TRIBUNUS.CO.ID - Salah satu persoalan terbesar yang mengganggu penyelenggaraan negara ini adalah lemahnya koordinasi oleh pemerintah. Kalau koordinasi itu berjalan baik, maka Paket Kebijakan Ekonomi ke-16 tak perlu ditunda pelaksanaannya.
Seperti diketahui, Pemerintah melalui Menko Perekonomian Darmin Nasution memutuskan untuk menunda pelaksanaan pelonggaran investasi asing 100 persen yang masuk dalam Paket Kebijakan Ekonomi ke-16, karena mendapat banyak penentangan dari berbagai kalangan. Dari kalangan pengusaha, KADIN dan HIPMI menyuarakan keberatan terhadap pelaksanaan paket tersebut.
Dari kalangan politisi, bahkan partai pendukung pemerintah Presiden Joko Widodo sendiri, juga mendesak agar kebijakan tersebut dibatalkan. Menurut para usahawan ini, dimungkinkannya penanaman modal asing sampai 100 persen dan tanpa kemitraan dengan pengusaha dalam negeri, bisa mematikan usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, kebijakan tersebut bertentangan dengan produktivitas pengusaha kecil yang selama ini menopang perekonomian nasional. “Saya menghimbau menteri perekonomian untuk meninjau kembali kebijakan itu. Saya pribadi mendorong pemerintah untuk membatalkannya,” ujar Bambang.
Kebijakan ini mengatur tentang perluasan penerima fasilitas tax holiday, relaksasi aturan Daftar Negatif Investasi (DNI), dan pengaturan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA). Bagian yang paling mendapat penentangan adalah soal relaksasi DNI itu. Sebab pemerintah mengeluarkan 54 bidang usaha dari DNI dan di dalamnya pada 25 bidang usaha, dibuka kesempatan bagi investor asing untuk memiliki saham hingga 100 persen.
Dengan melonggarkan batasan bidang usaha untuk investasi asing, pemerintah berharap dapat mendorong penanaman modal dalam negeri maupun asing. Dengan demikian, bisa menekan defisit transaksi berjalan yang belum pulih. Pemerintah pun harus mengambil kebijakan menekan defisit dengan memanfaatkan arus modal masuk ke Indonesia. “Kalau tidak masuk modal jangka pendek, tidak ada yang akan mengimbangi defisitnya itu,” kata Darmin Nasution.
Intinya adalah negara sedang kekurangan uang. Makin melebarnya defisit transaksi berjalan membuat nilai rupiah semakin terperosok. Hal itu jelas kian membuat Indonesia tertatih-tatih membayar utang luar negeri dan membeli barang-barang impor.
Keadaan itu memang harus diatasi pemerintah. Mendatangkan investasi asing adalah salah satu cara. Tetapi jika kebijakan itu berbahaya bagi usaha dalam negeri, jelas bahwa ini kebijakan yang tidak layak diterapkan.
Kalangan pengusaha mengeluhkan mereka tidak diajak berunding soal kebijakan yang akan mengatur kehidupan mereka sendiri. Itu sebabnya kita mengatakan bahwa koordinasi pemerintah dalam hal ini buruk.
Jika memang DNI hendak dilonggarkan, atau persentase modal asing hendak ditingkatkan, semestinya pemerintah melibatkan para pelaku usaha dalam menentukan kebijakan. Sebab, merekalah yang bergelut dengan berbagai permasalahan itu setiap hari.
Sebab, kebijakan pemerintah mutlak hukumnya harus partisipatif. Partisipatif itu tidak hanya sekedar mendengar aspirasi masyarakat, tetapi menjadikan aspirasi itu sebagai dasar pengambilan keputusan. Para pengusaha yang pasti sangat paham kondisi dunia usaha harus dimintai pendapat agar kebijakan pemerintah berkesesuaian dengan kondisi ekonomi dalam arti luas. Ini untuk menghindari risiko-risiko penerapan kebijakan, sekaligus memaksimalkan pencapaian target.
Penundaan pelaksanaan kebijakan ini sebetulnya mencoreng muka pemerintah sendiri. Sebab itu menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak dirancang dengan matang dan komprehensif-integralistik yang berlandaskan kepentingan semua pihak.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, kebijakan tersebut bertentangan dengan produktivitas pengusaha kecil yang selama ini menopang perekonomian nasional. “Saya menghimbau menteri perekonomian untuk meninjau kembali kebijakan itu. Saya pribadi mendorong pemerintah untuk membatalkannya,” ujar Bambang.
Kebijakan ini mengatur tentang perluasan penerima fasilitas tax holiday, relaksasi aturan Daftar Negatif Investasi (DNI), dan pengaturan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA). Bagian yang paling mendapat penentangan adalah soal relaksasi DNI itu. Sebab pemerintah mengeluarkan 54 bidang usaha dari DNI dan di dalamnya pada 25 bidang usaha, dibuka kesempatan bagi investor asing untuk memiliki saham hingga 100 persen.
Dengan melonggarkan batasan bidang usaha untuk investasi asing, pemerintah berharap dapat mendorong penanaman modal dalam negeri maupun asing. Dengan demikian, bisa menekan defisit transaksi berjalan yang belum pulih. Pemerintah pun harus mengambil kebijakan menekan defisit dengan memanfaatkan arus modal masuk ke Indonesia. “Kalau tidak masuk modal jangka pendek, tidak ada yang akan mengimbangi defisitnya itu,” kata Darmin Nasution.
Intinya adalah negara sedang kekurangan uang. Makin melebarnya defisit transaksi berjalan membuat nilai rupiah semakin terperosok. Hal itu jelas kian membuat Indonesia tertatih-tatih membayar utang luar negeri dan membeli barang-barang impor.
Keadaan itu memang harus diatasi pemerintah. Mendatangkan investasi asing adalah salah satu cara. Tetapi jika kebijakan itu berbahaya bagi usaha dalam negeri, jelas bahwa ini kebijakan yang tidak layak diterapkan.
Kalangan pengusaha mengeluhkan mereka tidak diajak berunding soal kebijakan yang akan mengatur kehidupan mereka sendiri. Itu sebabnya kita mengatakan bahwa koordinasi pemerintah dalam hal ini buruk.
Jika memang DNI hendak dilonggarkan, atau persentase modal asing hendak ditingkatkan, semestinya pemerintah melibatkan para pelaku usaha dalam menentukan kebijakan. Sebab, merekalah yang bergelut dengan berbagai permasalahan itu setiap hari.
Sebab, kebijakan pemerintah mutlak hukumnya harus partisipatif. Partisipatif itu tidak hanya sekedar mendengar aspirasi masyarakat, tetapi menjadikan aspirasi itu sebagai dasar pengambilan keputusan. Para pengusaha yang pasti sangat paham kondisi dunia usaha harus dimintai pendapat agar kebijakan pemerintah berkesesuaian dengan kondisi ekonomi dalam arti luas. Ini untuk menghindari risiko-risiko penerapan kebijakan, sekaligus memaksimalkan pencapaian target.
Penundaan pelaksanaan kebijakan ini sebetulnya mencoreng muka pemerintah sendiri. Sebab itu menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak dirancang dengan matang dan komprehensif-integralistik yang berlandaskan kepentingan semua pihak.
Pewarta : roni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar