Selasa, 12 Mei 2020

RENUNGAN BULAN MEI CATATAN REFORMASI 1998 DALAM PERSPEKTIF ILMU PEMERINTAHAN

TRIBUNUSBANYUASIN.COM - Pada tulisan Bagian Pertama, telah disebutkan bahwa ada enam (6) Agenda / Tuntutan Reformasi yaitu:

– Adili Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya
– Laksanakan Amandemen UUD 1945
– Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
– Laksanakan Otonomi Daerah Yang Seluas-luasnya
– Tegakkan Supremasi Hukum
– Ciptakan Pemerintahan Yang Bersih dari KKN
Salah satu diantara keenam tuntutan yang paling menarik adalah adanya tuntutan untuk melaksanakan Otonomi Daerah Yang Seluas-luasnya.

Mengapa tuntutan “Laksanakan Otonomi Daerah Yang Seluas-luas”nya ini terjadi. Siti Zuhro (Peneliti LIPI) pernah menganalisa dan menyampaikan bahwa Presiden Soeharto dengan background tentaranya, pada masa kekuasaannya memandang untuk membangun Indonesia yang benar-benar solid, stabil secara politik, keamanan maka pendekatan stabilitas politik itu dinomorsatukan. Oleh karena itu dahulu dikenal Trilogi Pembangunan yaitu: Stabilitas Politik dan Keamanan, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Kesejahteraan. Yang dalam prakteknya Stabilitas Politik dan Keamanan yang ditonjolkan.

Dengan kebijakan seperti itu tentunya ada konsekuensi atau resiko nya karena kekuasaan menjadi hanya berkutat di tiga titik sentra saja yaitu presiden, birokrasi dan ABRI.

Sentralisasi yang sangat kuat di pusat akhirnya berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah. Daerah tidak dibekali dengan kewenangan dan uang yang cukup, semua dipusatkan di Jakarta. Akibatnya adalah selama menghadapi masa krisis ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar dan daerah tidak mampu berbuat apa-apa.

Hal inilah yang memunculkan asumsi bahwa hanya ada satu jawaban untuk mengatasi persoalan sentralisasi kekuasaan yang telah lama mengekang daerah yaitu dengan otonomi daerah, pengalihan kewenangan ke daerah. Kebetulan anggapan ini memiliki justifikasi historis berdasarkan paradigma bahwa pada hakikatnya daerah-daerah itu secara faktual sudah ada sebelum Republik Indonesia berdiri.

Perasaan ketidakpuasan, ketidakadilan dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya sudah mengalami puncaknya. Daerah tersebut merasa dibohongi oleh pemerintah pusat yang dianggap tidak berniat memberdayakan daerah. Sentralisasi hanya menguntungkan sebagian kecil elit-elit daerah yang bisa diajak kerja sama oleh oknum-oknum pusat. Tuntutan desentralisasi ini sangat keras disuarakan oleh daerah-daerah, khususnya yang kaya sumber daya alam, antara lain Riau, Kalimantan, Aceh, dan Papua, karena bila dirunut kebijakan sentralisasi ini tak lepas dari gurita Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dari pusat ke daerah-daerah, dimana pengusaha kroni-kroni Soeharto diduga memiliki kepentingan dalam mengeksploitasi sumber daya alam di daerah-daerah sehingga daerah merasa tidak diperlakukan adil.

Sejarah reformasi mencatat setelah Presiden Soeharto tumbang, maka dalam rangka memenuhi tuntutan reformasi, Presiden BJ Habibie mengakomodasi tuntutan-tuntutan daerah tersebut dengan membentuk tim tujuh untuk merumuskan konsep Otonomi Daerah. Ketujuh orang tokoh yang duduk dalam Tim Tujuh ini adalah adalah Ryas Rasyid, Rapiudin Hamarung, Andi Malarangeng, Affan Ghafar, Djohermansyah Djohan, Ramlan Surbakti, dan Luthfi Mutty

Justifikasi Sejarah Desentralisasi
Suparto Wijoyo (dalam Suparto Wijoyo, 2005; 2-7) melakukan penelusuran sejarah tentang Desentralisasi di Indonesia Menemukan catatan bahwa pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin menyampaikan rancangan UUD untuk dipelajari BPUPKI. Dalam rancangan itu Yamin mengatakan: “negeri, desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibarui dengan jalan rasionalisme dan pembaruan zaman, dijadikan kaki susunan Negara sebagai bentuk bawahan… Antara bagian tengan sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Urusan Dalam…”

Selanjutnya pada tanggal 11 Juli 1945 berlangsung sidang kedua BPUPKI, M Yamin menegaskan konsepsinya tentang Pemerintahan Daerah:

….Pemerintah dalam Republik Indonesia pertama-tama akan tersusun dari badan-badan masyarakat seperti desa, yaitu susunan pemerintah yang paling bawah. Pemerintah ini saya namai pemerintah bawahan.

Dan Pemerintah Pusat akan terbentuk di kota Negara, ibu kota Negara Republik Indonesia. Itu saya namai pemerintah atasan. Antara pemerintah atasan dan pemerintah tengahan…. Desa, negeri-negeri, marga-marga dan lainnya tetaplah menjadi kaku pemerintah Republik Indonesia. Dan di tengah-tengah pemerintah atasan dan pemerintah bawahan, kita pusatkan pemerintah daerah…..

Konsep Yamin ini dikenal dengan “peta tri hierarkis”.

Pendiri Republik Indonesia yang lain: Soepomo sebelumnya (pada tanggal 5 Juli 1945) menyatakan tentang Pemerintah Daerah: “Tentang daerah, kita telah menyetujui bentuk persatuan, unie; oleh karena itu di bawah pemerintahan pusat, di bawah Negara tidak ada Negara lagi. Tidak ada ondestaat, akan tetapi hanya daerah-daerah, ditetapkan dalam Undang-undang”

Sesaat sebelum UUD 1945 disahkan, Soepomo memberikan tambahan penjelasan:

Di bawah Pemerintahan Pusat ada Pemerintahan Daerah: Tentang Pemerintahan Daerah, di sini hanya ada satu pasal, yang berbunyi “Pemerintahan Daerah disusun dalam undang-undang”. Hanya saja dasar-dasar yang telah dipakai untuk Negara itu juga harus dipakai untuk Pemerintahan Daerah, artinya Pemerintahan Daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan lain perkataan harus ada Dewan Perwakilan Rakyat. Dan dihormati. Kooti-kooti, Sultanat-sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi keadaannya sebagai daerah, bukan Negara; jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah, “zelfbesturende landschappen” itu bukan Negara, sebab hanya ada satu Negara. Jadi “zelfbesturende landschappen” hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah istimewa itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli. Begitu pula adanya “zelfstandige gemeenschappen”seperti desa (di Jawa), nigari (di Minangkabau), marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut “inheemsche Rechtgemeenshappen”.

Kemudian ketika UUD 1945 disahkan dalam Penjelasan Pasal 18 (sebelum amandemen) dijelaskan:

Oleh karena Negara Indonesia itu “eenheidstaat” maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.

Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh arena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa paradigma Pemerintahan Pusat, Daerah hingga Desa yang dibangun para pendiri Negara adalah pemerintahan Negara kesatuan yang mengakui, menghormati dan menghargai sistem sosiologi dan kultural yang sudah terbangun di masyarakat sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan. Pengakuan “Sosio Kultural” ini mereduksi pengakuan “kekuasaan politik” karena tidak boleh ada “ondestaat” di dalam “Staat”.          

Era Orde Lama adalah era “bongkar pasang” konstitusi untuk menemukan jati diri Indonesia. UUD 1945 yang menjadi sumber hukum formal tertinggi di negeri ini, pernah digantikan oleh Konstitusi RIS, kemudian oleh UUDS 1950 dan akhirnya dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali lagi ke UUD 1945.

Dinamika Desentralisasi Era Orde Lama

Pada era orde lama ini ada beberapa produk hukum yang sangat penting yang diterbitkan berkenaan dengan desentralisasi yaitu Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 tentang Penetapan Aturan- aturan Pokok Mengenai Pemerintah Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri; Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah; Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Ditambah lagi Undang-undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Indonesia Timur.

Setiap undang-undang dan penetapan presiden di atas mengalami dinamikanya masing-masing sejalan dengan keberlakuan Undang-undang Dasarnya masing-masing. Sistem yang dianut oleh undang-undang yang merupakan turunan dari Undang-undang Dasar 1950 kebetulan sama dengan yang dianut oleh UUD 1945 yaitu menganut pembagian daerah berdasarkan ukuran besar dan kecilnya daerah (seize approach) dan tingkatan daerah (level and hierarchical approach) dengan ciri dasar permusyawaratan / perwakilan di setiap tingkatan pemerintahan, sedangkan undang-undang yang merupakan turunan dari Konstitusi RIS “ruh”nya adalah federasi / Negara bagian, bukan desentralisasi / otonomi.  

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 lahir pada era euphoria (liberalisme) politik bebas dari penjajahan. Perumus undang-undang ini ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia sebagai Negara baru adalah sebuah Negara demokrasi bukan Negara otokrasi apalagi Negara fasis yang dimusuhi dunia pada saat Perang Dunia II, implikasinya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam undang-undang ini menjadi sangat dominan sebagai “kaki tangan” dari kepentingan partai-partai politik saat itu. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan DPD (Dewan Pemerintahan Daerah). Pemerintahan Daerah dijalankan secara kolektif kolegial oleh DPD yang dipimpin oleh Kepala Daerah sebagai Ketua DPD dan anggota DPD yang dipilih oleh dan dari anggota DPRD.  

Mempelajari sistem yang dibangun oleh UU No. 22 Tahun 1948 ini menjadi menarik bila dibandingkan dengan model sebagaimana ditulis oleh Meier, Kenneth J & Laurence O’Toole Jr (Meier et al, 2006), Bureaucracy in Democratic State, khususnya ketika membahas soal “Representative Bureaucracy”dimana keterwakilan berbagai kelompok sosio kultural dalam masyarakat dianggap penting dalam mengurus pemerintahan.

Penekanan pada keharusan adanya keterwakilan ini membuat sistem pemerintahan dan birokrasinya menjadi gemuk dan berjenjang-jenjang. Akibatnya praktek pemerintahan berjalan lambat dan tidak efektif. Meskipun demikian semua itu disadari karena semua pihak sedang tenggelam pada euphoria kebebasan politik dari bangsa yang baru merdeka pada satu sisi, serta ancaman penjajah akan kembali menguasai Indonesia pada sisi yang lain.  

Pemberlakuan sistem desentralisasi oleh undang-undang ini pada kenyataannya dikalahkan oleh gejolak-gejolak sosial di daerah-daerah yang menghendaki perubahan-perubahan revolusioner dalam sistem sosial untuk penguasaan lahan dan sumber daya alam yang lebih adil bagi lapisan bawah, mereka para penggerak revolusi sosial ini terlanjur antipasti dengan sistem aristokrasi pemerintahan daerah sehingga tidak percaya dengan konsep desentralisasi (otonomi) serta “medebewind”yang ditawarkan oleh undang-undang ini bisa membawa kesejahteraan rakyat, akibatnya di daerah-daerah diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah pusat, antara lain PKI Muso di Madiun, serta DI /TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan yang intinya tidak ingin mengikuti kebijakan Pemerintah, termasuk kebijakan tentang desentralisasi ini.            

Pengalaman Indonesia di awal kemerdekaan itu barangkali sama dengan apa yang ditulis Ebenstein dan kawan-kawan dalam buku American Democracy in World Perspective (Ebenstein, Pritchett, Turner and Mann, 1970: 427 – 429) membandingkan bagaimana birokrat di Perancis dengan birokrat di Amerika Serikat. “The French administrative structure developed from the royal household, but was adapted to the purposes of the modern nation-state with the overthrow of the monarchical system. The civil service was already powerful and relatively professional; only its master had changed”, sementara untuk Amerika Serikat “Far from being a social, economic, or political elite, the American bureaucracy reflects the American public. Its personnel are recruited nationwide and from all classes of the population”. Dalam sejarahnya birokrasi Amerika Serikat pernah menjadi birokrasi yang sangat gemuk, lamban dan dianggap sangat boros / tidak efisien dan tidak produktif, barangkali seperti itulah yang dialami oleh Dewan Pemerintahan Daerah dan DPRD pada saat itu yang isinya bukanlah orang-orang profesional dalam soal pemerintahan, namun diberi kewenangan memerintah.  

Sadu Wasistiono dan Petrus Polyando menyebutkan bahwa dilihat dari semangat para penyusunnya UU No. 22 Tahun 1948 ini “lebih mengedepankan dimensi politik daripada dimensi manajemen pemerintahan dan juga dimensi kemampuan keuangan Negara” (Sadu Wasistiono dan Petrus Polyando 2017: 90)

Selepas dari UU No. 22 Tahun 1948 Indonesia masuk ke era Undang-undang Dasar Sementara 1950, setelah sebelumnya sempat memberlakukan Konstitusi RIS sebagai “trade off”dengan pengakuan kedaulatan oleh Belanda. Bila Konstitusi RIS jelas-jelas mengadakan Negara dalam Negara (karena sistem Federal), maka UUDS 1950 mengembalikan semangat dan kerangka politik hukum ke Negara Kesatuan.

Pada era Konstitusi RIS yang berlangsung hanya satu tahun, terbitlah Undang-undang Nomor 44 Tahun 1950.

Setelah memasuki era Undang-undang Dasar Sementara 1950, lahirlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957. Masih sama dengan undang-undang No. 22 Tahun 1948, undang-undang ini menganut sistem pemerintahan berjenjang, sehingga birokrasinya tetap gemuk dan boros, apalagi banyak mengadopsi kepentingan-kepentingan politik yang dinamika dan konfliknya sangat tajam saat itu. Pada era itu investasi asing sangat sulit masuk, perizinan prosesnya berbelit-belit, sehingga pembangunan ekonomi menjadi stagnan. Pada era ini dikenal istilah daerah “Swatantra” (artinya sama dengan daerah otonom) yang dibagi menjadi tiga (3) level yaitu Daerah Swatantra Tingkat I (ada di daerah Khusus dan daerah istimewa), Daerah Swatantra Tingkat II (daerah Swapraja, daerah Kerajaan / Kesultanan) dan Daerah Swatantra Tingkat III (entitas lainnya seperti volksgemeenschappen). Satu lagi yang sama dengan UU No. 22 Tahun 1948, Undang-undang ini tepat menganut sistem Legislatif Dominance. Undang-undang No. 1 Tahun 1957 merupakan Undang-undang hasil dari DPR yang dipilih Pemilu Pertama kali di Indonesia yang dianggap sebagai pemilu paling bersih dalam sejarah Indonesia, jauh dari money politics maupun intimidasi. Undang-undang ini tidak membuat rincian urusan apa saya yang diurus pusat dan daerah. Keuntungannya pelaksanaan urusan tertentu menjadi lebih fleksibel, namun di sisi lain kelemahannya ada urusan tertentu yang pusat dan daerah sama-sama tidak mau mengurus padahal prinsip penyelenggaraan pemerintahan itu “Tidak boleh ada kekosongan pemerintahan”

Belum lama undang-undang ini berlaku, terbitlah keputusan politik kenegaraan yang “extra ordinary” yaitu Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sehingga lahirlah Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959. Penetapan Presiden ini mengandung beberapa point penting antara lain: 1. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD (tidak lagi Legislative Dominance, tetapi sejajar). 2. Pemerintahan Daerah tidak lagi dijalankan dengan mekanisme Kolektif-Kolegial bersama Dewan Pemerintahan Daerah, tetapi oleh Kepala Daerah dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH). 3. Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat Berwenang (Pemerintah Pusat), tidak lagi oleh DPRD. Era Pasca Dekrit Presiden adalah era keluar dari model demokrasi liberal.  Oleh beberapa kalangan pendukung demokrasi liberal Politik Hukum pada era ini disebut sebagai kemunduran konsep desentralisasi (otonomi).

Dalam pandangan ilmu politik maka mempelajari Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 ini lebih mudah didekati secara Political Science ketimbang Political Sociology (Reinhard Bendix dan Seymour Lipset dalam Power Participation and Ideology oleh Calvin J. Larson and Philo C. Wasburn, 1969: ix):

Like political science, political sociology is concerned with the distribution and exercise of power in society. Unlike political science, it is not concerned with the institutional provisions for that distribution and exercise, but takes them as given. Thus political science starts with the state and examines how it affects society, while political sociology starts with society and examines how it affects and exercise of power          

Sedangkan Undang-undang No. 22 Tahun 1948 dan Undang-undang No. 1 Tahun 1957 adalah sebaliknya.

Presiden Soekarno yang sangat paham dengan sistem politik dan ketatanegaraan tentunya tidak nyaman mengatur pemerintahan hanya dengan Penetapan Presiden, maka dari itu setelah lebih dari 5 (lima) tahun sejak mengeluarkan Dekrit diterbitkanlah Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah di era Demokrasi Terpimpin yang tujuannya untuk membuat kestabilan politik akibat dari gejolak berkepanjangan akibat penerapan demokrasi liberal. Sama halnya dengan model pemerintahan di pusat, di daerah pun diharapkan Kepala Daerah menjadi “sesepuh” (panutan). Barangkali saja Presiden Soekarno mengartikan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan” di tingkat daerah personifikasikan pada Kepemimpinan yang bijak oleh sesepuh yang memiliki kewibawaan tinggi, mencerminkan amanat penderitaan rakyat, revolusioner dan mendapatkan kepercayaan dari Pemerintah Pusat.  “The Leader is always the nucleus or a tendency, and on the other hand, all social movement, closely examined will be found to consist of tendencies having such nuclei” dan sekaligus “leadership as a combination of traits which enables an individual to induce other accomplish a given task” (Cooley dan Ordway Tead dalam Pamudji, 1995: 9 – 11) adalah gambaran yang tepat untuk mengartikan konsep tersebut.

Sebelum Orde Lama berakhir, masih sempat terbit Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Undang-undang ini merupakan upaya untuk mengakui lembaga masyarakat tingkat Desa menjadi daerah otonom. Sebagaimana di atas telah disebutkan bahwa saat menyusun UUD 1945 di BPUPKI telah digariskan oleh pendiri-pendiri republik ini bahwa Negara Republik Indonesia bertekad mengakui, menghargai, menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat secara sosiologis dan kultural, yang oleh Talcott Parson (dalam Setya Yuwana Sudikan, 2001: 7) “masyarakat adalah suatu sistem sosial yang swasembada (self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya”. Kemudian dilengkapi oleh Edward Shils dalam literature yang sama yang “menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan sendiri (self sufficiency) yang dibaginya ke dalam tiga komponen yaitu: pengaturan sendiri, reproduksi sendiri dan penciptaan diri (self regulation, self-reproduction, self-generation)” sebagai ciri masyarakat pedesaan yang otonom.

Sayangnya undang-undang ini tidak sempat berlaku efektif karena beberapa saat setelah diundangkan terjadi peristiwa politik G 30 S PKI yang di kemudian hari menghapus semua sistem desentralisasi yang diimunisasi dan dijadikan pergulatan pemikiran, perdebatan konsep hingga pergerakan politik untuk memperjuangkan “hak-hak otonomi / kewenangan daerah” pada era orde lama, karena digantikan model sentralisasi pemerintahan model orde baru.

Pemerintahan memang bukan hanya soal administrasi / manajemen pemerintahan ataupun soal hukum tentang pembagian kewenangan, karena pemerintahan tetap merupakan peristiwa yang tidak lepas dari kekuasaan (tidak bisa dipisahkan dari politik).

Pemerintah Orde Baru yang selalu mengklaim sebagai Pemerintahan yang menjalankan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 paling murni dan konsekuen, ternyata tidaklah demikian adanya. Kebijakan sentralistisnya dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 membuktikan bahwa Orde Baru tidak berniat menjalankan Desentralisasi, sehingga muncullah isu ini menjadi salah satu dari tuntutan reformasi.

Desentralisasi di Era Reformasi

Saat ini di era reformasi, desentralisasi telah memiliki dasar hukum dengan berbagai koreksinya antara lain:

• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 Ayat 1 – 7, Pasal 18A ayat 1 dan 2, Pasal 18B ayat 1 dan 2.
• Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
• Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
• UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
• UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
• UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
• UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Revisi UU No.32 Tahun 2004)
Otonomi daerah telah dinormalkan untuk melahirkan semangat kemandirian dari kungkungan pemerintah pusat yang sentralistis. Otonomi daerah juga telah menghasilkan proses suksesi kepemimpinan yang dipilih secara langsung di daerah, padahal sebelumnya sangat ditentukan oleh Pusat (baca Soeharto).

Reformasi Indonesia telah bergerak maju dan telah menunjukkan konsistensi historis dan filosofinya sesuai cita-cita kemerdekaan, sehingga tidak mungkin untuk diputar lagi ke belakang, namun demikian Pemahaman tentang Desentralisasi / Otonomi Daerah pernah dianggap keluar dari konteks Pemerintahan Negara Republik Indonesia (NKRI) secara utuh(kebablasan). PBB (United nation) yang dikutip oleh Kertapraja (dalam Sadu Wasistiono, 2017: 19) menyatakan bahwa “Decentralization refers to the transfer of authority away from national capital whether by deconcentration (i.e. delegation) to field offices or by devolution to local authorities or local bodies”. Turner dan Hulme (masih dalam buku yang sama) menambahkan dengan menyatakan “decentralization is a transfer of authority to perform some service to the public from an individual or an agency in central government to some other individual or agency which is closer to the public to be served”.

Dengan mempelajari dinamika desentralisasi dari Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi maka gagasan-gagasan pengembangan desentralisasi ke depan memang selayaknya tidak hanya terpaku pada persoalan pemberian kewenangan (legitimasi) kepada daerah, tetapi lebih pada bagaimana mendekatkan kewenangan publik kepada warga negara dalam rangka Good Governance untuk mencapai kebahagian warga Negara sebagaimana menjadi cita-cita konstitusi Undang-undang Dasar 1945, karena memang seperti itulah tujuan Republik Indonesia ini dibentuk.

Perjuangan reformasi Mei 1998 telah mengingatkan kita semua,  ketika kita sempat lama terlena…..

Bersambung……
Penulis : Didik Sasono Setyadi
Editor : Roni Paslah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TOPIK MINGGU

KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN

SURAT KEPUTUSAN : Nomor : SK/42/DEPIDER/BK/VI/2016. TENTANG KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN.  "MAJU TERUS PANTANG MUND...