Tampilkan postingan dengan label Negara Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Negara Indonesia. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Mei 2020

RENUNGAN BULAN MEI CATATAN REFORMASI 1998 DALAM PERSPEKTIF ILMU PEMERINTAHAN

TRIBUNUSBANYUASIN.COM - Pada tulisan Bagian Pertama, telah disebutkan bahwa ada enam (6) Agenda / Tuntutan Reformasi yaitu:

– Adili Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya
– Laksanakan Amandemen UUD 1945
– Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
– Laksanakan Otonomi Daerah Yang Seluas-luasnya
– Tegakkan Supremasi Hukum
– Ciptakan Pemerintahan Yang Bersih dari KKN
Salah satu diantara keenam tuntutan yang paling menarik adalah adanya tuntutan untuk melaksanakan Otonomi Daerah Yang Seluas-luasnya.

Mengapa tuntutan “Laksanakan Otonomi Daerah Yang Seluas-luas”nya ini terjadi. Siti Zuhro (Peneliti LIPI) pernah menganalisa dan menyampaikan bahwa Presiden Soeharto dengan background tentaranya, pada masa kekuasaannya memandang untuk membangun Indonesia yang benar-benar solid, stabil secara politik, keamanan maka pendekatan stabilitas politik itu dinomorsatukan. Oleh karena itu dahulu dikenal Trilogi Pembangunan yaitu: Stabilitas Politik dan Keamanan, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Kesejahteraan. Yang dalam prakteknya Stabilitas Politik dan Keamanan yang ditonjolkan.

Dengan kebijakan seperti itu tentunya ada konsekuensi atau resiko nya karena kekuasaan menjadi hanya berkutat di tiga titik sentra saja yaitu presiden, birokrasi dan ABRI.

Sentralisasi yang sangat kuat di pusat akhirnya berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah. Daerah tidak dibekali dengan kewenangan dan uang yang cukup, semua dipusatkan di Jakarta. Akibatnya adalah selama menghadapi masa krisis ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar dan daerah tidak mampu berbuat apa-apa.

Hal inilah yang memunculkan asumsi bahwa hanya ada satu jawaban untuk mengatasi persoalan sentralisasi kekuasaan yang telah lama mengekang daerah yaitu dengan otonomi daerah, pengalihan kewenangan ke daerah. Kebetulan anggapan ini memiliki justifikasi historis berdasarkan paradigma bahwa pada hakikatnya daerah-daerah itu secara faktual sudah ada sebelum Republik Indonesia berdiri.

Perasaan ketidakpuasan, ketidakadilan dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya sudah mengalami puncaknya. Daerah tersebut merasa dibohongi oleh pemerintah pusat yang dianggap tidak berniat memberdayakan daerah. Sentralisasi hanya menguntungkan sebagian kecil elit-elit daerah yang bisa diajak kerja sama oleh oknum-oknum pusat. Tuntutan desentralisasi ini sangat keras disuarakan oleh daerah-daerah, khususnya yang kaya sumber daya alam, antara lain Riau, Kalimantan, Aceh, dan Papua, karena bila dirunut kebijakan sentralisasi ini tak lepas dari gurita Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dari pusat ke daerah-daerah, dimana pengusaha kroni-kroni Soeharto diduga memiliki kepentingan dalam mengeksploitasi sumber daya alam di daerah-daerah sehingga daerah merasa tidak diperlakukan adil.

Sejarah reformasi mencatat setelah Presiden Soeharto tumbang, maka dalam rangka memenuhi tuntutan reformasi, Presiden BJ Habibie mengakomodasi tuntutan-tuntutan daerah tersebut dengan membentuk tim tujuh untuk merumuskan konsep Otonomi Daerah. Ketujuh orang tokoh yang duduk dalam Tim Tujuh ini adalah adalah Ryas Rasyid, Rapiudin Hamarung, Andi Malarangeng, Affan Ghafar, Djohermansyah Djohan, Ramlan Surbakti, dan Luthfi Mutty

Justifikasi Sejarah Desentralisasi
Suparto Wijoyo (dalam Suparto Wijoyo, 2005; 2-7) melakukan penelusuran sejarah tentang Desentralisasi di Indonesia Menemukan catatan bahwa pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin menyampaikan rancangan UUD untuk dipelajari BPUPKI. Dalam rancangan itu Yamin mengatakan: “negeri, desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibarui dengan jalan rasionalisme dan pembaruan zaman, dijadikan kaki susunan Negara sebagai bentuk bawahan… Antara bagian tengan sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Urusan Dalam…”

Selanjutnya pada tanggal 11 Juli 1945 berlangsung sidang kedua BPUPKI, M Yamin menegaskan konsepsinya tentang Pemerintahan Daerah:

….Pemerintah dalam Republik Indonesia pertama-tama akan tersusun dari badan-badan masyarakat seperti desa, yaitu susunan pemerintah yang paling bawah. Pemerintah ini saya namai pemerintah bawahan.

Dan Pemerintah Pusat akan terbentuk di kota Negara, ibu kota Negara Republik Indonesia. Itu saya namai pemerintah atasan. Antara pemerintah atasan dan pemerintah tengahan…. Desa, negeri-negeri, marga-marga dan lainnya tetaplah menjadi kaku pemerintah Republik Indonesia. Dan di tengah-tengah pemerintah atasan dan pemerintah bawahan, kita pusatkan pemerintah daerah…..

Konsep Yamin ini dikenal dengan “peta tri hierarkis”.

Pendiri Republik Indonesia yang lain: Soepomo sebelumnya (pada tanggal 5 Juli 1945) menyatakan tentang Pemerintah Daerah: “Tentang daerah, kita telah menyetujui bentuk persatuan, unie; oleh karena itu di bawah pemerintahan pusat, di bawah Negara tidak ada Negara lagi. Tidak ada ondestaat, akan tetapi hanya daerah-daerah, ditetapkan dalam Undang-undang”

Sesaat sebelum UUD 1945 disahkan, Soepomo memberikan tambahan penjelasan:

Di bawah Pemerintahan Pusat ada Pemerintahan Daerah: Tentang Pemerintahan Daerah, di sini hanya ada satu pasal, yang berbunyi “Pemerintahan Daerah disusun dalam undang-undang”. Hanya saja dasar-dasar yang telah dipakai untuk Negara itu juga harus dipakai untuk Pemerintahan Daerah, artinya Pemerintahan Daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan lain perkataan harus ada Dewan Perwakilan Rakyat. Dan dihormati. Kooti-kooti, Sultanat-sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi keadaannya sebagai daerah, bukan Negara; jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah, “zelfbesturende landschappen” itu bukan Negara, sebab hanya ada satu Negara. Jadi “zelfbesturende landschappen” hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah istimewa itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli. Begitu pula adanya “zelfstandige gemeenschappen”seperti desa (di Jawa), nigari (di Minangkabau), marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut “inheemsche Rechtgemeenshappen”.

Kemudian ketika UUD 1945 disahkan dalam Penjelasan Pasal 18 (sebelum amandemen) dijelaskan:

Oleh karena Negara Indonesia itu “eenheidstaat” maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.

Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh arena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa paradigma Pemerintahan Pusat, Daerah hingga Desa yang dibangun para pendiri Negara adalah pemerintahan Negara kesatuan yang mengakui, menghormati dan menghargai sistem sosiologi dan kultural yang sudah terbangun di masyarakat sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan. Pengakuan “Sosio Kultural” ini mereduksi pengakuan “kekuasaan politik” karena tidak boleh ada “ondestaat” di dalam “Staat”.          

Era Orde Lama adalah era “bongkar pasang” konstitusi untuk menemukan jati diri Indonesia. UUD 1945 yang menjadi sumber hukum formal tertinggi di negeri ini, pernah digantikan oleh Konstitusi RIS, kemudian oleh UUDS 1950 dan akhirnya dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali lagi ke UUD 1945.

Dinamika Desentralisasi Era Orde Lama

Pada era orde lama ini ada beberapa produk hukum yang sangat penting yang diterbitkan berkenaan dengan desentralisasi yaitu Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 tentang Penetapan Aturan- aturan Pokok Mengenai Pemerintah Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri; Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah; Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Ditambah lagi Undang-undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Indonesia Timur.

Setiap undang-undang dan penetapan presiden di atas mengalami dinamikanya masing-masing sejalan dengan keberlakuan Undang-undang Dasarnya masing-masing. Sistem yang dianut oleh undang-undang yang merupakan turunan dari Undang-undang Dasar 1950 kebetulan sama dengan yang dianut oleh UUD 1945 yaitu menganut pembagian daerah berdasarkan ukuran besar dan kecilnya daerah (seize approach) dan tingkatan daerah (level and hierarchical approach) dengan ciri dasar permusyawaratan / perwakilan di setiap tingkatan pemerintahan, sedangkan undang-undang yang merupakan turunan dari Konstitusi RIS “ruh”nya adalah federasi / Negara bagian, bukan desentralisasi / otonomi.  

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 lahir pada era euphoria (liberalisme) politik bebas dari penjajahan. Perumus undang-undang ini ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia sebagai Negara baru adalah sebuah Negara demokrasi bukan Negara otokrasi apalagi Negara fasis yang dimusuhi dunia pada saat Perang Dunia II, implikasinya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam undang-undang ini menjadi sangat dominan sebagai “kaki tangan” dari kepentingan partai-partai politik saat itu. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan DPD (Dewan Pemerintahan Daerah). Pemerintahan Daerah dijalankan secara kolektif kolegial oleh DPD yang dipimpin oleh Kepala Daerah sebagai Ketua DPD dan anggota DPD yang dipilih oleh dan dari anggota DPRD.  

Mempelajari sistem yang dibangun oleh UU No. 22 Tahun 1948 ini menjadi menarik bila dibandingkan dengan model sebagaimana ditulis oleh Meier, Kenneth J & Laurence O’Toole Jr (Meier et al, 2006), Bureaucracy in Democratic State, khususnya ketika membahas soal “Representative Bureaucracy”dimana keterwakilan berbagai kelompok sosio kultural dalam masyarakat dianggap penting dalam mengurus pemerintahan.

Penekanan pada keharusan adanya keterwakilan ini membuat sistem pemerintahan dan birokrasinya menjadi gemuk dan berjenjang-jenjang. Akibatnya praktek pemerintahan berjalan lambat dan tidak efektif. Meskipun demikian semua itu disadari karena semua pihak sedang tenggelam pada euphoria kebebasan politik dari bangsa yang baru merdeka pada satu sisi, serta ancaman penjajah akan kembali menguasai Indonesia pada sisi yang lain.  

Pemberlakuan sistem desentralisasi oleh undang-undang ini pada kenyataannya dikalahkan oleh gejolak-gejolak sosial di daerah-daerah yang menghendaki perubahan-perubahan revolusioner dalam sistem sosial untuk penguasaan lahan dan sumber daya alam yang lebih adil bagi lapisan bawah, mereka para penggerak revolusi sosial ini terlanjur antipasti dengan sistem aristokrasi pemerintahan daerah sehingga tidak percaya dengan konsep desentralisasi (otonomi) serta “medebewind”yang ditawarkan oleh undang-undang ini bisa membawa kesejahteraan rakyat, akibatnya di daerah-daerah diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah pusat, antara lain PKI Muso di Madiun, serta DI /TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan yang intinya tidak ingin mengikuti kebijakan Pemerintah, termasuk kebijakan tentang desentralisasi ini.            

Pengalaman Indonesia di awal kemerdekaan itu barangkali sama dengan apa yang ditulis Ebenstein dan kawan-kawan dalam buku American Democracy in World Perspective (Ebenstein, Pritchett, Turner and Mann, 1970: 427 – 429) membandingkan bagaimana birokrat di Perancis dengan birokrat di Amerika Serikat. “The French administrative structure developed from the royal household, but was adapted to the purposes of the modern nation-state with the overthrow of the monarchical system. The civil service was already powerful and relatively professional; only its master had changed”, sementara untuk Amerika Serikat “Far from being a social, economic, or political elite, the American bureaucracy reflects the American public. Its personnel are recruited nationwide and from all classes of the population”. Dalam sejarahnya birokrasi Amerika Serikat pernah menjadi birokrasi yang sangat gemuk, lamban dan dianggap sangat boros / tidak efisien dan tidak produktif, barangkali seperti itulah yang dialami oleh Dewan Pemerintahan Daerah dan DPRD pada saat itu yang isinya bukanlah orang-orang profesional dalam soal pemerintahan, namun diberi kewenangan memerintah.  

Sadu Wasistiono dan Petrus Polyando menyebutkan bahwa dilihat dari semangat para penyusunnya UU No. 22 Tahun 1948 ini “lebih mengedepankan dimensi politik daripada dimensi manajemen pemerintahan dan juga dimensi kemampuan keuangan Negara” (Sadu Wasistiono dan Petrus Polyando 2017: 90)

Selepas dari UU No. 22 Tahun 1948 Indonesia masuk ke era Undang-undang Dasar Sementara 1950, setelah sebelumnya sempat memberlakukan Konstitusi RIS sebagai “trade off”dengan pengakuan kedaulatan oleh Belanda. Bila Konstitusi RIS jelas-jelas mengadakan Negara dalam Negara (karena sistem Federal), maka UUDS 1950 mengembalikan semangat dan kerangka politik hukum ke Negara Kesatuan.

Pada era Konstitusi RIS yang berlangsung hanya satu tahun, terbitlah Undang-undang Nomor 44 Tahun 1950.

Setelah memasuki era Undang-undang Dasar Sementara 1950, lahirlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957. Masih sama dengan undang-undang No. 22 Tahun 1948, undang-undang ini menganut sistem pemerintahan berjenjang, sehingga birokrasinya tetap gemuk dan boros, apalagi banyak mengadopsi kepentingan-kepentingan politik yang dinamika dan konfliknya sangat tajam saat itu. Pada era itu investasi asing sangat sulit masuk, perizinan prosesnya berbelit-belit, sehingga pembangunan ekonomi menjadi stagnan. Pada era ini dikenal istilah daerah “Swatantra” (artinya sama dengan daerah otonom) yang dibagi menjadi tiga (3) level yaitu Daerah Swatantra Tingkat I (ada di daerah Khusus dan daerah istimewa), Daerah Swatantra Tingkat II (daerah Swapraja, daerah Kerajaan / Kesultanan) dan Daerah Swatantra Tingkat III (entitas lainnya seperti volksgemeenschappen). Satu lagi yang sama dengan UU No. 22 Tahun 1948, Undang-undang ini tepat menganut sistem Legislatif Dominance. Undang-undang No. 1 Tahun 1957 merupakan Undang-undang hasil dari DPR yang dipilih Pemilu Pertama kali di Indonesia yang dianggap sebagai pemilu paling bersih dalam sejarah Indonesia, jauh dari money politics maupun intimidasi. Undang-undang ini tidak membuat rincian urusan apa saya yang diurus pusat dan daerah. Keuntungannya pelaksanaan urusan tertentu menjadi lebih fleksibel, namun di sisi lain kelemahannya ada urusan tertentu yang pusat dan daerah sama-sama tidak mau mengurus padahal prinsip penyelenggaraan pemerintahan itu “Tidak boleh ada kekosongan pemerintahan”

Belum lama undang-undang ini berlaku, terbitlah keputusan politik kenegaraan yang “extra ordinary” yaitu Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sehingga lahirlah Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959. Penetapan Presiden ini mengandung beberapa point penting antara lain: 1. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD (tidak lagi Legislative Dominance, tetapi sejajar). 2. Pemerintahan Daerah tidak lagi dijalankan dengan mekanisme Kolektif-Kolegial bersama Dewan Pemerintahan Daerah, tetapi oleh Kepala Daerah dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH). 3. Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat Berwenang (Pemerintah Pusat), tidak lagi oleh DPRD. Era Pasca Dekrit Presiden adalah era keluar dari model demokrasi liberal.  Oleh beberapa kalangan pendukung demokrasi liberal Politik Hukum pada era ini disebut sebagai kemunduran konsep desentralisasi (otonomi).

Dalam pandangan ilmu politik maka mempelajari Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 ini lebih mudah didekati secara Political Science ketimbang Political Sociology (Reinhard Bendix dan Seymour Lipset dalam Power Participation and Ideology oleh Calvin J. Larson and Philo C. Wasburn, 1969: ix):

Like political science, political sociology is concerned with the distribution and exercise of power in society. Unlike political science, it is not concerned with the institutional provisions for that distribution and exercise, but takes them as given. Thus political science starts with the state and examines how it affects society, while political sociology starts with society and examines how it affects and exercise of power          

Sedangkan Undang-undang No. 22 Tahun 1948 dan Undang-undang No. 1 Tahun 1957 adalah sebaliknya.

Presiden Soekarno yang sangat paham dengan sistem politik dan ketatanegaraan tentunya tidak nyaman mengatur pemerintahan hanya dengan Penetapan Presiden, maka dari itu setelah lebih dari 5 (lima) tahun sejak mengeluarkan Dekrit diterbitkanlah Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah di era Demokrasi Terpimpin yang tujuannya untuk membuat kestabilan politik akibat dari gejolak berkepanjangan akibat penerapan demokrasi liberal. Sama halnya dengan model pemerintahan di pusat, di daerah pun diharapkan Kepala Daerah menjadi “sesepuh” (panutan). Barangkali saja Presiden Soekarno mengartikan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan” di tingkat daerah personifikasikan pada Kepemimpinan yang bijak oleh sesepuh yang memiliki kewibawaan tinggi, mencerminkan amanat penderitaan rakyat, revolusioner dan mendapatkan kepercayaan dari Pemerintah Pusat.  “The Leader is always the nucleus or a tendency, and on the other hand, all social movement, closely examined will be found to consist of tendencies having such nuclei” dan sekaligus “leadership as a combination of traits which enables an individual to induce other accomplish a given task” (Cooley dan Ordway Tead dalam Pamudji, 1995: 9 – 11) adalah gambaran yang tepat untuk mengartikan konsep tersebut.

Sebelum Orde Lama berakhir, masih sempat terbit Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Undang-undang ini merupakan upaya untuk mengakui lembaga masyarakat tingkat Desa menjadi daerah otonom. Sebagaimana di atas telah disebutkan bahwa saat menyusun UUD 1945 di BPUPKI telah digariskan oleh pendiri-pendiri republik ini bahwa Negara Republik Indonesia bertekad mengakui, menghargai, menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat secara sosiologis dan kultural, yang oleh Talcott Parson (dalam Setya Yuwana Sudikan, 2001: 7) “masyarakat adalah suatu sistem sosial yang swasembada (self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya”. Kemudian dilengkapi oleh Edward Shils dalam literature yang sama yang “menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan sendiri (self sufficiency) yang dibaginya ke dalam tiga komponen yaitu: pengaturan sendiri, reproduksi sendiri dan penciptaan diri (self regulation, self-reproduction, self-generation)” sebagai ciri masyarakat pedesaan yang otonom.

Sayangnya undang-undang ini tidak sempat berlaku efektif karena beberapa saat setelah diundangkan terjadi peristiwa politik G 30 S PKI yang di kemudian hari menghapus semua sistem desentralisasi yang diimunisasi dan dijadikan pergulatan pemikiran, perdebatan konsep hingga pergerakan politik untuk memperjuangkan “hak-hak otonomi / kewenangan daerah” pada era orde lama, karena digantikan model sentralisasi pemerintahan model orde baru.

Pemerintahan memang bukan hanya soal administrasi / manajemen pemerintahan ataupun soal hukum tentang pembagian kewenangan, karena pemerintahan tetap merupakan peristiwa yang tidak lepas dari kekuasaan (tidak bisa dipisahkan dari politik).

Pemerintah Orde Baru yang selalu mengklaim sebagai Pemerintahan yang menjalankan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 paling murni dan konsekuen, ternyata tidaklah demikian adanya. Kebijakan sentralistisnya dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 membuktikan bahwa Orde Baru tidak berniat menjalankan Desentralisasi, sehingga muncullah isu ini menjadi salah satu dari tuntutan reformasi.

Desentralisasi di Era Reformasi

Saat ini di era reformasi, desentralisasi telah memiliki dasar hukum dengan berbagai koreksinya antara lain:

• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 Ayat 1 – 7, Pasal 18A ayat 1 dan 2, Pasal 18B ayat 1 dan 2.
• Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
• Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
• UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
• UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
• UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
• UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Revisi UU No.32 Tahun 2004)
Otonomi daerah telah dinormalkan untuk melahirkan semangat kemandirian dari kungkungan pemerintah pusat yang sentralistis. Otonomi daerah juga telah menghasilkan proses suksesi kepemimpinan yang dipilih secara langsung di daerah, padahal sebelumnya sangat ditentukan oleh Pusat (baca Soeharto).

Reformasi Indonesia telah bergerak maju dan telah menunjukkan konsistensi historis dan filosofinya sesuai cita-cita kemerdekaan, sehingga tidak mungkin untuk diputar lagi ke belakang, namun demikian Pemahaman tentang Desentralisasi / Otonomi Daerah pernah dianggap keluar dari konteks Pemerintahan Negara Republik Indonesia (NKRI) secara utuh(kebablasan). PBB (United nation) yang dikutip oleh Kertapraja (dalam Sadu Wasistiono, 2017: 19) menyatakan bahwa “Decentralization refers to the transfer of authority away from national capital whether by deconcentration (i.e. delegation) to field offices or by devolution to local authorities or local bodies”. Turner dan Hulme (masih dalam buku yang sama) menambahkan dengan menyatakan “decentralization is a transfer of authority to perform some service to the public from an individual or an agency in central government to some other individual or agency which is closer to the public to be served”.

Dengan mempelajari dinamika desentralisasi dari Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi maka gagasan-gagasan pengembangan desentralisasi ke depan memang selayaknya tidak hanya terpaku pada persoalan pemberian kewenangan (legitimasi) kepada daerah, tetapi lebih pada bagaimana mendekatkan kewenangan publik kepada warga negara dalam rangka Good Governance untuk mencapai kebahagian warga Negara sebagaimana menjadi cita-cita konstitusi Undang-undang Dasar 1945, karena memang seperti itulah tujuan Republik Indonesia ini dibentuk.

Perjuangan reformasi Mei 1998 telah mengingatkan kita semua,  ketika kita sempat lama terlena…..

Bersambung……
Penulis : Didik Sasono Setyadi
Editor : Roni Paslah

Selasa, 16 April 2019

UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/MPR tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam‎

UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/MPR tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam‎.

Setelah memberikan membahas suatu kerangka pengaturan mengenai keberadaan dan hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam dalam UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/MPR tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, selanjutnya pembahasan akan diturunkan pada tingkatan undang-undang. 
Dalam bagian ini, ketentuan di dalam undang-undang tidak saja dianalisis secara tekstual, namun juga dimaknai secara konteks tual.Untuk memberikan pemahaman yang lebih luas dalam melakukan studi sinkronisasi dan harmonis asi terhadap ketentuan undang-undang maka analisis teks ini telah dilengkapi dengan informasi yang diperoleh melalui Focus Group Discussion yang diselenggarakan sebagai bagian dari penelitian ini. 
Bagian ini akan dimulai dengan pembahasan mengenai pengaturan dan dinamika permasalahan masyarakat hukum adat dalam perundang undangan bidang pertambangan, kemudian perundang-undangan di bidang ke lautan dan pesisir, lalu perundang-undangan di bidang sumber daya alam. 
Peneliti dalam kegiatan penelitian ini memahami bahwa lingkup yang dibahas belum komprehensif untuk juga melakukan sinkronisasi terhadap pengaturan yang berkaitan dengan pertanahan, kehutanan, dan tata pemerintahan. Meski pun demikian, penelitian ini memberikan suatu kerangka kerja (framework) yang dapat dikembangkan dalam menganalisis berbagai sektor lain dan pada berbagai tingkatan peraturan perundang undangan 1 Masyarakat Hukum Adat Dalam Perundang-undangan Bidang Pertambangan.
Pengelolaan pertambangan di Indonesia diatur dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Di dalam UU No. 2 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) diatur mengenai perlindungan terhadap masyarakat adat, seperti yang terdapat di dalam Pasal 11, Pasal 33 dan Pasal 34 UU Migas. Di dalam Pasal 11 UU Migas yang mengatur mengenai Kontrak Kerja Sama (KKS) dalam usaha hulu migas ditentukan bahwa di dalam KKS tersebut harus membuat beberapa ketentuan pokok, salah satunya adalah mengenai pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat. 
Dengan ketentuan ini, maka semua KKS yang dipegang oleh perusahaan Migas harus berisi tentang bagaimana perlindungan terhadap hak masyarakat adat apabila wilayah konsesi dari perusahaan Migas tersebut di atas atau berada di dekat wilayah kehidupan masyarakat adat.
Selain itu, di dalam Pasal 33 dan Pasal 34 UU Migas diatur pengelolaan Migas dalam kaitannya dengan hak atas tanah. Pasal 33 ayat (3) UU Migas menyatakan bahwa kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat. 5Dengan demikian nampak jelas bahwa pada prinsipnya kegiatan usaha Migas tidak dapat dilakukan di atas tanah masyarakat adat.
Namun pada pengaturan lain ditentuan bahwa pada tanah masyarakat adat tetap dapat dilakukan kegiatan usaha Migas setelah memperoleh persetujuan dari masyarakat adat. Pada penjelasan Pasal 33 ayat (4) disebutkan bahwa: “…Khusus tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci dan tanah milik masyarakat adat, sebelum dikeluarkan izin dari instansi Pemerintah yang berwenang perlu mendapat persetujuan dari masyarakat setempat.
”Ketentuan ini menganulir larangan penggunaan tanah masyarakat adat untuk usaha Migas. Dengan kata lain, kegiatan Migas dapat dilakukan di atas tanah masyarakat adat setelah mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat. Persetujuan masyarakat adat tersebut dilakukan dalam bentuk penyelesaian secara musyawarah dan mufakat untuk mendapatkan keputusan mengenai cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atas tanah.
Berbeda dengan UU Migas, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) tidak menyediakan ketentuan yang spesifik mengenai masyarakat adat. Di dalam UU Minerba pengaturan lebih bersifat umum mengenai peran dan keterlibatan masyarakat dari pada satu kategori yang lebih spesifik mengenai masyarakat adat.
Hal ini menunjukan suatu ketidaksinkronan karena antara UU Migas dan UU Minerba samasama merupakan undang-undang yang menjadi landasan kegiatan pertambangan di Indonesia.
Apalagi kegiatan pertambangan mineral dan batubara seringkali membutuhkan tanah yang lebih luas bila dibandingkan dengan kegiatan minyak dan gas bumi Dalam penjelasan UU Minerba disebutkan bahwa mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Dari ketentuan ini jelas menunjukkan bahwa peran masyarakat harus dilibatkan dalam setiap kegiatan usaha pertambangan.Salah satunya ketentuan di dalam Pasal 21 UU Minerba yang menyatakan bahwa bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka.
Peran serta masyarakat dalam keterlibatan dalam kegiatan usaha pertambangan karena usaha kegiatan tambang merupakan suatu kegiatan besar yang berada ditengah masyarakat, dimana tentunya kegiatan ini akan berinteraksi dengan masyarakat setempat dimana lokasi pertambangan itu berada.
Keterlibatan masyarakat sangat penting oleh karena banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan pertambangan, mulai dari pemerataan ekonomi hingga mempertimbangan kelestarian lingkungan serta dampak dari kegiatan tersebut menimpa masyarakat setempat dimana kegiatan usaha tambang dilakukan. 
Atas dasari itu, dalam Pasal 10 huruf b UU Minerba dinyatakan bahwa Penetapan Wilayah Pertambangan dilakukan secara secara terpadu dengan memperhatikan pendapat masyarakat. Perlunya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan usaha pertembangan untuk menghidari persoalan-persoalan yang akan timbul dari kegiatan usaha pertambangan tersebut. 
Seperti apa yang diutarakan Siti Maimunah dalam FGD tanggal 22 Oktober di BPHN bahwa tidak dilibatkan nya masyarakat dalam proses usaha pertambangan menimbulkan persoalan di masyarakat dalam kegiatan usaha pertambangan. 
Seperti persoalan adanya kegiatan usaha tambang di tengah-tengah pemukiman penduduk, tampa adanya batasan jarak dengan rumah penduduk, dan lokasi kegiatan usaha tambang tersebut merupakan hutan resapan air untuk kebutuhan penduduk setempat. Belum lagi.
permasalahan kerusakan akibat aktivitas pertambangan ini sangatlah bervariasi, tergantung dari jenis bahan tambang yang digali. Di samping itu juga dampak sosial-ekonomi.
Hal yang sering terjadi adalah timbulnya kesenjangan sosial-ekonomi antara masyarakat sekitar dengan orang-orang yang berada di tambang.
Kesenjangan sosial ini disebabkan oleh karena perbedaan budaya dan juga teknologi, serta status ekonomi. Orang-orang yang berada di perusahaan tambang biasanya berasal dari orang-orang kota dengan gaya hidup cenderung glamour dan mewah, teknologi yang dipakai juga canggih dan modern, serta kondisi ekonomi orang-orang perusahaan tambang biasanya ada di tingkat menengah ke atas, karena gaji di pertambangan tergolong besar. 
Hal yang sebaliknya dialami oleh masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan tambang, mereka biasanya adalah penduduk asli dan sudah tinggal di daerah tersebut bahkan sebelum perusahaan penambangan didirikan. Perbedaan budaya antara orang perusahaan dan masyarakat dapat menyebabkan kurang harmonisnya hubungan diantara keduanya. 
Akibat dari dampak tersebut menimbulkan gejolak maupun konflik ditengah-tengah masyarakat sehingga terkadang berakibat sampai adanya korban jiwa. Dalam Pasal 134 UU Minerba dinyatakan bahwa Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Ketentuan ini serupa dengan ketentuan mengenai larangan penggunaan tanah tertentu untuk kegiatan minyak dan gas bumi dalam UU Migas. Namun bedanya ketentuan di dalam UU Minerba tidak merinci larangan larangan pada tempat tertentu yang dimaksudnya, melainkan merujuk kepada peraturan perundang-undangan. 
Hal ini menjadi lebih kabur karena tidak tahu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan mana larangan yang dimaksud tersebut harus berpatokan.
Secara normatif, keberadaan UU Minerba pun juga dibuatnya dengan maksud dapat menciptakan lapangan kerja untuk sebesar besar kesejahteraan rakyat seperti yang tercantum dalam Pasal 2 huruf a UU yang menyebutkan bahwa pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan. 
Kemudian dalam Pasal 3 huruf e menyebutkan bahwa dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Demikian pula dalam Pasal 1 angka 28 UU Minerba yang menyatakan bahwa Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. Memang pada awalnya, masyarakat akan merasa gembira ketika suatu lahan pertambangan dibuka di daerahnya. 
Mereka akan berharap bahwa mereka akan mendapat pekerjaan yang layak seperti yang dimaksud ketentuan undang-undang di atas, namun pada kenyataannya karena keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh masyarakat menyebabkan mereka tidak dapat bekerja pada perusahaan tambang yang berada di wilayahnya. Padahal Pasal 2 UU Minerba menentukan bahwa pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan: huruf a : manfaat, keadilan, dan keseimbangan. Serta pasal 3 huruf e semakin memperjelas bahwa pertambangan dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat
Dengan demikian tujuan dari pembentuk undang-undang bahwa dengan dibuat undang-undang ini akan berdampak terhadap peningkatan kemakmuran rakyat hanya sebatas gagasan ideal atau das solen saja. Seharusnya hukum sebagaimana dikatakan Mochtar Kusumaatmadja hukum mempunyai kekuasaan untuk melindungi dan mengayomi seluruh lapisan masyarakat sehingga tujuan hukum dapat tercapai dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan sekaligus menunjang pembangunan secara menyeluruh (Kusumaatmadja, 1976:17
Akibat dari kenyataan ini maka di dalam masyarakat selalu timbul kesan bahwa hukum masih kurang mampu menjamin keteraturan, ketertiban, kepastian dan pada gilirannya juga dirasakan kurang mampu menjawab tuntutan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Memperhatikan beberapa ketentuan dalam undang undang tambang dan aturan kebijakan lainnya terdapat pertentangan antara yang diatur dengan kenyataan yang ada di masyarakat, hal demikian menurut Hadjon mengutip pendapat seorang ahli hukum ternama Lon Luvois Fuller.Filsuf hukum asal Universitas Harvard, Amerika Serikat, membagi ‘delapan jalan menuju kegagalan dalam pembentukan UU’.  
Kedelapan jalan itu adalah 
(i) tidak ada aturan atau hukum yang menimbulkan ketidakpastian; 
(ii) Kegagalan untuk mempublikasikan atau memperkenalkan aturan hukum kepada masyarakat; 
(iii) Aturan berlaku surut yang diterapkan secara tidak pantas. 
(iv) Kegagalan menciptakan hukum yang bersifat komprehensif, 
(v) Pembentukan aturan yang kontradiksi satu sama lain; 
(vi) Pembentukan aturan yang mencantumkan persyaratan yang mustahil dipenuhi; 
(vii) Perubahan aturan secara cepat sehingga menimbulkan ketidakjelasan; 
(viii) Adanya ketidaksinambungan antara aturan dengan penerapan nya.
2. Masyarakat Hukum Adat Dalam Perundang-undangan Bidang Pesisir dan Ke lautan.
Ada sejumlah peraturan perundang-undangan terkait dengan pesisir dan ke lautan, antara lain: Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, ketentuan ini telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.Undang-undang yang lama dinilai, sebagaimana tersurat dalam pertimbangannya, belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Sejak awal proses pembentukan hukum, terutama proses revisi UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil di penghujung 2013 lalu, yang kemudian menjadi UU No. 1 Tahun 2014, dikerjakan secara tidak partisipasi. 
Tudingan ini setidaknya dialamatkan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (disebut KIARA), yang menyatakan bahwa menyayangkan persetujuan rancangan regulasi dilakukan tanpa partisipasi dan peran masyarakat nelayan tradisional secara terbuka.Proses persetujuan dilakukan secara terbatas dan tertutup hanya dengan melibatkan pihak akademisi dan pengusaha. 
Hal ini jelas mencederai prinsip utama demokrasi berkaitan dengan elemen formal partisipasi publik dalam pembentukan hukum atau kebijakan. Sementara dari sisi pemerintah, klaim partisipasi sudah dilakukan. Menteri Sharif, dalam sumber Hukum Online, menjelaskan substansi UU tersebut sebagai perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat dan nelayan tradisional. Termasuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisonalnya.
Yang perlu dipahami adalah bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak hak tradisional nya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengakui dan menghormati Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.
Secara umum undang-undang ini mencakup pemberian hak kepada masyarakat untuk mengusulkan penyusunan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, serta Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; pengaturan mengenai Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Setiap Orang dan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; pengaturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya; serta pemberian kewenangan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Perlu pula memahami pasal berkemungkinan besar menciptakan perdebatan, yakni Pasal 26A ayat (4) Huruf b, yang menyebutkan, “Yang dimaksud dengan “akses public”adalah jalan masuk yang berupa kemudahan, antara lain:  
a. akses Masyarakat memanfaatkan sempadan pantai dalam menghadapi Bencana Pesisir; b. c. d. e. 
b.akses Masyarakat menuju pantai dalam menikmati keindahan alam;  
c.akses nelayan dan pembudi daya ikan dalam kegiatan perikanan, termasuk akses untuk mendapatkan air minum atau air bersih;  
d.akses pelayaran rakyat; dan,
e.akses Masyarakat untuk kegiatan keagamaan dan adat di pantai.
Masalah mendasarnya cukup kompleks. Misalnya, aparat polisi selama ini tak mengembangkan proses khusus untuk menangani secara khusus dalam penyelesaian kasus-kasus eksploitasi berkaitan dengan sumberdaya alam dan adat. 
Hal ini harus dipahami bukan semata soal tumpang tindih hukum, melainkan paradigma menempatkan posisi SDA sebagai komoditas, ataukah ruang hidup. Sehingga dalam proses harmonisasi hukum ini harus meletakkan rekomendasi-rekomendasi nya lebih berani, terutama dalam mengupayakan menegakkan keadilan bagi komunitas masyarakat adat agar lebih ter lindungi.
Dalam ketentuan undang-undang yang baru, UU No. 1 Tahun 2014, ditemui sejumlah permasalahan yang besar kemungkinan melahirkan penyingkiran hak-hak masyarakat adat. Ada sejumlah pasal yang berpotensi melahirkan konflik kepentingan, karena penggunaan istilah yang memungkinkan membatasi dan bahkan menyingkirkan hak-hak masyarakat adat. Sejumlah pasal ini berkaitan dengan substansi soal siapa subyek hukum dalam substansi perundang-undangannya, terutama istilah “Pemangku Kepentingan dan Masyarakat”, sebagaimana tersurat dalam pasal 30-36 UU No. 1 Tahun 2014.
  • Pasal 30. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat.  
• Pasal 31. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari
. Pasal 32. Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.  
• Pasal 33. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.  
• Pasal 34. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.  
• Pasal 35. Masyarakat Tradisional adalah Masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.  
• Pasal 36. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat.
Begitu juga adanya Pasal 60, yang menyatakan bahwa:   
(1) Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:  
a. memperoleh akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah diberi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan;  
b. mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional kedalam RZWP-3-K;  
c. mengusulkan wilayah Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K;  
d. melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;  
e. memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;  
f. memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;  
g. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;  
h. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;  
i. melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya; 
j. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;  
k. memperoleh ganti rugi; dan,
l. mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:  
a. memberikan informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;  
b. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;  
c. menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 
d. memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau  
e. melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang disepakati di tingkat desa. 
Sekalipun demikian, Indonesia justru memiliki momentum mengatur dan menguatkan masyarakat pesisir dan pengelolaan kelautan tatkala Presiden Jokowi dengan program utamanya dan sekaligus telah menunjuk Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Tantangan besar dalam Kementerian tersebut adalah berkaitan dengan kemampuan negara untuk memberikan perlindungan hak-hak masyarakat di tengah era persaingan bebas. Selama ini kebijakan pemerintah dinilai berpotensi mendiskriminasi hak-hak dan perlindungan nelayan adat atau tradisional. 
Problem besar berkaitan pula dengan „hak keberatan‟, terutama terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu, juga menjadi persoalan tersendiri. Sementara di sisi lain, kementerian yang baru dituntut untuk lebih memberdayakan masyarakat dan potensi ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan. Berdasarkan sumber Hukum Online, kajian KIARA, terdapat beberapa perubahan yang terindikasi kuat berpotensi melanggar hak nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam UU tersebut.
Pertama, dimasukkannya unsur masyarakat dalam mengusulkan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil yang „disetarakan‟dengan pemerintah dan dunia usaha. KIARA berpandangan revisi tersebut menyalahi Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 dengan melakukan penyetaraan antara masyarakat nelayan tradisional dengan pihak swasta. Termasuk dalam soal keberatan yang mana UU No. 1 Tahun 2014 yang tidak menjelaskan „hak keberatan‟tersebut, bagaimana mekanismenya dan bagaimana keberatan serta jangka waktunya. Kedua, Pasal 21dan 22 Revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, mengecualikan wilayah ruang pesisir dan pulau kecil yang telah dikelola masyarakat adat dari kewajiban memiliki perizinan lokasi dan pengelolaan.Pasal 21 mensyaratkan adanya persyaratan bertingkat. Di satu sisi memberikan keleluasaan kepada masyarakat adat mengelola ruang penghidupannya, namun di lain sisi membenturkannya dengan frasa „mempertimbangkan kepentingan nasional dan peraturan perundangan.

Dia menambahkan, dalam revisi UU tersebut tidak menjelaskan definisi „kepentingan nasional.Bahkan, masyarakat hukum adat diwajibkan mendapatkan pengakuan status hukum dengan berdasarkan ketentuan peraturan perundangan.Pengakuan status hukum masyarakat adat menjadi potensi masalah terkait dengan sifat pasif negara dalam melakukan pengakuan hukum.
Ketiga, diubahnya skema hak menjadi perizinan melalui dua tahap yakni izin lokasi dan pengelolaan berpotensi melanggar hak-hak nelayan tradisional.Skema perizinan dinyatakan tidak memastikan hak persetujuan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya alam pesisir dan pulau kecil. Keempat, munculnya Pasal 26 A yang juga dinilai akan mempermudah penguasaan oleh pihak asing atas pulau-pulau kecil. Pasal itu mengatur pemanfaatan pulau kecil dan perairan di sekitarnya melalui skema investasi penanaman modal dengan dasar izin menteri. Kelima.
kewenangan menteri dipandang terlampau luas dengan kekuasaan menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi. Pasalnya rawan memunculkan praktik tukar guling kawasan konservasi, yang berujung merugikan kepentingan masyarakat setempat, khususnya nelayan tradisional. Sementara di sisi lain, pemaknaan istilah „nelayan tradisional‟ 
di dalam revisi UU Pesisir ini sangat sempit atau terbatas. Menarik atas apa yang dikemukakan Riza Damanik dalam FGD yang diselenggarakan BPHN. Ia menyatakan bahwa saat ini Pelapor khusus hak atas pangan PBB menegaskan soal adanya “Ocean grabbing!”(perampasan hak-hak nelayan atau hak-hak pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan). 
Dalam prakteknya ini sama persis dengan land grabbing, terjadi masif di Asia. Dalam pertemuan yang membahas soal trend the Global Ocean Grab, menyebutkan ada tiga ciri mendasar, yakni: (1) perampasan ruang; (2) identik dengan kerusakan lingkungan, pesisir dan pulau-pulau kecil, pertambangan di area hulu; dan (3) kekerasan.  
Sebagai contoh, adalah Pulau Togean, yang tidak kalah indahnya dengan Wakatobi dan Bunaken. Di pula tersebut terdapat tradisi local yang disebut tradisi Bapongka, yakni tradisi menangkap ikan, dilakukan secara kolektif, berpindah-pindah, mengeliling selama sekitar dua bulan, dan kemudian baru kembali pada titik yang sama. Tradisi tersebut dilakukan secara kolektif, karena keselamatan, gotong royong, kelestarian sumberdaya ikan.Tradisi yang telah berlangsung lama itu tiba-tiba terusik dan bahkan memungkinkan tersingkir karena dikeluarkannya ijin untuk pariwisata setempat.
Dampak dari ijin tersebut adalah pelarangan untuk melanjutkan tradisi Bapongka. Akibatnya, terjadi eksploitasi sumberdaya ikan yang spesifik, dan ini merusak ekosistem mata rantai di sana.
saat ini saja, melainkan telah berlangsung lama sejak masa Orde Baru, dan hingga kini masih saja penyingkiran itu terjadi. Bahkan hal tersebut justru diperparah akibat bekerjanya rejim perijinan laut, yang realitasnya justru dikuasai oleh para pejabat atau penguasa politik berikut pemilik modal.
Sesungguhnya menarik melihat perkembangan politik hukum perlindungan hak-hak masyarakat adat dari sudut pandang perdebatan yang terjadi dalam sidang judicial review Mahkamah Konstitusi. Apakah penyusunan renstra zonasi wilayah laut, berikut pengelolaannya yang demikian, melanggar hak konstitusional mayarakat adat? Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pasal 33 UUD 1945 harus memperhatikan hak individu dan hak masyarakat adat secara kolektif, sehingga pemberian atau praktek pengkaplingan di laut menjadi inskonstitusional.
Dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang demikian, sesungguhnya praktek-praktek pengkaplingan sudah tidak bisa dibenarkan, termasuk HP3. Mahkamah Konstitusi dalam konteks itu mengeluarkan dua terobosan, yakni penegasan makna “sebesar-besar kemakmuran rakyat”yang diukur dari 4 hal: kemanfaatan sumberdaya alam bagi rakyat, tingkat pemerataan sumberdaya alam bagi rakyat, tingkat partisipasi untuk menentukan sumberdaya alam, dan penghormatan hak rakyat.
Kedua, Mahkamah Konstitusi menegaskan cakupan istilah, terkait penggunaan istilah nelayan kecil, yang tidak saja sebagai profesi yang kapasitas produksinya terbats, namun terkait pula makna tradisi kebudayaannya, Bapongka, Menee, Panglima Laut, Sasi, dan lain sebagainya yang ada hubungan erat terkait budaya/tradisi. Dalam konteks itu, konsepsi „nelayan tradisional‟, sekaligus memperkenalkan atau menegaskan hak-hak konstitusionalnya, bagi mereka yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil. Misalnya (1) hak untuk melintas tidak boleh dibatasi melintasi perairan, 
(2) hak untuk mengelola SDA sesuai budaya dan kearifan, 
(3) mereka memiliki hak untuk memanfaatkan, dan 
(4) memanfaatkan hak atas lingkungan yang sehat.
Dalam konteks masalah yang demikianlah harusnya arah sinkronisasi dan harmonisasi mengarah, utamanya untuk acuan untuk penyusunan kebijakan publik sehingga tak senantiasa melahirkan konflik-konfil sumberdaya alam di daerah.
Parahnya, sekalipun hukumnya menyandarkan rujukan konstitusional untuk pengelolaan sumberdaya alam, dalam UndangUndang No. 1 Tahun 2014, sesungguhnya tak berubah secara substansial atau paradigmanya, bahkan tanpa malu menyebutkan posisi asing untuk eksploitasi sumberdaya alam.
Riza Damanik menyatakan, begitu banyak hasil riset, sebagaimana dilakukan 10 riset di bawah kementerian, begitu juga laporan resmi Badan Pemeriksa Keuangan, namun fakta bahwa outputnya tidak pernah dipakai oleh pengambil kebijakan, termasuk dalam pertimbangan urusan perijinan kelautan. Oleh sebabnya, produk riset dan kajian sinkronisasi dan harmonisasi ini harus menggunakan peluang politik, terutama bisa menjadi evaluasi terkait hukum untuk pengelolaan sumberdaya alam, khususnya pesisir dan kelautan.
3. Masyarakat Hukum Adat Dalam Perundang-undangan Bidang Sumber Daya Air. 
Air dalam sejarah kehidupan manusia memiliki posisi sentral dan merupakan jaminan keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi. 
Air yang keberadaannya merupakan amanat dan karunia sang Pencipta untuk dimanfaatkan juga seharusnya dijaga kelestariannya
demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Menyadari arti penting keberadaan air bagi kehidupan dan keberlangsungan kehidupan manusia serta air selamanya menjadi barang publik yang harus dikuasai oleh negara, maka tidak salah bila para pendiri negara merumuskan dan menetapkan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengaturan mengenai air telah dibuat sejak zaman kolonial Belanda melalui Algemeen Waterreglament (AMR) di Tahun 1936 tentang peraturan perairan umum. Pada masa itu pemerintah Belanda tidak membebani masyarakat pengguna air untuk membayar iuran namun hanya ditekankan pada masalah pemeliharaan bersama. 7Pada masa permulaan Republik Indonesia masalah air diatur secara umum dalam Undang-undang Pokok Agraria UUPA.Kemudian pada masa Orde Baru dibuat Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang.
Pengairan.Dalam ketentuan UU tersebut kebijakan pemerintah untuk mendorong dan mengembangkan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air, khususnya sektor sub-irigasi dan penyediaan air bersih. Paska Orde Baru, kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya air diatur dalam UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU Sumber Daya Air) yang merupakan pengganti dari UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Kelahiran Undang-undang tersebut mengatur pengelolaan air secara terpadu, memperhatikan fungsi konservasi, dan menawarkan mekanisme penyelesaian yang adil atas konflik pemanfaatan air. Namun kenyataannya, bila ditelaah lebih mendalam ternyata UU Sumber Daya Air lebih didominasi kepentingan ekonomi, air yang seharusnya memiliki fungsi sosial dan seharusnya dikuasai dan dikelola bersama karena bersangkutan dengan hajat hidup orang, banyak justru dikomersialisasikan karena ada pandangan yang melihat bahwa air merupakan komoditas yang memiliki potensi ekonomi tinggi.
Di dalam UU Sumber daya Air terdapat sejumlah ketentuan mengenai pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan haknya atas sumber daya air, Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa penguasaan sumber daya air oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjangan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini diikuti dengan pengaturan bahwa ulayat masyarakat hukum adat atas sumberdaya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
Ketentuan mengenai pengakuan terhadap ulayat masyarakat hukum adat atas air melalui Pasal 6 ayat (2) dan (3) UU Sumber Daya Air mengikuti pola pengakuan bersyarat sebagaimana telah ditentukan oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. UU Sumber Daya Air menentukan bahwa pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat atas air dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, peraturan perundang-undangan dan pada kenyataannya masih ada. Kemudian pengukuhan terhadap hal itu dilakukan dalam bentuk peraturan daerah. Sementara itu, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak tradisionalnya dilakukan sepanjang keberadaannya masih ada, sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak bertentangan dengan prinsip NKRI. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mendelegasikan bahwa keberadaan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya diatur lebih lanjut dalam undang-undang. UU Sumber Daya Air merupakan salah satu undang-undang yang menjabarkan norma di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Namun UU Sumber Daya Air belum sepenuhnya konsisten menjabarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 karena membuat rumusan persyaratan yang berbeda Dengan ketentuan sebagaimana dikendaki oleh konstitusi.
Persyaratan pengakuan terhadap ulayat masyarakat adat atas air dalam UU Sumber Daya Air mengikuti rumusan persyaratan yang terdapat di dalam UUPA yaitu tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Hal ini menujukan ketidakharmonisan sebab semestinya yang menjadi rujukan dari suatu undang-undang adalah UUD 1945 dan baru kemudian mencari kesesuaian dengan undang-undang yang telah ada.
Sementara itu dalam kaitan dengan bentuk hukum pengakuan atau pengukuhan terhadap hak ulayat masyarakat adat atas air, UU Sumber Daya Air menentukan bahwa hal tersebut ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah. Bentuk hukum pengakuan dalam wujud perturan daerah ini serupa dengan bentuk hukum yang diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengacu kepada Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Tanah Ulayat. Namun di dalam UU Sumber Daya Air masih kurang jelas apakah peraturan daerah yang dimaksud adalah peraturan daerah yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat adat atas air atau termasuk pula mengenai keberadaan masyarakat adat sebagai suatu subjek hukum. Selain itu, penentuan bahwa pengukuhan mengenai hak ulayat masyarakat adat atas air di dalam UU Sumber Daya Air memberikan implikasi pendelegasian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengukuhan terhadap hak ulayat masyarakat adat atas air.
Dalam pengaturan yang lebih umum, UU Sumber Daya Air mengatur mengenai hak masyarakat dalam penggunaan sumber daya air sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU Sumber Daya Air yang menentukan bahwa hak guna pakai air diperoleh tanpa izin.
untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi. Pertanian rakyat dimaksud berdasarkan penjelasan Pasal 8 ayat (1) adalah budidaya pertanian yang meliputi berbagai komoditi, yaitu pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan, perkebunan, dan kehutanan yang dikelola oleh rakyat dengan luas tertentu yang kebutuhan airnya tidak lebih dari 2 liter per detik per kepala keluarga. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi, institusi pengelola irigasi dan sumberdaya manusia. Selain untuk kebutuhan irigasi, masyarakat Indonesia juga mempergunakan sumber daya air untuk keperluan pertaniannya. Pola pertanian Indonesia terdiri dari banyak pola sesuai dengan kondisi dan kebiasaan masyarakat setempat dan telah diikuti secara turun menurun. Pola pertanian di Indonesia masih menganut pola pertanian tradisional, seperti pola pertanian dengan gilir-balik atau terkadang disebut sebagai ladang berpindah. 
Seluruh usaha pertanian rakyat tentu saja memerlukan air untuk memproduksi hasil pertanian dan demikian juga halnya dengan pola pertanian ladang berpindah. Seluruh petani yang mengusahakan pertanian rakyat adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang harus mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum yang dalam UU Sumber Daya Air sesuai dengan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Ayat (1). “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, dan Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa:”setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. 
Namun jikamelihat ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Sumber Daya Ari yang menyebutkan bahwa hak guna pakai air memerlukan izin apabila digunakan untuk pertanian rakyat diluar sistem irigasi yang sudah ada, hal menyebabkan adanya pengelompokan di dalam pertanian rakyat, yaitu pertanian rakyat yang berada didalam sistem irigasi dan yang diluar sistem irigasi. Implikasinya hanya petani yang berada di dalam sistem irigasi yang berhak untuk memanfaatkan air tanpa izin sedangkan petani termasuk pertanian ladang berpindah yang berada di luar sistem irigasi untuk mendapatkan air harus memperoleh izin terlebih dahulu, hal ini merupakan bentuk diskriminasi adanya pembatasan dan pembedaan perlakuan terhadap pertanian rakyat.Padahal seluruh usaha pertanian rakyat memerlukan air untuk memproduksi hasil pertanian dan demikian juga halnya dengan pola pertanian ladang berpindah. Dengan demikian, pertanian rakyat yang berada diluar sistem irigasi mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan petani yang berada didalam sistem irigasi sehingga hak konstitusinya telah terlanggar sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Dari ketentuan Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 39 UU No. 7 Tahun 2004, bila mengacu pada penafsiran ketentuan pasal 11 dan pasal 12 dari Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) pada tahun 2002 Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the Committee on Economic, Social and Cultural Rights) dalam Komentar Umum (General Comment) No. 15, secara tegas memberikan penafsiran bahwa hak atas air adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Disebutkan bahwa air tidak saja dibutuhkan untuk minum tetapi juga bagian yang tak terpisahkan dari proses pengolahan makanan, atau penciptaan kondisi perumahan yang sehat dan kebutuhan manusia lainnya akan kehidupan. Lebih jauh bahkan ditegaskan bahwa komite tersebut memberikan kewajiban bagi negara untuk menjamin adanya hak atas air bagi setiap warga negaranya.  
Terkandung dalam pengertian hak atas air adalah penyediaan air bagi rakyat dengan memperhatikan 
(1) Availability (ketersediaan): penyediaan sumur-sumur umum adalah bagian dari kewajiban pemerintah akan penyediaan air bagi kebutuhan minimal setiap warganya; 
(2) Quality (kualitas): tidak hanya jumlahnya namun kualitas air yang diberikan haruslah memenuhi standar yang tidak membahayakan kesehatan; dan 
(3) Accessibility (aksesibilitas); termasuk dalam kriteria ini adalah affordability (keterjangkauan) dari masyarakat untuk mendapatkan air.
Dengan demikian jelas bahwa air merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat tergantikan oleh apapun dan air juga merupakan hak asasi manusia yang paling utama karena tanpa hak atas air (the right to water) maka hak asasi manusia lainnya tidak dapat terpenuhi. Selain itu tanggung jawab negara untuk menyediakan air bagi warganya merupakan salah satu manifestasi dari kontrak sosial antara negara dan warga negara. Oleh karenanya negara wajib menjamin terpenuhinya hak atas air bagi masyarakatnya, sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (2) bahwa cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara yang berdasarkan pada konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan.
”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih lanjut penguasaan negara atas air sebagai bagian dari kebutuhan yang paling mendasar dan hak asasi manusia semakin dipertegas dalam UUD 1945 seperti dalam Pasal 28A yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, Pasal 28C Ayat
(1) bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, Pasal 28D Ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pasal 28I ayat (4) yang menyatakan bahwa ”perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah”. 
8 Dari hal tersebut diatas, bila mencermati rumusan pasal 33 ayat (2) dengan menggunakan perspektif berbasis hak maka penguasaan hak atas air berada di tangan negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain negaralah yang memiliki kewenangan terhadap hak atas air dan kemudian merencanakan bagaimana pemenuhan hak atas air sebagai sebagai kewajiban negara terhadap warga negaranya. Batasan dari pengelolaan oleh negara terhadap hak atas air ini adalah adanya larangan untuk menyerahkan pengelolaan air tersebut ke dalam tangan orangperseorangan. Maka prinsip pertama pendekatan berbasis hak atas air di Indonesia adalah penguasaan oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada orang perseorangan, pemberian hak guna dalam pengelolaan sumberdaya air secara nyata akan menghilangkan penguasaan negara (negara mengadakan fungsi kebijakan dan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat) terhadap sumberdaya air.  
Makna dikuasai oleh negara tidak hanya sekedar kepemilikan tetapi lebih jauh dari itu dimana negara juga harus mengatur. Dengan hak guna air negara akan kehilangan bukan hanya kepemilikan tetapi juga fungsi pengaturan, karena ketika hak guna tersebut diberikan kepada orang perorang atau badan usaha swasta maka pengelolaan sumberdaya air menjadi milik pemegang hak guna. Dan apabila terjadi kondisi dimana dalam mengelola sumberdaya air tersebut pemilik hak guna tersebut merugikan masyarakat maka itu bisa dicabut melalui proses pengadilan. Implikasi lainnya dengan kewenangan penuh untuk mengelola hak guna maka kemungkinan terjadinya konflik antara pemegang hak guna dengan masyarakat menjadi tinggi.
Kebijakan yang mendasar dalam penyelelenggaraan pengelolaan sumber daya air berdasarkan UU No. 7 Tahun 2014 diatur dalam sejumlah ketentuan. Pasal 7 Ayat (1) menyatakan bahwa Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Sementara itu Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya. Dan Pasal 1 angka 15 menjelaskan yang dimaksud hak guna usaha adalah “Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.
5. Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa “Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Pasal 11 ayat (3) penyebutkan bahwa “Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya. 
• Pasal 40 ayat (4) menyatakan bahwa Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum”. Pasal 49 ayat (1) menyatakan bahwa pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan, kecuali apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 2.

Telah dapat terpenuhi. Sementara itu Pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai. Pasal 49 ayat (4) menyatakan bahwa pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib mendapat izin dari Pemerintah berdasarkan rekomendasi dari pemerintah daerah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
Dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal-pasal tersebut diatas, secara tegas disebutkan bahwa peran swasta dapat penyelenggaraan penyediaan akan air bagi masyarakat, namun jika dikaitkan dengan fungsi negara sebagai pelayan publik sudah menjadi tangungjawab negara dalam penyediaan air bagi masyarakat sebagaimana diamanat dalam Pasal 33 UUD NRI 1945. Jika dalam penyediaan air diserahkan kepada pihak swasta, maka penguasaan negara atas air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat akan hilang, dan beralih fungsi air dari publik menjadi privat. Dengan perpindahannya tanggungjawab penyediaan air, permasalahannya selanjutnya adalah adanya perpindahan alokasi penggunaan air.
Pengalihan tanggung jawab untuk menjamin akses masyarakat terhadap air terutama air bersih dari pemerintah kepada sektor swasta, menyebabkan munculnya praktek komodifikasi dan komersialisasi air. Dalam perspektif etika lingkungan, memberlakukan air sebagai komoditi dan kemudian meperdagangkannya merupakan sebuah pelanggaran (Widianarko, 2003). Privatisasi, pengusahaan atau apapun namanya- menyiratkan pemberian harga (pricing) pada air. Padahal semestinya air memiliki fungsi sosial karena setiap manusia terikat secara azasi dengan atas sumber air. Bila air diposisikan sebagai komoditas ekonomi maka ruang untuk mendapatkan air tersebut menjadi timpang dan tidak fair karena kemampuan ekonomi setiap individu atau kelompok masyarakat berbeda-beda.
Dari penjabaran tersebut nampaklah jelas kebijakan peran swasta dalam penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat bertentangan dengan pasal 33 yang berkaitan dengan prinsip perekonomian Indonesia yang disusun atas dasar asas kekeluargaan untuk mensejahterakan rakyat banyak, yang bertumpa pada sistem ekonomi Indonesia yang berdasarkan Pancasila yaitu “Koperasi yang menciptakan masyarakat kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang asli-gotong royong dan musyawarah, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan kehendak zaman” 9 Berdasarkan penjabaran tentang pengelolaan sumberdaya air sebagaimana dijabarkan diatas, terdapat persoalan yang mendasar dari Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dengan UUD 1945, yaitu yang semula keberadaan air bagi kehidupan dan keberlangsungan kehidupan manusia serta air selamanya menjadi barang publik yang harus dikuasai oleh negara, menjadi air dipandang sebagai barang ekonomi dengan diperkenalkannya hak guna air yang terdiri dari hak guna pakai dan hak guna usaha dang pennyelenggaraannya oleh swasta. 
Implikasi dari konsep pengelolaan sumber daya air berdasarkan UU No. 7 Tahun 2004 adalah bahwa setiap orang kalau mau memakai hak harus minta izin, mohon. Tapi kalau dia tidak memohon maka dia tidak dapat hak sama sekali. Itu, kalau soal izin penngelolaan air maka yang melakukan adalah para pengusaha, yang akan minta izin sedangkan masyarakat tidak minta izin, tapi mohon haknya 10, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 pada butir 14 yang menyebutkan.
“”Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air”, dan dapat dikatakan memakai air tampa harus bayar.

TOPIK MINGGU

KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN

SURAT KEPUTUSAN : Nomor : SK/42/DEPIDER/BK/VI/2016. TENTANG KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN.  "MAJU TERUS PANTANG MUND...