penggunaan istilah yang memungkinkan membatasi dan bahkan menyingkirkan hak-hak masyarakat adat. Sejumlah pasal ini berkaitan dengan substansi soal siapa subyek hukum dalam substansi perundang-undangannya, terutama istilah “Pemangku Kepentingan dan Masyarakat”, sebagaimana tersurat dalam pasal 30-36 UU No. 1 Tahun 2014.
  • Pasal 30. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat.  
• Pasal 31. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari
. Pasal 32. Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.  
• Pasal 33. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.  
• Pasal 34. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.  
• Pasal 35. Masyarakat Tradisional adalah Masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.  
• Pasal 36. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat.
Begitu juga adanya Pasal 60, yang menyatakan bahwa:   
(1) Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:  
a. memperoleh akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah diberi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan;  
b. mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional kedalam RZWP-3-K;  
c. mengusulkan wilayah Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K;  
d. melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;  
e. memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;  
f. memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;  
g. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;  
h. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;  
i. melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; 
j. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;  
k. memperoleh ganti rugi; dan,
l. mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:  
a. memberikan informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;  
b. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;  
c. menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 
d. memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau  
e. melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang disepakati di tingkat desa. 
Sekalipun demikian, Indonesia justru memiliki momentum mengatur dan menguatkan masyarakat pesisir dan pengelolaan kelautan tatkala Presiden Jokowi dengan program utamanya dan sekaligus telah menunjuk Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Tantangan besar dalam Kementerian tersebut adalah berkaitan dengan kemampuan negara untuk memberikan perlindungan hak-hak masyarakat di tengah era persaingan bebas. Selama ini kebijakan pemerintah dinilai berpotensi mendiskriminasi hak-hak dan perlindungan nelayan adat atau tradisional. 
Problem besar berkaitan pula dengan „hak keberatan‟, terutama terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu, juga menjadi persoalan tersendiri. Sementara di sisi lain, kementerian yang baru dituntut untuk lebih memberdayakan masyarakat dan potensi ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan. Berdasarkan sumber Hukum Online, kajian KIARA, terdapat beberapa perubahan yang terindikasi kuat berpotensi melanggar hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam UU tersebut.
Pertama, dimasukkannya unsur masyarakat dalam mengusulkan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil yang „disetarakan‟dengan pemerintah dan dunia usaha. KIARA berpandangan revisi tersebut menyalahi Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 dengan melakukan penyetaraan antara masyarakat nelayan tradisional dengan pihak swasta. Termasuk dalam soal keberatan yang mana UU No. 1 Tahun 2014 yang tidak menjelaskan „hak keberatan‟tersebut, bagaimana mekanismenya dan bagaimana keberatan serta jangka waktunya. Kedua, Pasal 21dan 22 Revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, mengecualikan wilayah ruang pesisir dan pulau kecil yang telah dikelola masyarakat adat dari kewajiban memiliki perizinan lokasi dan pengelolaan.Pasal 21 mensyaratkan adanya persyaratan bertingkat. Di satu sisi memberikan keleluasaan kepada masyarakat adat mengelola ruang penghidupannya, namun di lain sisi membenturkannya dengan frasa „mempertimbangkan kepentingan nasional dan peraturan perundangan.

Dia menambahkan, dalam revisi UU tersebut tidak menjelaskan definisi „kepentingan nasional.Bahkan, masyarakat hukum adat diwajibkan mendapatkan pengakuan status hukum dengan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan.Pengakuan status hukum masyarakat adat menjadi potensi masalah terkait dengan sifat pasif negara dalam melakukan pengakuan hukum.
Ketiga, diubahnya skema hak menjadi perizinan melalui dua tahap yakni izin lokasi dan pengelolaan berpotensi melanggar hak-hak nelayan tradisional.Skema perizinan dinyatakan tidak memastikan hak persetujuan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya alam pesisir dan pulau kecil. Keempat, munculnya Pasal 26 A yang juga dinilai akan mempermudah penguasaan oleh pihak asing atas pulau-pulau kecil. Pasal itu mengatur pemanfaatan pulau kecil dan perairan di sekitarnya melalui skema investasi penanaman modal dengan dasar izin menteri. Kelima.
kewenangan menteri dipandang terlampau luas dengan kekuasaan menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi. Pasalnya rawan memunculkan praktik tukar guling kawasan konservasi, yang berujung merugikan kepentingan masyarakat setempat, khususnya nelayan tradisional. Sementara di sisi lain, pemaknaan istilah „nelayan tradisional‟ 
di dalam revisi UU Pesisir ini sangat sempit atau terbatas. Menarik atas apa yang dikemukakan Riza Damanik dalam FGD yang diselenggarakan BPHN. Ia menyatakan bahwa saat ini Pelapor khusus hak atas pangan PBB menegaskan soal adanya “Ocean grabbing!”(perampasan hak-hak nelayan atau hak-hak pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan). 
Dalam prakteknya ini sama persis dengan land grabbing, terjadi masif di Asia. Dalam pertemuan yang membahas soal trend the Global Ocean Grab, menyebutkan ada tiga ciri mendasar, yakni: (1) perampasan ruang; (2) identik dengan kerusakan lingkungan, pesisir dan pulau-pulau kecil, pertambangan di area hulu; dan (3) kekerasan.  
Sebagai contoh, adalah Pulau Togean, yang tidak kalah indahnya dengan Wakatobi dan Bunaken. Di pula tersebut terdapat tradisi local yang disebut tradisi Bapongka, yakni tradisi menangkap ikan, dilakukan secara kolektif, berpindah-pindah, mengeliling selama sekitar dua bulan, dan kemudian baru kembali pada titik yang sama. Tradisi tersebut dilakukan secara kolektif, karena keselamatan, gotong royong, kelestarian sumberdaya ikan.Tradisi yang telah berlangsung lama itu tiba-tiba terusik dan bahkan memungkinkan tersingkir karena dikeluarkannya ijin untuk pariwisata setempat.
Dampak dari ijin tersebut adalah pelarangan untuk melanjutkan tradisi Bapongka. Akibatnya, terjadi eksploitasi sumberdaya ikan yang spesifik, dan ini merusak ekosistem mata rantai di sana.
saat ini saja, melainkan telah berlangsung lama sejak masa Orde Baru, dan hingga kini masih saja penyingkiran itu terjadi. Bahkan hal tersebut justru diperparah akibat bekerjanya rejim perijinan laut, yang realitasnya justru dikuasai oleh para pejabat atau penguasa politik berikut pemilik modal.
Sesungguhnya menarik melihat perkembangan politik hukum perlindungan hak-hak masyarakat adat dari sudut pandang perdebatan yang terjadi dalam sidang judicial review Mahkamah Konstitusi. Apakah penyusunan renstra zonasi wilayah laut, berikut pengelolaannya yang demikian, melanggar hak konstitusional mayarakat adat? Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pasal 33 UUD 1945 harus memperhatikan hak individu dan hak masyarakat adat secara kolektif, sehingga pemberian atau praktek pengkaplingan di laut menjadi inskonstitusional.
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang demikian, sesungguhnya praktek-praktek pengkaplingan sudah tidak bisa dibenarkan, termasuk HP3. Mahkamah Konstitusi dalam konteks itu mengeluarkan dua terobosan, yakni penegasan makna “sebesar-besar kemakmuran rakyat”yang diukur dari 4 hal: kemanfaatan sumberdaya alam bagi rakyat, tingkat pemerataan sumberdaya alam bagi rakyat, tingkat partisipasi untuk menentukan sumberdaya alam, dan penghormatan hak rakyat.
Kedua, Mahkamah Konstitusi menegaskan cakupan istilah, terkait penggunaan istilah nelayan kecil, yang tidak saja sebagai profesi yang kapasitas produksinya terbats, namun terkait pula makna tradisi kebudayaannya, Bapongka, Menee, Panglima Laut, Sasi, dan lain sebagainya yang ada hubungan erat terkait budaya/tradisi. Dalam konteks itu, konsepsi „nelayan tradisional‟, sekaligus memperkenalkan atau menegaskan hak-hak konstitusionalnya, bagi mereka yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Misalnya (1) hak untuk melintas tidak boleh dibatasi melintasi perairan, 
(2) hak untuk mengelola SDA sesuai budaya dan kearifan, 
(3) mereka memiliki hak untuk memanfaatkan, dan 
(4) memanfaatkan hak atas lingkungan yang sehat.
Dalam konteks masalah yang demikianlah harusnya arah sinkronisasi dan harmonisasi mengarah, utamanya untuk acuan untuk penyusunan kebijakan publik sehingga tak senantiasa melahirkan konflik-konfil sumberdaya alam di daerah.
Parahnya, sekalipun hukumnya menyandarkan rujukan konstitusional untuk pengelolaan sumberdaya alam, dalam UndangUndang No. 1 Tahun 2014, sesungguhnya tak berubah secara substansial atau paradigmanya, bahkan tanpa malu menyebutkan posisi asing untuk eksploitasi sumberdaya alam.
Riza Damanik menyatakan, begitu banyak hasil riset, sebagaimana dilakukan 10 riset di bawah kementerian, begitu juga laporan resmi Badan Pemeriksa Keuangan, namun fakta bahwa outputnya tidak pernah dipakai oleh pengambil kebijakan, termasuk dalam pertimbangan urusan perijinan kelautan. Oleh sebabnya, produk riset dan kajian sinkronisasi dan harmonisasi ini harus menggunakan peluang politik, terutama bisa menjadi evaluasi terkait hukum untuk pengelolaan sumberdaya alam, khususnya pesisir dan kelautan.
3. Masyarakat Hukum Adat Dalam Perundang-undangan Bidang Sumber Daya Air. 
Air dalam sejarah kehidupan manusia memiliki posisi sentral dan merupakan jaminan keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi. 
Air yang keberadaannya merupakan amanat dan karunia sang Pencipta untuk dimanfaatkan juga seharusnya dijaga kelestariannya
demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Menyadari arti penting keberadaan air bagi kehidupan dan keberlangsungan kehidupan manusia serta air selamanya menjadi barang publik yang harus dikuasai oleh negara, maka tidak salah bila para pendiri negara merumuskan dan menetapkan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengaturan mengenai air telah dibuat sejak zaman kolonial Belanda melalui Algemeen Waterreglament (AMR) di Tahun 1936 tentang peraturan perairan umum. Pada masa itu pemerintah Belanda tidak membebani masyarakat pengguna air untuk membayar iuran namun hanya ditekankan pada masalah pemeliharaan bersama. 7Pada masa permulaan Republik Indonesia masalah air diatur secara umum dalam Undang-undang Pokok Agraria UUPA.Kemudian pada masa Orde Baru dibuat Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang.
Pengairan.Dalam ketentuan UU tersebut kebijakan pemerintah untuk mendorong dan mengembangkan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air, khususnya sektor sub-irigasi dan penyediaan air bersih. Paska Orde Baru, kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya air diatur dalam UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU Sumber Daya Air) yang merupakan pengganti dari UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Kelahiran Undang-undang tersebut mengatur pengelolaan air secara terpadu, memperhatikan fungsi konservasi, dan menawarkan mekanisme penyelesaian yang adil atas konflik pemanfaatan air. Namun kenyataannya, bila ditelaah lebih mendalam ternyata UU Sumber Daya Air lebih didominasi kepentingan ekonomi, air yang seharusnya memiliki fungsi sosial dan seharusnya dikuasai dan dikelola bersama karena bersangkutan dengan hajat hidup orang, banyak justru dikomersialisasikan karena ada pandangan yang melihat bahwa air merupakan komoditas yang memiliki potensi ekonomi tinggi.
Di dalam UU Sumber daya Air terdapat sejumlah ketentuan mengenai pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan haknya atas sumber daya air, Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa penguasaan sumber daya air oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjangan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini diikuti dengan pengaturan bahwa ulayat masyarakat hukum adat atas sumberdaya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
Ketentuan mengenai pengakuan terhadap ulayat masyarakat hukum adat atas air melalui Pasal 6 ayat (2) dan (3) UU Sumber Daya Air mengikuti pola pengakuan bersyarat sebagaimana telah ditentukan oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. UU Sumber Daya Air menentukan bahwa pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat atas air dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, peraturan perundang-undangan dan pada kenyataannya masih ada. Kemudian pengukuhan terhadap hal itu dilakukan dalam bentuk peraturan daerah. Sementara itu, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak tradisionalnya dilakukan sepanjang keberadaannya masih ada, sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak bertentangan dengan prinsip NKRI. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mendelegasikan bahwa keberadaan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya diatur lebih lanjut dalam undang-undang. UU Sumber Daya Air merupakan salah satu undang-undang yang menjabarkan norma di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Namun UU Sumber Daya Air belum sepenuhnya konsisten menjabarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 karena membuat rumusan persyaratan yang berbeda Dengan ketentuan sebagaimana dikendaki oleh konstitusi.
Persyaratan pengakuan terhadap ulayat masyarakat adat atas air dalam UU Sumber Daya Air mengikuti rumusan persyaratan yang terdapat di dalam UUPA yaitu tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Hal ini menujukan ketidakharmonisan sebab semestinya yang menjadi rujukan dari suatu undang-undang adalah UUD 1945 dan baru kemudian mencari kesesuaian dengan undang-undang yang telah ada.
Sementara itu dalam kaitan dengan bentuk hukum pengakuan atau pengukuhan terhadap hak ulayat masyarakat adat atas air, UU Sumber Daya Air menentukan bahwa hal tersebut ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah. Bentuk hukum pengakuan dalam wujud perturan daerah ini serupa dengan bentuk hukum yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengacu kepada Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Tanah Ulayat. Namun di dalam UU Sumber Daya Air masih kurang jelas apakah peraturan daerah yang dimaksud adalah peraturan daerah yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat adat atas air atau termasuk pula mengenai keberadaan masyarakat adat sebagai suatu subjek hukum. Selain itu, penentuan bahwa pengukuhan mengenai hak ulayat masyarakat adat atas air di dalam UU Sumber Daya Air memberikan implikasi pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengukuhan terhadap hak ulayat masyarakat adat atas air.
Dalam pengaturan yang lebih umum, UU Sumber Daya Air mengatur mengenai hak masyarakat dalam penggunaan sumber daya air sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU Sumber Daya Air yang menentukan bahwa hak guna pakai air diperoleh tanpa izin.
untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi. Pertanian rakyat dimaksud berdasarkan penjelasan Pasal 8 ayat (1) adalah budidaya pertanian yang meliputi berbagai komoditi, yaitu pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan, perkebunan, dan kehutanan yang dikelola oleh rakyat dengan luas tertentu yang kebutuhan airnya tidak lebih dari 2 liter per detik per kepala keluarga. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, institusi pengelola irigasi dan sumberdaya manusia. Selain untuk kebutuhan irigasi, masyarakat Indonesia juga mempergunakan sumber daya air untuk keperluan pertaniannya. Pola pertanian Indonesia terdiri dari banyak pola sesuai dengan kondisi dan kebiasaan masyarakat setempat dan telah diikuti secara turun menurun. Pola pertanian di Indonesia masih menganut pola pertanian tradisional, seperti pola pertanian dengan gilir-balik atau terkadang disebut sebagai ladang berpindah. 
Seluruh usaha pertanian rakyat tentu saja memerlukan air untuk memproduksi hasil pertanian dan demikian juga halnya dengan pola pertanian ladang berpindah. Seluruh petani yang mengusahakan pertanian rakyat adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang harus mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum yang dalam UU Sumber Daya Air sesuai dengan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Ayat (1). “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, dan Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa:”setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. 
Namun jikamelihat ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Sumber Daya Ari yang menyebutkan bahwa hak guna pakai air memerlukan izin apabila digunakan untuk pertanian rakyat diluar sistem irigasi yang sudah ada, hal menyebabkan adanya pengelompokan di dalam pertanian rakyat, yaitu pertanian rakyat yang berada didalam sistem irigasi dan yang diluar sistem irigasi. Implikasinya hanya petani yang berada di dalam sistem irigasi yang berhak untuk memanfaatkan air tanpa izin sedangkan petani termasuk pertanian ladang berpindah yang berada di luar sistem irigasi untuk mendapatkan air harus memperoleh izin terlebih dahulu, hal ini merupakan bentuk diskriminasi adanya pembatasan dan pembedaan perlakuan terhadap pertanian rakyat.Padahal seluruh usaha pertanian rakyat memerlukan air untuk memproduksi hasil pertanian dan demikian juga halnya dengan pola pertanian ladang berpindah. Dengan demikian, pertanian rakyat yang berada diluar sistem irigasi mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan petani yang berada didalam sistem irigasi sehingga hak konstitusinya telah terlanggar sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Dari ketentuan Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 39 UU No. 7 Tahun 2004, bila mengacu pada penafsiran ketentuan pasal 11 dan pasal 12 dari Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) pada tahun 2002 Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the Committee on Economic, Social and Cultural Rights) dalam Komentar Umum (General Comment) No. 15, secara tegas memberikan penafsiran bahwa hak atas air adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Disebutkan bahwa air tidak saja dibutuhkan untuk minum tetapi juga bagian yang tak terpisahkan dari proses pengolahan makanan, atau penciptaan kondisi perumahan yang sehat dan kebutuhan manusia lainnya akan kehidupan. Lebih jauh bahkan ditegaskan bahwa komite tersebut memberikan kewajiban bagi negara untuk menjamin adanya hak atas air bagi setiap warga negaranya.  
Terkandung dalam pengertian hak atas air adalah penyediaan air bagi rakyat dengan memperhatikan 
(1) Availability (ketersediaan): penyediaan sumur-sumur umum adalah bagian dari kewajiban pemerintah akan penyediaan air bagi kebutuhan minimal setiap warganya; 
(2) Quality (kualitas): tidak hanya jumlahnya namun kualitas air yang diberikan haruslah memenuhi standar yang tidak membahayakan kesehatan; dan 
(3) Accessibility (aksesibilitas); termasuk dalam kriteria ini adalah affordability (keterjangkauan) dari masyarakat untuk mendapatkan air.
Dengan demikian jelas bahwa air merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat tergantikan oleh apapun dan air juga merupakan hak asasi manusia yang paling utama karena tanpa hak atas air (the right to water) maka hak asasi manusia lainnya tidak dapat terpenuhi. Selain itu tanggung jawab negara untuk menyediakan air bagi warganya merupakan salah satu manifestasi dari kontrak sosial antara negara dan warga negara. Oleh karenanya negara wajib menjamin terpenuhinya hak atas air bagi masyarakatnya, sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (2) bahwa cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara yang berdasarkan pada konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan.
”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih lanjut penguasaan negara atas air sebagai bagian dari kebutuhan yang paling mendasar dan hak asasi manusia semakin dipertegas dalam UUD 1945 seperti dalam Pasal 28A yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, Pasal 28C Ayat
(1) bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, Pasal 28D Ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pasal 28I ayat (4) yang menyatakan bahwa ”perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah”. 
8 Dari hal tersebut diatas, bila mencermati rumusan pasal 33 ayat (2) dengan menggunakan perspektif berbasis hak maka penguasaan hak atas air berada di tangan negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain negaralah yang memiliki kewenangan terhadap hak atas air dan kemudian merencanakan bagaimana pemenuhan hak atas air sebagai sebagai kewajiban negara terhadap warga negaranya. Batasan dari pengelolaan oleh negara terhadap hak atas air ini adalah adanya larangan untuk menyerahkan pengelolaan air tersebut ke dalam tangan orangperseorangan. Maka prinsip pertama pendekatan berbasis hak atas air di Indonesia adalah penguasaan oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada orang perseorangan, pemberian hak guna dalam pengelolaan sumberdaya air secara nyata akan menghilangkan penguasaan negara (negara mengadakan fungsi kebijakan dan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat) terhadap sumberdaya air.  
Makna dikuasai oleh negara tidak hanya sekedar kepemilikan tetapi lebih jauh dari itu dimana negara juga harus mengatur. Dengan hak guna air negara akan kehilangan bukan hanya kepemilikan tetapi juga fungsi pengaturan, karena ketika hak guna tersebut diberikan kepada orang perorang atau badan usaha swasta maka pengelolaan sumberdaya air menjadi milik pemegang hak guna. Dan apabila terjadi kondisi dimana dalam mengelola sumberdaya air tersebut pemilik hak guna tersebut merugikan masyarakat maka itu bisa dicabut melalui proses pengadilan. Implikasi lainnya dengan kewenangan penuh untuk mengelola hak guna maka kemungkinan terjadinya konflik antara pemegang hak guna dengan masyarakat menjadi tinggi.
Kebijakan yang mendasar dalam penyelelenggaraan pengelolaan sumber daya air berdasarkan UU No. 7 Tahun 2014 diatur dalam sejumlah ketentuan. Pasal 7 Ayat (1) menyatakan bahwa Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Sementara itu Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya. Dan Pasal 1 angka 15 menjelaskan yang dimaksud hak guna usaha adalah “Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.
5. Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa “Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Pasal 11 ayat (3) penyebutkan bahwa “Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya. 
• Pasal 40 ayat (4) menyatakan bahwa Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum”. Pasal 49 ayat (1) menyatakan bahwa pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan, kecuali apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 2.

Telah dapat terpenuhi. Sementara itu Pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai. Pasal 49 ayat (4) menyatakan bahwa pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib mendapat izin dari Pemerintah berdasarkan rekomendasi dari pemerintah daerah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
Dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal-pasal tersebut diatas, secara tegas disebutkan bahwa peran swasta dapat penyelenggaraan penyediaan akan air bagi masyarakat, namun jika dikaitkan dengan fungsi negara sebagai pelayan publik sudah menjadi tangungjawab negara dalam penyediaan air bagi masyarakat sebagaimana diamanat dalam Pasal 33 UUD NRI 1945. Jika dalam penyediaan air diserahkan kepada pihak swasta, maka penguasaan negara atas air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat akan hilang, dan beralih fungsi air dari publik menjadi privat. Dengan perpindahannya tanggungjawab penyediaan air, permasalahannya selanjutnya adalah adanya perpindahan alokasi penggunaan air.
Pengalihan tanggung jawab untuk menjamin akses masyarakat terhadap air terutama air bersih dari pemerintah kepada sektor swasta, menyebabkan munculnya praktek komodifikasi dan komersialisasi air. Dalam perspektif etika lingkungan, memberlakukan air sebagai komoditi dan kemudian meperdagangkannya merupakan sebuah pelanggaran (Widianarko, 2003). Privatisasi, pengusahaan atau apapun namanya- menyiratkan pemberian harga (pricing) pada air. Padahal semestinya air memiliki fungsi sosial karena setiap manusia terikat secara azasi dengan atas sumber air. Bila air diposisikan sebagai komoditas ekonomi maka ruang untuk mendapatkan air tersebut menjadi timpang dan tidak fair karena kemampuan ekonomi setiap individu atau kelompok masyarakat berbeda-beda.
Dari penjabaran tersebut nampaklah jelas kebijakan peran swasta dalam penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat bertentangan dengan pasal 33 yang berkaitan dengan prinsip perekonomian Indonesia yang disusun atas dasar asas kekeluargaan untuk mensejahterakan rakyat banyak, yang bertumpa pada sistem ekonomi Indonesia yang berdasarkan Pancasila yaitu “Koperasi yang menciptakan masyarakat kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang asli-gotong royong dan musyawarah, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan kehendak zaman” 9 Berdasarkan penjabaran tentang pengelolaan sumberdaya air sebagaimana dijabarkan diatas, terdapat persoalan yang mendasar dari Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dengan UUD 1945, yaitu yang semula keberadaan air bagi kehidupan dan keberlangsungan kehidupan manusia serta air selamanya menjadi barang publik yang harus dikuasai oleh negara, menjadi air dipandang sebagai barang ekonomi dengan diperkenalkannya hak guna air yang terdiri dari hak guna pakai dan hak guna usaha dang pennyelenggaraannya oleh swasta. 
Implikasi dari konsep pengelolaan sumber daya air berdasarkan UU No. 7 Tahun 2004 adalah bahwa setiap orang kalau mau memakai hak harus minta izin, mohon. Tapi kalau dia tidak memohon maka dia tidak dapat hak sama sekali. Itu, kalau soal izin penngelolaan air maka yang melakukan adalah para pengusaha, yang akan minta izin sedangkan masyarakat tidak minta izin, tapi mohon haknya 10, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 pada butir 14 yang menyebutkan.
“”Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air”, dan dapat dikatakan memakai air tampa harus bayar.

Rabu, 10 April 2019

PALEMBANG, Gegap Gempita Pertama Kali Dalam Sejara Kampanye Akbar Capres 02 Menggelegar Di Tana Sriwijaya

PALEMBANG,TRIBUNUS.CO.ID - Ribuan bahkan Jutaan massa memadati pelataran Benteng Kuto Besak (BKB) sehingga tidak sedikit warga demi antusias dari atas perahu ketek Speedboat, di sungai musi tepi BKB.

Sejak dari pagi hari untuk menghadiri kampanye akbar calon presiden (Capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto. Massa menyambut kedatangan Prabowo dengan Shalawat sejak dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, massa yang identik dengan pakaian putih meneriakkan nama Prabowo sambil mengulurkan tangan.

Meski hujan gerimis kota pempek ini, tak menyurutkan massa. Bahkan, massa semakin banyak dan ramai hingga mobil yang ditumpangi Prabowo sangat sulit memasuki venue utama kampanye, hingga acara usai takbir dan shalawat terus dikumandangkan dan masyarakat Sumsel menaruh harapan besar untuk kemenangan Prabowo-Sandi.

Meski langit gelap dan kilat tampak jelas pada rangkaian kampanye akbar terbuka Capres 02 Prabowo Subianto di pelataran Benteng Kuto Besak (BKB), namun hanya rintik saja yang terjadi, padahal Selasa (9/4) sore hampir sebagian kota Palembang diselimuti hujan deras.

“Hebat doa ulama dan kyai yang hadir disini, hujan lari jauh, bisa juga nih nanti ulama dan kyai Palembang dibawa ke Jakarta untuk tangkal hujan di Jakarta,” canda Prabowo.

Pada rangkaian kampanye Capres 02 Prabowo Subianto di BKB turut dihadiri Ulama dan Kyai besar di Palembang diantaranya Habib Mahdi, KH Nawawi Dencik, Ustadz Taufik Hasnuri, dan puluhan ulama dan kyai lainnya

Keramaian massa pendukung ini juga dihibur Raja Dangdut Rhoma Irama bersama Soneta Grup. Meski cuaca gerimis, tak menyurutkan langkah dan rasa antusias massa yang membludak Calon Presiden Indonesia 02, periode 2019 - 2024 Prabowo Subianto menyapa pendukungnya di Pelataran Benteng Kuto Besak Palembang, Sumatera Selatan Selasa (09/04).

Prabowo, di hadapan masyarakat Sumsel yang berasal dari 17 kabupaten/kota mengapresiasi pendukungnya yang sudah sangat luar biasa antusiasnya. Setelah berkeliling Indonesia ia sudah memahami apa yang menjadi keinginan dan getaran hati masyarakat Indonesia.

“Namun sebagai manusia saya mengakui banyak kekurangan. Tetapi keinginan saya dan Pak Sandiaga Uno hanya menjadi alat untuk kepentingan masyarakat. Kami hanya ingin bersama masyarakat akal sehat,” ungkap Prabowo.

Prabowo melanjutkan bahwa ia sudah menangkap rakyat menginginkan perubahan, tidak ingin lagi dibohongi lagi dan pemerintahan yang bebas korupsi. Rakyat inginkan kekayaan kembali ke masyarakat indonesia itulah menjadi perjuangan dirinya.

“Sistem ekonomi sekarang saya katakan sistem yang salah, tidak seperti dalam UUD, ekonomi hanya dinikmati segelintir orang saja. Saya kira negara kita sedang sakit, ibu pertiwi sedang sakit, ibu pertiwi diperkosa, Indonesia sedang dirampok,” cetusnya.

Ditambahkannya, ia merasa sudah muak dengan elit yang hanya mementingkan kepentingan dirinya dan kelompoknya saja. Kalau rakyat memberikan mandat kepada dirinya maka akan membentuk pemerintahan bersih dan akan memberantas korupsi.

“Saya tidak akan memperkaya diri saya dan kelompok saya. Di sisa hidup saya akan wakaf kan diri saya untuk memperjuangkan dan kepentingan rakyat,” katanya.

Ia menyampaikan, hasil survey intern timnya elektabilitas Prabowo Sandi  berada diatas 60 persen. Itu artinya ada tsunami perubahan dalam masyarakat yang tidak ingin lagi menjadi kacung bangsa lain dan setara dengan bangsa lainnya.

Pewarta : rn

Selasa, 09 April 2019

Tugas Sekdes, Kasi, Bendahara Desa Dalam Pengelolaan Keuangan Desa.

TUGAS DAN FUNGSI PEMERINTAH DESA DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DESA.

Tugas Sekdes, Kasi, Bendahara Desa Dalam Pengelolaan Keuangan Desa.


1. Desa, ada/dibentuk/terbentuk untuk Mengurus Kepentingan Masyarakat dan mensejahterakan warga desa. (definisi desa dalam Pasal 1 UU 6 th 2014 tentang Desa).
2. Kepala Desa, Sekretaris Desa, Perangkat Desa, dipilih/diangkat, diberi tugas menjalankan pemerintahan desa untuk MELAYANI & MENSEJAHTERAKAN warga desa.


3. Untuk mensejahterakan warga, setiap Desa 'dibekali' dengan sumber-sumber keuangan desa:
- Alokasi Dana Desa (ADD)
- Dana Desa (DD)
- Bagi Hasil Pajak Daerah (BHPD)
- Bagi Hasil Retribusi Daerah (BHRD)
- Pendapatan Asli Desa (PAD), misalnya hasil lelang tanah kas desa, pungutan desa, dll
- pendapatan desa lainnya, termasuk misalnya UANG GANTI RUGI fasilitas umum milik desa untuk jalan tol, dll


4. Semua sumber pendapatan desa masuk dalam Rekening Kas Desa (RKD) & dicantumkan dalam APBDesa.
5. Lalu, siapa yang mengelola APB Desa?
Kepala Desa > sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa.
Sekretaris Desa > sebagai Koordinator
Kasi Pemerintahan, Kasi Kesejahteraan, Kasi Pelayanan > sebagai Pelaksana Kegiatan (PK).
Bendahara Desa.


6. Bagaimana proses DD mulai dari ditransfer oleh Kementerian Keuangan ke desa hingga berwujud, misalnya, menjadi jalan desa yang mulus?:

Pemda transfer uang DD ke Rekening Kas Desa.

Bendahara Desa check RKD apakah dana sudah masuk. Lalu beritahu Kades & Sekdes.
Lalu, Sekdes check dokumen RAB APB Desa (yang dibuat dengan aplikasi Siskeudes), check jadwal pelaksanaan pembangunan jalan desa (tugas Sekdes sebagaimana Pasal 5 ayat 2 huruf c.Permendagri 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa > mengendalikan pelaksanaan kegiatan). Lalu, Sekdes beritahu kepada Pelaksana kegiatan Bidang Pembangunan (misalnya Kasi Kesejahteraan ditunjuk oleh Kades sebagai Pelaksana Kegiatan (PK) Bidang Pembangunan yang menangani pembangunan jalan desa).


PK Pembangunan/Kasi Kesejahteraan membuat rencana kegiatan:
Menyusun RAB & gambar teknis bersama Tim Pelaksana Kegiatan Pengadaan Barang/Jasa Desa (TPK PBJ Desa) yang dibentuk Kades
Membuat & menandatangani Surat Permintaan Pembayaran (SPP) & Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB)
PK Pembangunan/Kasi Kesejahteraan menyampaikan SPP, SPTB, RAB & gambar teknis kepada Sekdes.


Sekdes verifikasi dokumen yang SPP dll (psl 30 ayat 1 Permendagri 113 th 2014):
Jika memenuhi syarat > diproses dan jika TDK MEMENUHI SYARAT > DITOLAK (pasal 30 ayat 1 huruf d) Catatan: Dokumen SPP yang lulus verifikasi sekdes ditandai dengan: paraf Sekdes dan stempel bertanda "telah diverifikasi" (jika diperlukan).
Sekdes ajukan dokumen SPP yang memenuhi syarat kepada kades.


Kades menyetujui (menandatangani) SPP.
Dalam rangka menjalankan tugas fasilitasi pengelolaan keuangan desa (bentuk pembinaan pengawasan Kecamatan kepada desa, pasal 154 ayat 2 PP 43 th 2014), maka Kecamatan meneliti dokumen SPP & menerbitkan Surat Pengantar Pencairan Dana (SP2D) untuk diberikan kepada Kades.
Dengan SP2D, Kades & Bendahara Desa mencairkan dana DD di bank.

Pelaksanaan pembangunan jalan desa: -Kades memerintahkan bendahara desa untuk menyerahkan DD kepada PK Pembangunan/Kasi Kesejahteraan (PK mencatat di Buku Kas Pembantu Kegiatan) -PK Pembangunan/Kasi Kesejahteraan bersama TPK PBJ Desa melaksanakan pembangunan jalan desa secara swakelola, mendayagunakan potensi desa (tenaga kerja, material, dll).

Pelaporan & pertanggungjawaban: a).Pertanggungjawaban teknis > PK Pembangunan/Kasi Kesejahteraan & TPK PBJ Desa melaporkan & menyerahkan hasil kegiatan kpd Kades (Berita Acara). b).Pertanggungjawaban administrasi > PK Pembangunan/Kasi Kesejahteraan & TPK PBJ menyusun SPJ belanja (nota, kuitansi) & menyerahkan kpd Bendahara Desa. Jika ada kelebihan/sisa dana, Pelaksana Kegiatan (PK) Pembangunan/Kasi Kesejahteraan menyerahkan kpd Bendahara Desa (dan mencatat di Buku Kas Pembantu Kegiatan). c).Pertanggungjawaban keuangan > realisasi kegiatan pembangunan jalan desa dimasukkan dalam Perdes Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan.
APBDesa : pertanggungjawaban politis > kades memasukkan realisasi pembangunan jalan desa dlm Laporan Keterangan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LKPPD) kepada BPD dan menginformasikan kepada masyarakat (Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa/IPPD).


7.Sekdes memverifikasi bukti pengeluaran belanja (nota, kuitansi). (pasal 5 ayat 2 huruf e permendagri 113).
Memverifikasi itu memeriksa kebenaran:
- Lengkap nota, kuitansi
-Benar hitungan angka-angka keuangannya
- Ada barangnya.


8. Begitu berat tugas & tanggung jawab Sekdes, Kasi, Bendahara Desa dalam mengelola keuangan desa.
Jika tugas mereka berjalan benar & lancar, maka Kades sangat terbantu, desa jadi maju, rakyat sejahtera. Namun jika tugas mereka salah, mengandung risiko:
- Sanksi hukum
- Sanksi sosial.


9. Untuk itu, setiap desa perlu adanya Kades, Sekdes, Perangkat Desa:
-Yang amanah
-Yang pinter memahami aturan, terampil bekerja, dan
-Yang Berani Transparansi dan Kompak Membangun Desa.
10. Untuk itu perlu pilkades & pengisian perangkat desa yang jujur, fair, agar yang terbaik yang muncul.

Semoga Allah SWT, Tuhan YME, meridhoi & melancarkan tugas aparatur desa dalam mensejahterakan.


Sabtu, 06 April 2019

REVIEW SSK DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN SANITASI KABUPATEN BANYUASIN TAHUN 2012-2018

BAB 2

REVIEW SSK DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN SANITASI


  1. Profil Kabupaten Banyuasin
Kabupaten Banyuasin adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten Banyuasin terbentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Musi Banyuasin. Secara yuridis pembentukan Kabupaten Banyuasin disahkan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2002.
Luas Kabupaten Banyuasin + 1.183.299 Ha atau sekitar 12,18 % Luas Provinsi Sumatera Selatan. Secara geografis terletak antara 1° 37′32.12″ Sampai 3° 09′15.03″ LS dan 104° 02′21.79″  Sampai 105° 33′38.5″ BT .
Kondisi topografi Kabupaten Banyuasin didominasi oleh daerah yang relatif datar atau sedikit bergelombang, yaitu terdiri dari 80% luas dataran rendah basah berupa pesisir pantai, rawa pasang surut dan lebak serta 20% luasan merupakan dataran berombak sampai bergelombang dengan kisaran ketinggian 0 – 60 M di atas permukaan laut. Topografi datar atau sedikit bergelombang 0-12 dan 13-24 Mpdl menyebar di seluruh kecamatan sedangkan topografi berombak sampai bergelombang 25-36 dan 37-48 Mdpl berada di sebagian kecil Banyuasin dua, Tungkal Ilir serta selatan baguan timur Kabupaten Banyuasin serta sebagian kecil wilayah Betung dan Banyuasin III untuk 49-60 Mdpl.
Dilihat dari kelerengannya, daratan Kabupaten Banyuasin berada pada kisaran kemiringan lereng 0-2% seluas 1.181.610 Ha dan 2-5% seluas 1.689 Ha.Beberapa wilayah yang berada pada dataran rendah dengan kisaran kemiringan lereng 0-2% berupa lahan rawa pasang surut tersebar di sepanjang Pantai Timur sampai ke pedalaman meliputi wilayah Kecamatan Muara Padang, Makarti Jaya, Muara Telang, Banyuasin II, Pulau Rimau, Air Salek Muara Sugihan, sebagian Kecamatan Talang Kelapa, Betung dan Tungkal Ilir. Selanjutnya berupa lahan rawa lebak terdapat di Kecamatan Rantau Bayur, sebagian Kecamatan Rambutan, sebagian kecil Kecamatan Banyuasin I. Sedangkan lahan kering dengan topografi agak bergelombang dan kisaran kemiringan lereng 2-5% terdapat di sebagian besar Kecamatan Betung, Sembawa, Banyuasin III, Talang Kelapa, Rantau Bayur dan sebagian kecil Kecamatan Muara Sugihan, Rambutan dan Kecamatan Tungkal Ilir.
Secara administratif wilayah Kabupaten Banyuasin memiliki 19 (sembilan belas) kecamatan, Daerah yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Banyuasin mempunyai batas wilayah sebagai berikut
  1. Kependudukan
Penduduk sebagai objek sekaligus subjek pembangunan merupakan aspek utama yang mempunyai peran penting dalam pembangunan. Oleh karena itu data penduduk sangat dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan. Dilihat dari persebaran penduduk di Kabupaten Banyuasin, hingga awal tahun 2012 Kecamatan Talang Kelapa merupakan Kecamatan dengan persentase persebaran tertinggi, yaitu sebesar 15,49% dan Kecamatan Air Kumbang adalah kecamatan dengan persebaran terendah, yaitu hanya sebesar 2,14 %. Untuk selengkapnya dapat dilihat tabel berikut.
Laju pertumbuhan penduduk merupakan barometer untuk menghitung besarnya semua kebutuhan yang diperlukan masyarakat, seperti perumahan, sandang, pangan, pendidikan dan sarana penunjang lainnya. Berdasarkan hasil registrasi penduduk, Jumlah penduduk Kabupaten Banyuasin dalam kurun waktu tahun 2008 sampai dengan awal tahun 2012 mengalami peningkatan dengan rata-rata laju pertumbuhan peduduk sekitar 2,6%. Total jumlah penduduk tersebut di tahun 2008 sebesar 798.360 jiwa dan meningkat di awal tahun 2012 menjadi 906.736 jiwa. Jumlah penduduk terbesar yaitu di Kecamatan Talang Kelapa sebesar 127.432 jiwa di tahun 2008 dan terus meningkat hingga awal tahun 2012 mencapai 140.439 jiwa.
Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Banyuasin dalam kurun waktu tahun 2008 sampai dengan Awal Tahun 2012 masih tergolong sangat rendah, akan tetapi tiap tahunnya mengalami peningkatan dengan rata-rata kepadatan di tahun 2008 sebesar  67 jiwa/km2 menjadi 77 jiwa/km2 di Awal tahun 2012, Kecamatan Talang Kelapa merupakan kecamatan dengan rata-rata kepadatan penduduk tertinggi. Pada awal tahun 2012, rata-rata kepadatan penduduk di Kecamatan Talang Kelapa mencapai 441 jiwa/Km2. Tingginya tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Talang Kelapa disebabkan karena kecamatan ini letaknya strategis karena lebih dekat dengan Kota Palembang. Sementara kecamatan dengan rata-rata kepadatan penduduk terendah adalah Kecamatan Muara Sugihan, yang pada awal tahun 2012 rata-rata kepadatan penduduknya hanya  11 jiwa/Km2. Persebaran kepadatan penduduk Kabupaten Banyuasin, sedangkan perkembangan dan Rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Banyuasin dapat dlihat pada tabel 2.1 :
Untuk mengetahui perkiraan jumlah penduduk Kabupaten Banyuasin sampai dengan tahun 2018 akan digunakan pendekatan Lung Polinomial Methods,  dengan  dasar pemikiran  bahwa perkiraan pertambahan  penduduk ke depan tidak lagi  selamanya mengikuti pola pertumbuhan  yang berlaku di wilayah perencanaan karena  sebagai daerah baru dengan potensi/peluang untuk kemungkinan berusaha lebih baik akan menjadi daya tarik yang kuat bagi penduduk luar untuk memasuki wilayah Kabupaten Banyuasin.  Penggunaan Metoda Lung Polinomial berlandaskan pada angka pertumbuhan rata-rata Kabupaten Banyuasin sebesar 1,62 % per tahun. Berikut ini hasil perhitungan proyeksi penduduk Kabupaten Banyuasin di setiap Kecamatan hingga tahun 2018.

  1. Area Berisiko
Berdasarkan hasil studi EHRA. Penentuan area beresiko dilakukan bersama-sama seluruh anggota Pokja berdasarkan hasil dari ketiga data tersebut. Area beresiko dibagi atas 4 klasifikasi, yakni:
  • Kurang berisiko
  • Resikosedang
  • Resikotinggi
  • Resikosangattinggi
Area ‘beresiko sangat tinggi’ adalah kelurahan yang dianggap memiliki resiko kesehatan lingkungan yang tinggi karena buruknya kondisi sanitasi. Berdasarkan informasi yang tersedia, kelurahan memiliki potensi resiko terhadap kesehatan dan mendesak untuk dilakukan intervensi tertentu yang kemungkinan akan memperbesar potensi terjadinya kasus kejadian penyakit. Tujuan dari Pemetaan Area Berisiko adalah memetakan area area yang memiliki tingkat resiko sanitasi dan klasifikasi area berdasarkan tingkat resiko kesehatan lingkungan akan menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan prioritas program pembangunan dan pengembangan sanitas
Dari tabel di atas tampak bahwa ada 46 Desa yang berisiko Sangat Tinggi, 159 berisiko Tinggi Penentuan penyebab utama risiko pada masing- masing desa ditentukan melalui hasil Studi EHRA(data primer). Dari tabel di atas ada fenomena dimana untuk area beresiko sangat tinggi, dan tinggi menjadi issue prioritas untuk ditangani, kemudian diikuti upaya penanganan masalahnya






Description: peta sanitasi 2013 jpeg


Wilayah di Kabupaten Banyuasin menghasilkan katagori klaster berdasarkan hasil studi EHRA dan persepsi SKPD sebagaimana dipelihatkan pada peta diatas menggambarkan  Wilayah (kecamatan atau desa/kelurahan) yang terdapat karakteristik yang identik/homogen dalam hal tingkat risiko kesehatannya. Pada peta diatas menggambarkan daerah yang tingkat resikonya kesehatan sangat tinggi digambar dengan warna dapat dilihat pada gambar diatas.

  1. Keuangan Daerah
Dari perhitungan yang sudah ditampilkan di Table 2.6. akhirnya dapat dijelaskan untuk perkiraan besaran pendanaan sanitasi KabupatenBanyuasinkedepan selama 5 tahun (2012-2018) .
Dari perkiraan belanja langsung sejak 2013 sampai dengan 2018, total pendanaan sebesar Rp. 1.706,572,150,749,-. Untuk perkiraan APBD murni untuk sanitasi total pendanaan sebesar Rp. 56.449.772.481,-  sedangkan untuk perkiraan komitmen pendanaan sanitasi total pendanaan sebesar Rp. 42.862.544.476,-.
  1. Dari



  1. Air Limbah
  1. Permasalahan Air Limbah
Resume permasalahan utama untuk permasing-masing sub-sektor diuraikan dalam bentuk tabel, dimana uraian permasalahan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu dari sisi:
  1. Sistim per sub-sektor (sesuai Diagram Sistim Sanitasi /DSS) dan
  2. Aspek lain (seperti dari sisi Pendanaan, Kelembagaan, Peran Masyarakat dll). Identifikasi dan klasifikasi terkait permasalahan ini dapat mengacu ke dokumen Kebijakan dan Strategi Nasional.

Tabel Permasalahan Mendesak


Diagram Sistem Sanitasi
Input
User Interface
Pengumpulan dan Penampungan/
Pengolahan Awal
Pengaliran
Pengolahan Akhir
Pembuangan/ Daur Ulang
Kode/Nama Aliran
Black Water
(tinja, urin, glontor)
WC Sentor
Tangki Septik
---
----
Tanah
Aliran Limbah AL1
Black Water
(tinja, urin, glontor)
WC Cubluk
---
---
----
Tanah, Sungai
Aliran Limbah AL2
Grey Water
(Limbah rumah tangga)
Tempat Cuci Piring
---
Saluran/Selokan
----
Tanah, Sungai
Aliran Limbah AL3
Grey Water
(Limbah rumah tangga)
Tempat Cuci Pakaian
---
Saluran/Selokan
---
Tanah, Sungai
Aliran Limbah AL4










  1. Tabel Permasalahan Air Limbah Domestik
  1. Sistem Air Limbah Permukiman :
  1. Aspek Pengembangan Saranan dan Prasarana
User interface :
  • Kepemilikan Jamban di Kabupaten Banyuasin adalah 72%, dengan rincian 72% jamban pribadi dan MCK/WC umum 3%, sedangkan sisanya ke lain-lain:
Keterangan
  • Jumlah Penduduk Kabupaten Banyuasin Tahun 2013 : 921.424 jiwa atau 184,285 KK
Kesimpulan
  • Kepemilikan Akses Jamban Pribadi MCK = 72 % ( 132.685 KK )
  • BABS = 28% (257.999 jiwa atau 51.600 KK) yang meliputi :
  • BABS WC Helikopter = 2% (3.686 KK atau 18.428 Jiwa)
  • BABS Kebun/Perkarangan = 2% (3.686 KK atau 18.428 Jiwa)
  • BABS Lubang Galian = 6% (12.900 KK atau 64.500 Jiwa)
  • BABS Sungai = 19% (18.428 KK atau 92.142 Jiwa)
  • BABS Selokan = 1% (1.843 KK atau 9.214 Jiwa)
  • BABS Tempat Lainnya = 1% (3.686 KK atau 18.428 Jiwa)
Pengumpulan & Penampungan / Pengolahan Awal:  
  • Prosentase tangki septik aman : 94,5 %

Keterangan : Kepemilikan Akses Pribadi dan MCK = 138.214 KK
Kesimpulan :
  • Penyaluran Akhir Tinja Rumah Tangga Yang Aman = 94,5% (174.149)
  • Penyaluran Akhir Tinja Rumah Tangga Tidak Aman = 5,5% (10.136)
Pengangkutan / Pengaliran:
  • Praktek pengurasan tangki septik 0,9%,
  • prosentase keluarga yang memiliki SPAL 55,1% .
Pengolahan Akhir Terpusat
  • Belum ada IPLT dan IPAL Komunal
Daur Ulang / Pembuangan Akhir:
  • Belum dilakukannya praktek pendeteksian kualitas limbah.
Perencanaan Teknis dll.
  • Belum adanya Master Plan Air Limbah Permukiman yang terintegrasi dengan RTRW perkotaan

  1. Lain-lain
  1. Aspek pendanaan
  • Rendahnya alokasi pendanaan dari Pemerintah
  • Belum tertariknya sektor swasta untuk melakukan investasi
  • Belum optimalnya penggalian potensi pendanaan dari masyarakat
  1. Aspek Kelembagaan
  • Belum terpisahnya fungsi regulator dan Operator dalam pengelolaan
  • Masih rendah dan terbatasnya SDM yang terkait pengelolaan
  • Rendahnya koordinasi antar instansi dalam penetapan kebijakan
  1. Aspek Peraturan Perundangan dan penegakan hukum:
  • Belum memadainya perangkat Perda yang diperlukan dalam pengelolaan
  1. Aspek Peran serta Masyarakat dan Dunia Usaha / Swasta:
  • Masih rendahnya kesadaran masyarakat
  • Terbatasnya penyelenggaraan pengembangan system yang berbasis masyarakat
  • Masih kurangnya sosialisasi mengenai pentingnya pengelolaan
  • Rendahnya koordinasi antar instansi terkait dalam menggerakkan peran masyarakat
Sumber : BPS BAB III, SSK BAB III dan Study EHRA  Kabupaten Banyuasin tahun 2013

  1. Sasaran Pembangunan Air limbah



Tabel 2.7  Rencana Pengembangan Jangka Menengah Air Limbah Domestik Kab./Kota





  1. Prioritas Pembangunan Air Limbah
Prioritas Pembangunan Air Limbah Kabupaten Banyuasin yang merupakan ringkasan dari rencana kota, memuat potensi dan masalah serta rencana arah pengembangan kota. Adapun rencana kota yang ada antara lain : Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin 2010-2014. Potensi dan Masalah pengembangan Kabupaten Banyuasin meliputi potensi dan masalah terkait struktur ruang kota, pola ruang kota, dan kawasan strategis.
Penetapan Sistem dan Zona Sanitasi dilakukan untuk mengidentifikasi sistem sanitasi yang paling sesuai untuk suatu wilayah dan membantu perumusan Program dan Kegiatan yang paling sesuai dengan kondisi wilayah berdasarkan sitem yang diusulkan. Sistem sanitasi adalah suatu proses multi-langkah, di mana berbagai jenis limbah dikelola dari titik timbulan (sumber limbah) ke titik pemanfaatan kembali atau pemrosesan akhir . Setiap tahap ini disebut kelompok fungsional karena memiliki teknologi sendiri-sendiri dengan pengelolaan spesifik. Sistem sanitasi berdasarkan pentahapan implementasi jangka pendek (1-2 tahun), jangka Menengah (5 tahun), dan jangka panjang (10-15 tahun). Zona sanitasi menunjukkan dimana “sistem” tersebut akan diterapkan.
Dalam menetapkan sistem sanitasi faktor-faktor yang harus dipertimbangkan adalah : (i) faktor pengelolaan (peraturan, pengelolaan kelembagaan, pengaturan O dan M, kepemilikan aset); (ii) faktor fisik wilayah (kepadatan penduduk, pemanfaatan lahan, dan topografi); (iii) faktor keuangan dan pendanaan (kapasitas fiskal, dukungan, dan mekanisme pendanaan). Pilihan Sistem yang dapat digunakan umumnya Pelibatan masyarakat dan swasta dalam pengelolaan air limbah domestik belum ada. Pengelolaan grey water (air buangan rumah tangga seperti air bekas cucian, air bekas mandi, dan lain-lain) secara umum saluran pembuangan air limbah domestik di Kabupaten Banyuasin masih menjadi masalah, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga tidak memiliki fasilitas saluran pembuangan air limbah (SPAL) yang memenuhi syarat
Berdasarkan kesepakatan anggota pokja kabupaten banyuasin rekomendasikan menetapkan terlebih dahulu 3 atau 4 saja sebagai Prioritas UTAMA  terkait ketersediaan ANGGARAN dan RENCANA IMPLEMENTASI-nya. Apabila dalam proses ke 3 atau 4 program diatas sudah ada kepastian penganggarannya (dari berbagai sumber pendana), Pokja Kabupaten Banyuasin menetapkan prioritas lanjutan (kemungkinan bisa dilakukan pada tahun n+3 atau n+4 atau di review pada dokumen “MPS Tahunan”). Konsultasi dan koordinasi dengan seluruh Dinas terkait untuk penetapan prioritasi ini merupakan KEHARUSAN.


























  1. Persampahan
Tabel 2.9  Permasalahan Persampahan
  1. Sistem Persampahan :
  1. User interface :
Tingkat Pengolahan Sampah Rumah Tangga (RT) sbb:
  • Tingkat layanan penanganan sampah RT : 4 % diangkut Tukang Sampah, 96 % tidak diangkut Tukang Sampah (dikubur, dibuang ke sungai, ke lahan kosong dsb)
  • Pengelolaan sampah rumah tangga :
  • Praktek Pemilahan Sampah oleh Rumah Tangga
Pengumpulan Setempat  
  • Masih diperlukan 20 unit gerobak dorong, 12 becak motor untuk pelayanan perkampungan sempit dan IKK.
  • Belum adanya skema strategi untuk kerjasama dengan swasta/kelompok masyarakat dalam pengelolaan persampahan.
Penampungan Sementara (TPS)
  • Baru ada 8 TPS dari total kebutuhan 24 unit
Pengangkutan:
  • Masih kurangnya sarana pengangkut, baru ada 2 truk pengangkut untuk wilayah perkotaan dari total kebutuhan 4 unit
(Semi) Pengolahan Akhir Terpusat
  • 70% masih belum melakukan pemilahan, baru ada 1 kelompok proyek 3R
Daur Ulang / Tempat Pemrosesan Akhir:
  • Pengelolaan TPA masih memakai system Open Dumping
Perencanaan
  • Belum tersedianya master plan dan dokumen perencanaan lainnya

  1. Lain-lain:
  1. Aspek Kelembagaan:
  • Dinas masih berfungsi sebagai operator dan regulator
  • SDM kurang memadai, baik dari kuantitas dan kualitas
  1. Aspek Pendanaan:
  • Penganggaran terkait pengelolaan persampahan baru mencapai 0.3%
  • Pengelolaan sampah masih belum menjadi prioritas
  • Pola penanganan sampah belum optimal
  • Rendahnya dana penarikan restribusi
  1. Aspek Peran Serta Masyarakat dan Dunia Usaha / Swasta:
  • Potensi masyarakat belum dikembangkan secara sistematis
  • Rendahnya investasi dunia usaha / swasta
  1. Aspek Peraturan Perundangan dan penegakan hukum:
  • Penerapan sanksi hukum dari Perda belum efektif
  • Belum tersosialisasinya ketentuan penangan sampah terhadap masyarakat




  1. Sasaran Pembangunan Sampah
Kabupaten Banyuasin yang terdiri dari 19 kecamatan (304 desa/kelurahan) dengan luas 1.183.299 Ha, dengan jumlah penduduk 906.736 jiwa berpotensi setiap harinya menambah jumlah (volume) sampah seiring dengan perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Diperkirakan setiap orang menghasilkan sampah (langsung maupun tidak langsung) minimal sekitar 0,4 Kg perharinya. Jika penduduk Banyuasin berjumlah 906.736 jiwa berarti produksi sampahnya perhari sekitar 362.694,4 kg atau sekitar 368.570 ton/ hari. Dapat dibayangkan jika sampah sebanyak itu tidak mampu dikelola secara arif dan bijaksana tentu akan menimbulkan banyak masalah terutama pencemaran terhadap lingkungan.
Akses pelayanan persampahan oleh DKKP Kabupaten Banyuasin baru mencapai 10 % dari jumlah penduduk. Khusus untuk kota Pangkalan Balai sebagai ibu kota kabupaten Pangkalan Balai dan sekitarnya terlayani 25 % dari jumlah penduduk perkotaan. Perharinya timbulan sampah di Pang Balai mencapai 37 Ton dan yang mampu terangkut ke TPA Terlangu hanya sebanyak 10 Ton/hari
Permasalahan umum yang dihadapi Kabupaten Banyuasin dalam pengelolaan sampah antara lain
  • Belum cukup tersedianya TPA yang memenuhi syarat dan fasilitas pendukungnya secara memadai
  • Kebiasaan buang sampah sembarangan
  • Rendahnya kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap permasalahan sampah dilingkungannya
  • Timbulan sampah yang menumpuk yang diakibatkan teerbatasnya sarana prasarana angkutan.
Usulan dan prioritas program pengelolaan persampahan dalam rangka percepatan peningkatan akses dan sarana prasarana persampahan, yaitu sebagai berikut:
  • Dibangunnya TPA dengan system sanitary landfill atau controlled landfill;
  • Didorong untuk upaya pengurangan sampah dengan penerapan konsep 3 R (Re-duce, re-use dan re-cycling);
  • Pengadaan sarana prasarana persampahan;
  • Penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat tentang pengelolaan persampahan;
  • Diadakan bimbingan teknis pengomposan untuk mengurangi volume sampah ke TPA dan dapat digunakan sebagai pupuk oleh petani.






  1. Permasalahan Drainase Lingkungan
Tabel 2.13 Permasalahan Drainase Lingkungan
  1. Sistem Drainase Lingkungan :
User Interface
  • Lama genangan bila terjadi banjir yang lebih dari 1 hari: 31,8%
  • Rumah Tangga yang mengalami banjir rutin:
Frekuensi genangan secara rutin dialami oleh sekitar 47 % rumah tangga sementara, sebagian besar atau 53% tidak secara rutin mengalami
Penampungan /
Pengolahan Awal:
grey water masih bercampur dengan saluran drainase, belum ada sumur resapan
Pengangkutan /
Pengaliran:
Kondisi drainase lingkungan berdasarkan hasil EHRA 2013:
Data lain berdasarkan
hasil Studi EHRA 2013:
  • Ditemukan bahwa sekitar 30,3% rumah tangga memiliki lingkungan sekitar rumah yang terdapat genangan air.
  • Pada umumnya, drainase lingkungan masih menjadi satu antara pembuangan air hujan (pematusan air hujan) dan saluran limbah rumah tangga (grey water).
Dokumen Perencanaan
  • Belum tersedianya Master plan dan dokumen perencanaan lainnya

B. Lain-lain:
Dokumen
Perencanaan
Belum adanya  dokumen perencanaan drainase (Masterplannya belum ada)
Kebijakan Pembangunan Antar Kawasan
  • Belum adanya koordinasi dari para pelaku pengelolaan dari setiap komponen infrastruktur dalam perencanaan maupun pembangunannya.
Perilaku Masyarakat
  • Umumnya masyarakat memanfaatkan drainase lingkungan sebagai jaringan pembuangan limbah baik limbah industri rumah tangga maupun limbah domestik  tanpa melalui proses pengolahan limbah terlebih dahulu.
  • Masih banyak masyarakat yang memanfaatkan drainase lingkungan sebagai TPS (tempat pembuangan sampah) yang praktis.
  • Masih adanya masyarakat yang membangun di atas badan drainase.
  • Kurang terpeliharanya drainase.

Sumber : BPS BAB III, SSK BAB III dan Study EHRA Kab. Banyuasin Tahun 2013

  1. Sasaran Pembangunan Drainase

  1. Prioritas Pembangunan Drainase




  1. PHBS Terkait Sanitasi
  1. Permasalahan Prohisan
Tabel 2.17. Permasalahan Mendesak PHBS terkait Sanitasi
User Interface
Dari hasil studi EHRA yang dilaksanakan pada desa/kelurahan di Kabupaten Banyuasin yang menjadi perwakilan wilayah klaster diperoleh informasi bahwa 92,5% dari responden yang diwawancarai dan dilakukan pengamatan masih melakukan praktek buang air besar sembarangan (BABS).
Berdasarkan studi EHRA yang dilakukan di Kabupaten Banyuasin ternyata perilaku responden dalam CTPS pada 5+1 waktu penting masih sangat rendah yakni hanya 9 % yang melakukan kebiasaan tersebut.
Berdasarkan studi EHRA juga diperoleh data jamban bebas dari kecoa dan lalat sebesar 92,5 %.dan sisanya 7,5 % masih perlu mendapat perhatian karena jamban masih belum bebas dari lalat dan kecoa.
Penggunaan sabun terbanyak adalah pada pemanfaatan untuk mandi sebesar 97,4 %, kemudian mencuci peralatan sebesar 79,4%, mencuci pakaian sebesar 77,5%. Sedangkan penggunaan sabun untuk menceboki pantat anak menjadi pemanfaatan sabun terendah yakni hanya mencapai angka 39,7%. Hal ini perlu diperhatikan terkait nantinya pada faktor kejadian penyakit diare terhadap anak terutama anak dalam kategori usia balita.

Berdasarkan hasil studi EHRA yang dilakukan di Kabupaten Banyuasin sebanyak  84 % para ibu mencuci tangan sebelum makan, sebanyak 54,5 % setelah buang air besar dan yang harus mendapat perhatian adalah hanya 27,1 % ibu mencuci tangan sebelum menyuapi anaknya makan
Di Kabupaten Banyuasin sebagian besar tidak terjadi pencemaran pada wadah penyimpanan dan penanganan air dengan prosentase 91,3%, namun kondisi tersebut juga harus mewaspadai adanya 8,7% pencemaran pada wadah penyimpanan dan penanganan air
Data berdasarkan
hasil Studi EHRA 2013:
Masih rendahnya kesadaran sebagian kecil masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat didukung dengan pola hidup masyarakat perkotaan yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan tempat tinggal. Masih banyaknya kasus penyakit berbasis lingkungan tersebut yang diakibatkan oleh kondisi  sanitasi yang kurang baik dan pola hidup masyarakat yang kurang sehat, seperti yang ditunjukkan pada perilaku dibawah ini:
  1. Buang Air Besar Sembarangan (BABS)
  2. Buang sampah sembarangan
  3. Masih rendahnya kesadaran pola cuci tangan pakai sabun (CTPS),
  4. Kebersihan Jamban
  5. Perilaku pada penyimpanan dan penanganan air.
Pendanaan
  1. Minimnya pendanaan untuk PHBS sehingga belum bisa dilaksanakan secara menyeluruh ke masyarakat .
  2. Peluang pendanaan oleh pihak swasta perlu dioptimalkan dengan menyusun rencana strategi pengembangan kesehatan lingkungan masyarakat .
Komunikasi
  1. Keberadaan posyandu menjadi peluang peningkatan pemahaman masyarakat dalam melakukan pola hidup bersih dan sehat.
  2. Peran media massa sebagai penyebar informasi pola hidup bersih dan sehat harus dioptimalkan.
  3. Peran tokoh agama dalam penyebaran informasi PHBS harus lebih di tingkatkan.
  4. Lemahnya kepedulian masyarakat dan pengambil kebijakan terhadap program-program yang bersifat preventif dan promotif (pencegahan dan promosi).
Keterlibatan Pelaku Bisnis
  1. Peran pihak swasta dalam rangka penerapan PHBS di lingkungan kerja masing-masing harus dioptimalkan.
  2. Belum adanya dukungan dari perusahaan penghasil produk pembersih pada penerapan PHBS di Kabupaten Banyuasin.
Pemberdayaan Masyarakat, Aspek Jender dan Kemiskinan
  1. Kurang pahamnya masyarakat dalam melakukan PHBS mengakibatkan masih tingginya penderita penyakit-penyakit akibat kondisi lingkungan yang kurang sehat.
  2. Masyarakat membutuhkan informasi tentang pola hidup bersih dan sehat.
  3. Belum memaksimalkan pengarusutamaan gender/kesetaraan gender dalam perencanaan program.
  4. Belum memaksimalkan penganggaran dan program yang pro poor.
Teknis Pelaksanaan PHBS
  1. Puskesmas telah melaksanakan program PHBS di tingkat masyarakat melalui posyandu dan juga bekerjasama dengan pihak sekolah terutama kepada siswa Sekolah Dasar.
  2. Dinas Kesehatan setiap tahun melaksanakan kegiatan evaluasi dan penyuluhan tentang pola hidup bersih dan sehat.
  3. Hanya sebagian kecil masyarakat di Kabupaten Banyuasin yang memahami pentingnya cuci tangan pakai sabun  (Hasil Studi EHRA 2013).
  4. Sosialisasi pola hidup bersih dan sehat serta cuci tangan pakai sabun perlu ditingkatkan..
Sumber : BPS BAB III, SSK BAB III dan Study EHRA Kabupaten Banyuasin  2013

  1. Sasaran PHBS Terkait Sanitasi






Tabel 2.18 Tujuan dan Sasaran PHBS Terkait sanitasi























  1. Review Kerangka Kerja Logis


TOPIK MINGGU

KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN

SURAT KEPUTUSAN : Nomor : SK/42/DEPIDER/BK/VI/2016. TENTANG KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN.  "MAJU TERUS PANTANG MUND...