Jumat, 07 Agustus 2020

Walhi Mencatat

 

Pers Release : Negara berpotensi kehilangan kekayaan sebesar 201,82 Triliun!

Senin, 22 Desember 2014

Tanggal 9 Desember sebagai hari antikorupsi internasional masih menyisakan catatan kelam pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi di sektor sumber daya alam dan kehutanan masih cukup   memprihatinkan. Pemerintah maupun penegak   hukum   belum   serius melakukan perlawanan dengan terhadap Mafia Sumberdaya Alam.

Hasil investigasi kasus korupsi di 6 daerah (Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Jawa Timur) ditemukan beberapa kasus yang terindikasi korupsi di sektor tata guna lahan dan hutan.

Dari 6 kasus dugaan korupsi yang ditemukan, terdapat kerugian negara, sekurangnya 201.82 Triliun, dengan nilai kerugian masing masing sebagai Berikut :

NoDugaan korupsiWilayah terjadinyaPotensi kerugian

negara (Rupiah)

1Pengusahaan tanaman teh di kawasan hutan lindung Bukit Dingin, Kota Pagar

Alam.

Sumatera Selatan36,6 Miliar
2Pengusahaan Sawit kawasan Suaka

Marga Satwa Dangku, Kabupaten Musi

Banyuasin

Sumatera Selatan118,32 Miliar
3Penambangan batubara di kawasan

hutan produksi Kabupaten Berau.

Kalimantan Timur241,04 Miliar
4Pengusahaan     sawit   di     Kawasan

Ekosistem lauser (KEL)

Aceh58,7 Miliar
5Pengusahaan   tambang biji besi di

Pulau Bangka

Sulawesi Utara200,75 Triliun
6Pengusahaan tambang mangan di

Manggarai

Nusa Tenggara Timur11,14 Miliar
7Pengusahaan Pasir Besi di Kabupaten

Malang

Jawa Timur600 Miliar
201.82 Triliun

Catatan : Khusus perhitungan di Sulawesi Utara, potensi kerugian negara dihitung dari dana reklamasi dalam 20 tahun kedepan.

Berdasakan catatan kami, sekurangnya terdapat 6 pola atau modus yang digunakan, di antaranya;

  • Merambah hutan   baik secara illegal maupun legal. Misalnya seperti melakukan penegangan di wilayah Konservasi.
  • Menyiasati/manipulasi perizinan.
  • Tidak membayar dana reklamasi.
  • Menggunakan broker untuk mengurus perizinan ke Penyelenggara Negara
  • Menggunakan proteksi “back-up” dari oknum penegak hukum.
  • Memanfaatkan posisinya sebagai penyelenggara negara agar perusahaan pribadinya.

Berdasarkan temuan tersebut, kami menuntut pihak Pemerintah yang dalam hal ini Presiden, Pihak kementria terkait :

  1. Melakukan review perizinan yang berhubungan dengan sumberdaya alam di 6 wilayah temuan kami.
  2. Mencabut ijin korporasi   terhadap beberapa perusahaan yang   kami   temukan bermasalah.
  3. Presiden dan jajarannya harus menyiapkan strategi untuk melawan mafia sumberdaya alam demi kepetingan penyelamatan sumberdaya alam.
  4. Penegak hukum harus fokus mengejar mafia sumberdaya alam dan tidak memastikan oknumnya untuk tidak memberikan proteksi kepada para pencuri sumberdaya alam.

Jakarta,11 desember 2014

Walhi Sumatera Selatan   – HAkA (Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh) – Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur – Ammalta Sulawesi Utara (Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang) – MCW (Malang Corruption Watch) – Warga Pulau Bangka

Contact Person :

–       Hadi Jatmiko (Walhi sumsel ) 0812 731 2042

–        Didi Koleangan (Ammalta) 0812 1234 7722

–       Bagus (HAkA) 0821 6126 1029

–       Akmal Adi Cahya (Malang Corruption Watch)

–     Rully Darmadi (Jatam Kaltim) 0813 4260 0929

–       Merti Katulung (Warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara) 0823 9653 8734

Lais Abid (ICW) 0821 3302 6610

Siaran Pers : Komitmen Penurunan Emisi Indonesia VS Proyek Pembangunan Dalam Negeri

Kamis, 17 Desember 2015

Aksi Warga bersama Walhi Sumsel dan Organisasi masyarakat Sipil lainnya menolak pembangunan rel kertea Api Batubara di palembang

Paris. Pada tanggal 2 Desember 2015 ada dua aksi masyarkat sipil yang dilakukan di Indonesia, Jakarta dan Palembang. di Jakarta, masyarakat melakukan aksi menolak proyek reklamasi pesisir Jakarta yang akan semakin menenggelamkan Jakarta dan menyingkirkan ruang hidup masyarakat, khususnya nelayan. di Palembang, Sumatera Selatan, masyarakat melakukan aksi penolakan pembangunan rel kereta api double track yang dibangun dari Prabumulih ke Kartapati untuk pengangkutan batubara yang diproduksi oleh PT. Bukit Asam.

Bertepatan dengan aksi tersebut, di Eropa, tepatnya di Paris, tengah berlangsung negosiasi para pihak khususnya kepala negara untuk membahas keselamatan bumi dari perubahan iklim dan dampak perubahan iklim (UNFCCC – COP 21 Paris). Peristiwa ini bisa jadi bagi sebagian besar orang dinilai tidak saling berhubungan. Namun, apa yang terjadi di Paris dalam COP 21 yang berlangsung, dengan apa yang terjadi di Indonesia dengan berbagai aksi penolakan dari masyarakat terkait dengan proyek pembangunan sesungguhnya menjadi gambaran nyata untuk melihat sekuat apa komitmen Indonesia dalam mitigasi san adaptasi perubahan iklim

Pada sessi leaders event COP 21 (30 November 2015), Presiden telah menyampaikan pidatonya yang berisi penjelasan kondisi kerentanan Indonesia sebagai negara yang 60% masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang jumlah 17.000 ribu. Presiden juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29% sampai dengan tahun 2030 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Presiden juga menyampaikan salah satu langkah-langkah yang akan dilakukan untuk penurunan emisi di sektor energi adalah mendorong energi terbarukan hingga 23% dari sumber energi nasional pada tahun 2025.

“Jika membandingkan antara apa yang disampaikan oleh Presiden dalam pidatonya di UNFCCC dengan kebijakan pembangunan ekonomi nasional, terlihat ketimpangan yang begitu besar. Pada akhirnya, komitmen negara Indonesia yang direpresentasikan oleh Presiden menjadi tidak bermakna apa-apa”, demikian tegas Kurniawan Sabar dari Eksekutif Nasional WALHI

Bukannya membangun langkah-langkah adaptasi dari dampak perubahan iklim, wilayah pesisir Indonesia justru semakin massif dikonversi untuk pembangunan proyek-proyek reklamasi yang justru akan semakin meningkatkan kerentanan dari wilayah ini, selain juga menghilangkan sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang tinggal di sana. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai kota di Indonesia sedang dan akan berlangsung proyek reklamasi seperti di Teluk Benoa Bali, Teluk Palu, Sulawesi Tengah, dan reklamasi di pesisir kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Dalam sektor energi yang didorong oleh Presiden dalam pidatonya sebagai komimen yang akan dilakukan, pada kenyataannya kebijakan ekonomi dan pembangunan dalam negeri belum berubah dari ketergantungan terhadap energi kotor batubara. Lalu bagaimana kita mau menurunkan emisi jika terus bergantung dengan batubara dan kapan kita mau beralih ke energi terbarukan.

Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel mengatakan “rencana pembangunan rel kereta api di Palembang, Sumatera Selatan merupakan bukti bahwa produksi batubara akan terus ditingkatkan. Pemerintah justru akan memfasilitasi percepatan distribusi batubara dengan transportasi kereta api. Jika proyek ini tidak dihentikan, maka pidato Presiden dianggap hanya sebagai pencitraan di mata internasional. Sementara keselamatan rakyatnya dan nasib lingkungan hidup terus harus bertarung sendiri dengan dampak perubahan iklim dan ancaman investasi yang begitu massif”. (selesai)

Paris, 2 Desember 2015.
Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158, +33753309001
Narahubung di Jakarta: Nur Hidayati : 081316101154
Edo Rakhman: 081356208763

Spoke Persons WALHI di Paris yang dapat dihubungi:
1.     Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI
2.     Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI
3.     Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel
4.     Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah
5.     Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau
6.     Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi

Siaran Pers : Pidato Presiden RI di UNFCCC, Antara Komitmen dan Kontradiksi

Kamis, 17 Desember 2015

Merespon Pidato Presiden RI di COP 21 Paris

Paris, 30 November 2015. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menyampaikan pidato di sidang UNFCCC di Paris pada pukul 16. 30 waktu Paris. Dalam pidatonya, Presiden RI menyampaikan beberapa point terkait dengan masalah yang dihadapi Indonesia khususnya dalam kabut asap, dan komitmen pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim.

Dalam pidatonya, Presiden menyampaikan beberapa hal penting. Sebagai negara pemilik hutan terbesar, yang menjadi paru-paru dunia. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah lautnya mencapai dua pertiga dari wilayah Indonesia, yang rentan dengan perubahan iklim, khususnya pulau-pulau kecil. Dengan prosesntasi 60% penduduk Indonesia tinggal di pesisir. Presiden dalam pidatonya juga menyampaikan masalah kebakaran hutan dan lahan, dan upaya penanggulangannya, baik dalam upaya penegakan hukum maupun langkah-langkah prevensi yang telah disiapkan dintaranya restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut.

Bagi WALHI, penyampaian kesadaran kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim ini menjadi penting. Yang mesti menjadi perhatian khusus, di tengah kerentanan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim, konversi terus terjadi. Berbagai proyek reklamasi terjadi di Indonesia, dan pulau-pulau kecil diserbu industri tambang dan sawit. Artinya, di tengah kerentanan, pemerintah terus memproduksi pembangunan berisiko tinggi.

Selain masalah dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia, Presiden juga menyampaikan komitmennya sebagai upaya kontribusi dalam aksi global menurunkan emisi sebagaimana yang tercantum dalam INDC Indonesia, menurunkan emisi hingga 29% dengan melalui business as usual sampai tahun 2030, dan 41% dengan bantuan internasional. Penurunan emisi dibagi dengan mengambil langkah di beberapa bidang antara lain energi, tata kelola hutan dan lahan, dan di bidang maritim.

Sejak awal, kami telah mengkritik INDC Indonesia, yang dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, tidak menghitung emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal kita tahu, bahwa sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari land use land use change and deforestasion (LULUCF). pemerintah Indonesia harusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar.

Penetapan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut jika situasi seperti saat ini, tidak memiliki kekuatan signifikan. Kita tahu, kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Inpres No. 8/2015 sangat lemah, terlebih tanpa ada review terhadap perizinan lama dan penegakan hukum.

Terlebih jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia sebagaimana yang termuat dalam RPJMN 2015-2019. Antara lain di sektor energi, pembangunan 35.000 megawatt, sebagian besar masih mengandalkan batubara, energi yang kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia. Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29% pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024. Artinya, komitmen yang disampaikan oleh Presiden meragukan.

Pertanyaan kritisnya dari pidato yang disampaikan hari ini di Paris adalah jika terdapat gap antara RPJMN dengan INDC Indonesia yang telah disubmit ke UNFCCC sebagai sebuah komitmen Indonesia menurunkan emisi global, akan kah ada masa transisi untuk menjembatani kotradiksi antara komitmen penurunan emisi dengan kebijakan pembangunan yang memproduksi emisi.

Paris, 30 November 2015.

Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158

Narahubung di Jakarta, Nur Hidayati : 081316101154

Spoke Person di Paris yang dapat dihubungi:

  1. Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI
  2. Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI
  3. Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah
  4. Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau
  5. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi
  6. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel

Siaran Pers : ​Inisiative Restorasi Landscape, Solusi Palsu Penyelamatan Lingkungan Hidup

Kamis, 17 Desember 2015

Paris-Pada saat konferensi perubahan iklim di Paris, juga berlangsung the Global Landscape Forum 2015 yang digagas oleh private sektor yang selama ini bergelut di sektor sumber daya alam baik kehutanan maupun sawit. Forum ini konon sebagai bagian dari komitmen private sector yang selama ini berbisnis di industri ekstraktive terhadap perubahan iklim, penyelamatan lingkungan, menyelamatkan hutan dan gambut, serta penyelesaian konflik

WALHI menilai bahwa forum ini, termasuk inisiative restorasi berbasis landscape setidaknya di 5 provinsi yakni Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalbar dan Kaltim, tidak lebih hanya menjadi upaya green washing dari korporasi yang selama ini telah gagal mengelola sumber daya alam, dengan indikasi kebakaran dan bencana ekologis lainnya, konflik dan kemiskinan. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi mengatakan “jika dilihat dari wilayah landscape yang konon akan dipulihkan, dari satu juta hektar lahan yang direstorasi dengan pendekatan landscape ini, justru berada di luar area konsesi korporasi yang rusak dan atau terbakar”. Merusak di tempat lain, merestorasi di tempat lainnya.

Inisiative landscape ini juga bagian dari skenario dari korporasi untuk menguasai hutan dengan atas nama restorasi, dan tentu saja bagian dari modus land banking. Ini adalah Neoliberalisme “hijau”.  Korporasi dan elit politik menjadikan isu lingkungan hidup sebagai komoditas baru untuk terus mengakumulasi keuntungan mereka.

Salah satu problem pokok di sektor kehutanan dan perkebunan selain kerusakan lingkungan hidup adalah konflik struktural negara-korporasi yang berhadapan dengan rakyat. Bagaimana inisiative ini dapat menyelesaikan konflik, jika selama ini korporasi-korporasi ini justru menjadi aktor atau bagian dari konflik itu sendiri? gugat Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan.

Selama ini komitmen nol deforastasi yang dikampanyekan oleh perusahaan pada tahun 2020 misalnya, sampai saat ini belum terbukti sama sekali. Bahkan titik api justru ditemukan banyak titip api di wilayah konsesi yang punya komitmen nol deforestasi. “Korporasi yang selama ini telah terbukti gagal sesunguhnya tidak lagi kredibel untuk bicara penanganan perubahan iklim”, ungkap Kurniawan Sabar, dari Eksekutif Nasional WALHI. Bagaimana mungkin memberikan kembali kepada korporasi dalam menangani perubahan iklim, karena faktanya penyumbang emisi yang sangat besar dari praktek buruk korporasi dalam menjalankan bisnisnya.

Yang ironi tentu saja negara, jika masih terus memberikan kesempatan dan kepercayaan untuk mengambil peran dalam mengatasi krisis dan perubahan iklim kepada korporasi yang terbukti telah gagal selama ini mengelola sumber daya alam.

Bagaimana mungkin korporasi yang terbukti telah gagal dalam mengelola sumber daya alam masih terus diberi kepercayaan oleh negara/pemerintah, jika tidak ada kepentingan bagi kekuasaan untuk kongkalikong dalam menguasai tanah. Usaha lahan baru untuk konservasi.

Kami juga mengajak konsumen untuk tidak terkecoh dengan “jualan” penyelamatan hutan dan gambut melalui donasi yang akan digalang oleh korporasi dari konsumen yang membeli produk mereka. Karena sesungguhnya mereka sedang mengalihkan tanggungjawab kerusakan hutan yang disebabkan oleh buruknya praktek buruk mereka, kepada konsumen. Mari tuntut tanggungjawab mereka untuk merubah watak buruk mereka, menghentikan ekpansi dan memulihkan hutan dan gambut yang telah mereka rusak. (selesai)

Paris, 7 Desember 2015.

Narahubung di Paris, Kurniawan Sabar : +33754235158

Narahubung di Jakarta, Nur Hidayati : +6281316101154

Spoke Persons yang dapat dihubungi:

  1. Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI
  2. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi
  3. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel
  4. Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau

Siaran Pers : Keuntungan bagi negara Kaya, tidak ada jaminan perbaikan iklim dan keselamatan rakyat

Kamis, 17 Desember 2015

Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)/Friends of the Earth Indoensia Menyikapi kesepaktan baru dalam UNFCCC COP 21 Paris

Paris, 12 Desember 2015. Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris telah berakhir dengan lahirnya kesepakatan baru untuk penanganan perubahan iklim global (1). Meski sebelumnya, konvensi yang harusnya berakhir tanggal 11 Desember 2015, mesti diperpanjang satu hari karena sulitnya menemukan kesepakatan. Betulkah ini menjadi solusi?

“Bagi politisi, ini adalah kesepakatan yang adil dan ambisius, namun hal ini justru sebaliknya. Kesepakatan ini pasti akan gagal dan masyarakat sedang ditipu. Masyarakat terdampak dan rentan terhadap perubahan iklim mestinya mendapat hal yang lebih baik dari kesepakatan ini. Mereka yang paling merasakan dampak terburuk dari kegagalan politisi dalam mengambil tindakan,” menurut Dipti Bathnagar, Koordinator Keadilan Iklim dan energi, Friends of the Erath International dalam keterangan persnya (2).

Negara-negara maju telah menggeser harapan sangat jauh dan memberikan rakyat kesepakatan palsu di Paris. Melalui janji-janji dan taktik intimidasi, negara-negara maju telah mendorong sebuah kesepakatan yang sangat buruk. Negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa mestinya melakukan membagi taggung jawab yang adil (fair share) untuk menurunkan emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, di Paris, negara-negara kaya berupaya membongkar konvensi perubahan iklim untuk memastikan kepentingan mereka sendiri.

Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye WALHI (Friends of the Earth Indonesia) menegaskan, “bagi Indonesia, kesepakatan di Paris akan memberikan dampak sangat signifikan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Kesepakatan iklim di Paris, tidak memberikan jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, dan dengan demikian, lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan dan terdampak perubahan iklim akan berada dalam kondisi yang semakin mengkhawatirkan.”

Sikap pemerintah Indonesia yang sangat pragmatis dan tidak memainkan peran strategis dalam negosiasi di Paris, sesungguhnya telah meletakkan Indonesia sebagai negara yang hanya mengikut pada kesepakatan dan kepentingan negara maju. Pemerintah Indonesia lebih mementingkan dukungan program yang merupakan bagian dari mekanisme pasar (market mechanism) yang telah dibangun oleh Negara-negara maju dalam negosiasi di Paris.

“kita tidak bisa berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang lebih maju, jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar khususnya hanya untuk memenuhi hasrat negara maju untuk mitigasi perubahan iklim. Dukungan yang dimaksudkan pemerintah Indonesia dari kesepakatan di Paris tidak akan berarti dan tidak akan berhasil tanpa perbaikan tata kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut, menghentikan penggunaan energi dari sumber kotor batubara, serta menghentikan kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.” Lanjut menurut Kurniawan Sabar.

Sebagai catatan kritis, beberapa masalah penting yang menjadi analisis group Friends of the Erath terkait kesepakatan di Paris (3), yakni:

Pertama, kesepakatan Paris menegaskan bahwa 2 derajat Celcius adalah tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan bahwa setiap negara harus meningkatkan upaya untuk membatasi peningkatan temperatur hingga batas 1,5 dearajat Celcius. Hal ini tidak akan berarti tanpa mensyaratkan negara-negara maju untuk memangkas emisi mereka secara drastis dan memberikan dukungan finansial sesuai tanggung jawab yang adil, serta memberikan beban tambahan kepada negara-negara berkembang. Untuk mencegah perubahan iklim kita mesti segera dan secara drastis menurunkan emisi, tidak melakukan penundaan.

Kedua, tanpa kompensasi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, negara-negara yang rentan akan menaggung berbagai masalah dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh mereka.

Ketiga, tanpa finansial yang memadai, negara-negara miskin akan dijadikan sebagai pihak yang harus menaggung beban dari krisis yang tidak berasal dari mereka. Pendanaan tersedia, namun kemauan politik (political will) tidak ada.

Keempat, satu-satunya kewajiban yang mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara maju adalah mereka harus melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan.

Kelima, pintu sangat terbuka bagi pasar untuk mengeksploitasi krisis iklim tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks. Hal ini menjadi kartu bebas bagi poluter terbesar dalam sejarah. Dalam kasus REDD+ misalnya, akan menjadikan negara-negara maju mendukung proyek perkebunan yang merusak di negara-negara berkembang dan bukannya berupaya mengurangi emisi dari bahan bakar fosil di negeri mereka sendiri.

Di hari akhir negosiasi iklim di Paris, lebih dari 2.000 orang aktivis federasi Friends of the Erath International bersama ribuan masyarakat Paris melakukan aksi untuk menyampaikan pesan global untuk keadilan klim dan perdamaian (Climate Justice Peace) yang tersebar di tengah kota Paris (4). Aksi ini sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil yang dimobilisasi oleh Friends of the Earth International untuk menilai dan menyampaikan tuntutan masyarakat sipil untuk keadilan iklim selama proses UNFCCC COP 21 Paris.

  1. Download dokumen kesepakatan UNFCCC COP 21 Paris: http://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/l09.pdf
  2. Siaran Pers Friends of the Earth International: (1)http://www.foei.org/press/archive-by-subject/climate-justice-energy-press/paris-climate-deal-sham
  3. Untuk analisis yang lebih lengkap dari group Friends of the Earth akan disajikan dalam: http://www.foei.org/what-we-do/paris
  4. Thousands of individuals spelled out “Climate Justice Peace” across Paris using geo-localisation software, recorded online herehttp://www.climatejusticepeace.org/

Referensi lainnya:  http://newint.org/features/web-exclusive/2015/12/12/cop21-paris-deal-epi-fail-on-planetary-scale/

Kontak person di Paris:

Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI: +33754235158+6281241481868

Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah +628115200822

Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI +6281293993460

Kontak Person di Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI

Nur Hidayati: 081316101154

Khalisah Khalid: 081311187498

Pernyataan Sikap : COP 21 Paris, Reclaim Demi Keselamatan Rakyat dan Bumi

Kamis, 17 Desember 2015

Akhiri Berikan Kesempatan kepada Korporasi Pelaku Pencemar

Paris- Konferensi Para Pihak atau Conference Of Parties (COP) akan dimulai pada tanggal 30 November 2015 di Paris. Para Kepala Negara, termasuk Presiden Jokowi diagendakan menyampaikan pidato di dalam UNFCCC pada tanggal 30 November 2015.

Sebagai sebuah momentum yang menentukan paska selesainya Kyoto Protokol, tentulah COP Paris ini diharapkan dapat merumuskan langkah-langkah yang mendesak dan konkrit oleh Para Pihak khususnya Kepala Negara, demi keselamatan seluruh makhluk bumi. Desakan kuat dari organisasi masyarakat sipil, agar COP21 Paris ini menghasilkan kesepakatan yang kuat, untuk menurunkan emisi secara signifikan agar suhu bumi dapat turun 1,5 derajat celcius seperti sebelum masa industri. Target ini bisa dilihat ambisius dari sebelumnya 2 derajat celcius, tapi justru ini kesempatan terbaik bagi pemimpin dunia jika ingin memberi terobosan yang signifikan.

Selama ini kami menilai, Kyoto Protokol terus diperlemah dengan tekanan dari sistem ekonomi politik kapitalistik yang menjadikan isu perubahan iklim sebagai peluang baru bagi korporasi dan negara industri untuk semakin mengakumulasi modal, dengan menjadikan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, khususnya dalam mitigasi perubahan iklim melalui REDD salah satunya, korporasi yang sesungguhnya sebagai pencemar justru dijadikan seperti malaikat. Faktanya, krisis dunia terus terjadi. Penanganan perubahan iklim jalan di tempat, tidak ada kemajuan yang signifikan. Karenanya, paradigma ekonomi dan pembangunan dunia juga harusnya berubah.

Bagaimana dengan Indonesia? Kami meyakini bahwa mata dunia akan tertuju kepada Indonesia. Namun sayangnya sorotan tersebut bukan karena keberhasilan pemerintah Indonesia memenuhi komitmennya menurunkan emisi 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional sampai tahun 2020. Lagi-lagi, komitmen tersebut tidak terpenuhi, karena pemerintah Indonesia mengikuti dan mengambil pilihan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, proyek-proyek REDD dijadikan isu utama dalam adaptasi perubahan iklim. Apa faktanya? Jika sumber emisi GRK Indoesia terbesar dari land use land use change and deforestation (LULUCF), maka peristiwa kebakaran hutan dan lahan justru menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia. Artinya, selama ini nyaris tidak ada pembenahan tata kelola hutan dan gambut, bahkan dibalik kemasan REDD sekalipun atau dengan kemasan restorasi ekosistem. Kalimantan Tengah yang dijadikan sebagai provinsi project REDD, tingkat kebakaran hutan dan lahan justru parah, menjadi gambaran jelas bahwa solusi palsu penaganan perubahan iklim, hanya melahirkan krisis.

Kegagalan tersebut dan rentetan bencana ekologis ini, mestinya memberi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia. COP 21 Paris menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia untuk merubah paradigma pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Jalannya adalah dengan memberikan kepastian alas hak atau hak tenurial kepada rakyat dalam mengelola sumber-sumber kehidupannya.

WALHI berharap kehadiran Presiden Jokowi ke COP 21 dan pidatonya di UNFCCC  untuk menyampaikan komitmen menurunkan emisi GRK dengan baseline jelas dan menghitung dari kebakaran hutan dan lahan serta emisi dari sektor energi kotor seperti batubara. Karenanya, INDC’s Indonesia yang masih menunjukkan keraguan komitmen/kontribusi Indonesia yang dapat dilihat dari hanya memasukkan indikasi penurunan emisi 29% dengan mekanisme business as usual (BAU), harus dikoreksi.

Jika pemerintah berkomitmen membangun ekonomi yang berkelanjutan, maka kami mendesak tidak lagi menyerahkan kepada pasar dan  korporasi yang akan semakin melanggengkan komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam. Kami berharap dalam pidatonya, Jokowi mengakui dan menjadikan model kelola rakyat yang berbasiskan pada kearifan lokal sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, bukan kepada korporasi termasuk dalam restorasi ekosistem. Kami percaya, bahwa ekonomi bangsa ini akan lebih berkelanjutan dan berkeadilan jika dikelola oleh rakyat dengan kearifan dan pengetahuan lokal yang dimilikinya.

Kami juga berharap, pemerintah tidak lagi memberi ruang bagi upaya green wash korporasi yang terlibat dalam kasus asap, baik yang melakukan pembakaran maupun yang di wilayah konsesinya ditemukan titik api, termasuk dengan atas nama restorasi ekosistem. Jika dalam COP Paris nanti Presiden Jokowi masih memberikan kesempatan kepada korporasi, termasuk dengan menggunakan mekanisme tradingdalam penanganan perubahan iklim, maka sama artinya pemerintah melecehkan penderitaan korban asap. (selesai)

Contact Person:

  1. Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI: +6281241481868
  2. Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI: +6281293993460
  3. Rio Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah: +628115200822
  4. Riko Kurniawan: Direktur WALHI Riau: +6181371302269
  5. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi: +628117463789
  6. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel: +628127312

Narahubung: Khalisah Khalid di +6281311187498

Rumah Evakuasi Balita 5 Ulu didirikan masyarakat sipil untuk Melindungi rakyat dari Pencemaran asap Karhutla di Sumsel

Sabtu, 31 Oktober 2015

Terkait pemberitaan beberapa media massa yang menyatakan bahwa Posko / Rumah Evakuasi Balita Korban asap yang berada di Jalan Kh.Azhari Lorong Keramat No 124 RT 4  RW  1 Kelurahan 5 Ulu Kecamatan Seberang Ulu 1 Palembang, yang pada jumat  30 Oktober 2015 kemarin di kunjungi oleh presiden RI baru didirikan pada malam hari sebelum kedatangan Presiden. Maka dengan ini kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Korban Asap di Sumsel menyatakan dengan tegas berita tersebut tidak benar dan menyesatkan.

Adapun Rumah Evakuasi Balita 5 Ulu tersebut adalah murni dari insisatif masyarakat sipil dan tidak ada campur tangan pemerintah baik pusat maupun daerah, proses pendiriannya puntelah dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2015, dengan menyewa satu unit rumah kosong tua yang berada di RT 4 RW 1 milik keluarga Cek Gadis yaitu H.Sul, dengan lama sewa selama 6 bulan.

selanjutnya setelah ada kesepakatan sewa menyewa antara Koalisi Masyarakat Peduli Balita Korban Asap dan pihak pemilik rumah, maka team relawan dibantu oleh warga mulai melakukan perbaikan perbaikan terhadap fisik rumah, seperti pembuatan toilet, perbaikan lantai dan jembatan serta penutupan Ventilasi rumah, agar asap yang berada diluar tidak masuk kedalam rumah. Serta memperbaiki Instalasi air yang disalurkan dari rumah ketua RT setempat.

Selanjutnya karena Rumah Evakuasi yang kami buat ini untuk Balita maka kami mentapkan  beberapa standart seperti ruangan harus memiliki pembersih udara dan Air Conditioner,untuk melengkapi hal itu maka team relawan melakukan perbaikan dan memeriksa instalasi listrik dengan tujuan agar peralatan listrik dapat dipakai disana.Selain memperbaiki fisik rumah, team relawan juga pada tanggal 26 Oktober 2015  ketika bertemu dengan Kepala Dinas Sosial Propinsi Sumsel yang saat itu berkunjung ke REB Jakabaring. Telah menyampaikn secara lisan kepada kepala Dinas Sosial dan rombongan bahwa Posko REB juga berada di Kelurahan 5 Ulu palembang.

Presiden Joko Widodo meninjau rumah evakuasi balita yang tarpapar asap di kawasan 5 Ulu, Palembang, Sumsel (antara foto)

Saat seluruh Persiapan selesai dan fasilitas REB sudah dilengkapi maka kegiatan di Rumah evakuasi Balita berjalan dengan normal  (dokumentasi kegiatan Terlampir), walaupun sebenarnya kerja kerja sosial dan kemanusian sudah dilakukan sejak sebelum rumah evakuasi tersebut bisa digunakan misalnya mengantarkan beberapa balita yang diduga terkena ISPA kerumah sakit dan ke rumah evakuasi di jakabaring.

Fakta Fakta diatas menunjukan bahwa REB Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Korban asap yang berada di 5 Ulu telah di mulai lama, jauh sebelum Bapak Presiden berkunjung bahkan sebelum Bapak Presiden melakukan kunjungan kerja Ke Amerika yang sepulangnya baru memutuskan untuk berkantor di Kabupaten OKI Sumsel. Selain itu sampai dengan Pukul 7.30 Wib Pagi (30/10), tidak ada satu orang pun dari Relawan mengetahui Jokowi akan berkunjung ke REB 5 Ulu, dan baru di ketahui ketika dari Pihak Paspampres menemui Teman teman di Posko menginformasikan bahwa Kemungkinan Bapak Prsiden akan berkunjung ke Posko REB yang kami buat.  Untuk itu jika di beberapa berita On line yang tersebar menuliskan bahwa rumah tersebut adalah rumah yang dibuat dalam waktu semalam maka sangat keberatan dan hal itu sangat menyesatkan Publik dan pembaca.

Sekali lagi kami ingin menginggatkan bahwa posko ini adalah posko yang dibuat masyarakat sipil yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah lokal maupun di tingkat nasional. Kami mendirikan Posko ini murni kerja sosial dan kemanusian karena melihat tidak ada upaya pemerintah Daerah untuk melindungi masyarakat dari paparan Asap Kebakaran Hutan dan lahan yang dilakukan Koorporasi di Sumsel. Dan harapan kami apa yang kami lakukan ini dapat di Adopsi dan dilakaukan pemerintah sesuai dengan kewajibannya dalam Undang Undang.

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Korban Asap

Koodinator REB 5 Ulu

Afex Indawan

HP : 085658743737

FB Group : Koalisi Peduli Balita Korban Asap

(https://www.facebook.com/groups/693746334060329/?fref=ts )

 

Kasus PT. BMH Pintu masuk menjerat Koorporasi Besar

Jum’at 23 Oktober 2015

BMH berpotensi lepas dari jeratan Hukum.

Jakarta, 20/09/2015. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 3 februari 2015 telah mengajukan gugatan perdata kepada PT Bumi Mekar Hijau selaku perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Gugatan perdata itu didaftarkan melalui pengadilan Negeri Palembang. Dasar gugatan adalah mengacu pada data tahun 2014 dimana terdapat 531 titik di lahan konsesi perusahaan tersebut. PT BMH layak digugat karena karena harus bertanggung jawab atas pembakaran hutan dan lahan seluas seluas 20.000 hektar di kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Untuk diketahui, PT BMH merupakan anak perusahaan dari Asia Pulp and Paper (APP) yang memiliki luas areal konsesi 250.370 ha di kabupaten Ogan Komering Ilir.

Gugatan terhadap PT.BMH yang didaftarkan KLHK menjadi pembuktian atas perintah tindak tegas dari Presiden terhadap korporasi pembakar hutan saat berkunjung ke Sumsel pada 7 September lalu. Demikian pula bagi publik menjadi rujukan untuk tetap percaya kepada pemerintah. Kepercayaan tersebut tentu ada syaratnya yaitu KLHK harus bersungguh-sungguh dalam mengawal persidangan ungkap Hadi Jatmiko selaku Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan. Kami tidak ingin pemerintah menghadirkan pembela yang hanya diam dan maggut-manggut di pengadilan tanpa argumentasi. Kita ingin mulai dari pengacara hingga saksi ahli yang dihadirkan merupakan orang pilihan terbaik pemerintah yang memiliki komitmen kuat untuk membela total kepentingan bangsa dan negara imbuh Hadi. Jika nanti pemerintah kalah, kami bisa memastikan bahwa akan banyak korporasi baik di Sumsel maupun di tingkat nasional akan lepas dari jerat hukum. Hadi Jatmiko berharap pula kepada para hakim dalam kasus ini untuk berpihak pada kebenaran yang hakiki dan tidak perlu takut pada intervensi.

Sejak awal menurut Hadi Jatmiko Walhi mendukung penuh upaya pemerintah melalui KLHK mengajukan gugatan perdata kepada PT BMH. Karenanya jangan sampai kami selaku bagian dari masyarakat dikecewakan oleh kinerja buruk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Muhnur Satyahaprabu Manager Kabijakan dan Pembelaan Hukum Walhi menyayangkan Kementrian Lingkungan dan Kehutanan seolah-olah merahasiakan gugatan ini didepan publik, padahal peran publik dalam mendukung upaya kongkret pemerintah menggugat perusahaan sangat diperlukan. “pemerintah dari awal tidak serius mengajukan gugatan ini, atau setidaknya target pemerintah mengajukan gugatan ini perlu dipertanyakan. Banyak indikasi ketidakseriusan pemerintah selama dipersidangan berlangsung seperti tidak maksimalnya pembuktian yang dilakukan oleh pemerintah, tidak mampu megeksplore lebih dalam tentang dampak dari kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan” ujar Muhnur

Kejanggalan juga bisa dilihat dari susunan Majelis Hakim yang memimpin persidangan kasus tersebut. Berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor : 134/KMA/SK/IX/2011 tentang sertifikasi hakim lingkungan maka ketua majelis hakim yang memimpin persidangan kasus tersebuut haruslah hakim yang bersertifikasi lingkungan tutup Muhnur;

Kontak Person :

  • Muhnur Satyahaprabu (081326436437)
  • Hadi Jatmiko (08127312042)

“Jejak Asap Korporasi: Tanggung Gugat Korporasi terhadap Dampak dan Pemulihan Lingkungan Hidup”

Jumpa Pers bersama di Eksekutif Nasional Walhi terkait perusahaan perusahaan yang terlibat pembakaran Hutan dan Lahan Di kalimantan dan Sumatera

 

Jakarta, 1 Oktober 2015. Hari ini WALHI mengeluarkan hasil analisis kebakaran lahan dan hutan yang menunjukkan peran korporasi, khususnya di sektor kehutanan dan perkebunan, dalam tragedi asap yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir di Indonesia. Hasil analisis ini juga menunjukkan jejak api group-group usaha yang  difokuskan pada 5 propinsi yang mengalami dampak terparah, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Kebakaran hutan dan lahan selama 18 tahun menjadi fakta tak terbantahkan bahwa monopoli kawasan hutan dan lahan untuk pengembangan investasi perusahaan merupakan penyebab utama kebakaran dan polusi asap di Indonesia. Sampai di tahun 2014 saja, 4 (empat) sektor industri ekstraktif (logging, perkebunan kelapa sawit, HTI, dan tambang) telah menguasai sekitar 57 juta hektar hutan dan lahan di Indonesia. Penguasaan ini dibarengi praktik buruk pengeloaan konsesi, salah satunya adalah tindak pembakaran hutan dan lahan gambut untuk kemudahan pengembangan produksi.

Penggundulan hutan dilakukan secara masif dan sistematis, dan diikuti dengan pengeringan lahan gambut dengan cara membelah-belah lahan gambut dan membangun kanal-kanal. Pembersihan lahan dilakukan dengan pembakaran yang bertujuan untuk menghemat biaya operasi, juga untuk mengurangi derajat keasaman lahan gambut, sehingga cocok untuk ditanami tanaman komoditas industri. Praktik ini hakikatnya telah menghancurkan hutan dan lahan gambut sehingga ekosistem kehilangan keseimbangan alaminya.

Bertahun-tahun titik api ditemukan di konsesi perkebunan monokultur skala besar, terutama yang beroperasi di lahan gambut. Dalam periode Januari – September 2015 terdapat 16.334 titi api (LAPAN) atau 24.086 titi api (NASA FIRM) untuk 5 propinsi; Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau. Analisis data dan fakta kebakaran hutan dan lahan di 5 propinsi sampai di bulan September 2015, WALHI menemukan bahwa titi api berada di dalam konsesi perusahaan; Kalimantan Tengah 5.672, Kalimantan Barat 2.495, Riau 1.005, Sumatera Selatan 4.416, dan Jambi 2.842.

Edo Rakhman, Manajer Kampanye Eksekutif Nasional WALHI menerangkan,”Hasil analisis dari 5 propinsi yang dilanda asap terparah, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengahmenunjukkan bahwa mayoritas titik api yang ditemukan di tahun ini berada di dalam konsesi perusahaan, terutama HTI (Hutan Tanaman Industri) sebanyak 5.669 titik api dan perkebunan kelapa sawit sebanyak 9.168 titik api. Hasil overlay titik api dengan konsesi perusahaan menunjukkan bahwa di  4 propinsi (Jambi, Sumsel, Riau, dan Kalteng), perusahaan group Wilmar dan Sinarmas paling banyak ditemukan berkontribusi terhadap keseluruhan jumlah titik api.  Group Wilmar 27 perusahaan dan Group Sinarmas 19 perusahaan.”

Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau mengatakan,”Hasil analisis yang dilakukan oleh Koalisi Eyes of the Forest di mana WALHI Riau menjadi bagiannya, menunjukkan bahwa group Asia Pulp and Paper dan RGM/APRIL  (industri HTI) merupakan group dengan jumlah perusahaan yang terbanyak menyumbang titik api, yakni masing-masing 6 perusahaan”

Kebakaran hutan dan polusi asap telah memberikan dampak yang sangat buruk terhadap kesehatan masyarakat. Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat polusi asap setidaknya telah mencapai jumlah yang sangat besar, Jambi 20.471 orang, Kalteng 15.138 orang, Sumatera Selatan 28.000 orang, Kalimantan Barat 10.010 orang.

Anton P. Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat, menegaskan, “Harus ada perubahan paradigma dan pendekatan pemerintah dalam menangani kebakaran dan asap, bukan hanya melakukan upaya setelah kebakaran tersebut terjadi (emergency response), tetapi harus kepada upaya-upaya pencegahan secara sistematis dan struktural, termasuk dalam hal ini menuntut tanggung gugat perusahaan atas dampak kebakaran dan polusi asap ini. Kehadiran negara dalam situasi seperti ini juga sangat penting untuk memastikan jaminan hak warga negara atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.”

Hal senada disampaikan Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan , “aktor utama pelaku pembakaran hutan adalah korporasi, sehingga negara harus memastikan tanggung jawab penuh dari pihak perusahaan. Jika negara ingin tanggung jawab terhadap masyarakatnya, maka negara juga mesti lebih berani menuntut tanggung jawab perusahaan atas dampak buruk kebakaran dan asap terhadap masyarakat dan memastikan pemulihan lingkungan.”

Secara khusus, terkait dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, Arie Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah menerangkan,” tanggung jawab negara bukan hanya pada saat ada asap. Kementerian Kesehatan perlu melakukan monitoring kesehatan secara berkala untuk wilayah yang terpapar asap baik sekarang maupun pasca kabut asap. Mesti segera ada penanganan secara maksimal terhadap penderita ISPA. Kami juga menghimbau Menteri Kesehatan, Ibu Nina Moeloek untuk turun ke lapangan dan merasakan dampak asap tersebut, sehingga tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bisa mencederai rasa keadilan masyarakat.”

Rudiansyah, WALHI Jambi menegaskan, “sebagai bentuk upaya memuntut tanggung gugat perusahaan akibat kebakaran dan polusi asap ini, maka WALHI akan menempuh upaya hukum, seperti clas action, dan citizen law suit baik yang akan dilakukan di daerah maupun di nasional. Upaya ini sebagai bagian yang tak terpisakan dari tuntutan atas peran dan fungsi negara untuk melakukan penegakan hukum atas korporasi  yang melakukan pembakaaran hutan dan lahan gambut di Indonesia.”

Contact person:

Edo Rakhman 081356208763

Rudiansyah (WALHI Jambi) 081366699091

Arie Rompas (WAHI Kalimantan Tengah)08115200822

Hadi Jatmiko (WALHI Sumatera Selatan) 08127312042

Anton P. Widjaya (WALHI Kalimantan Barat)0811574476

Riko Kurniawan (WALHI Riau) 081371302269

Siaran Pers : “Dimana ada asap disana Pasti ada konsesi”

Selasa, 01 September 2015

Sebaran Hotspot selama Agustus 2015

Jakarta, 1 September 2015. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terus terjadi dalam 1 dekade ini merupakan gambaran nyata bahwa kerusakan alam telah sangat parah dan sistematis. Setidaknya 66 kabupaten yang ada di 5 Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, langganan kebakaran dan “berasap” dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2011, ditemukan sebanyak 18.789 titik api dan pada tahun 2014 naik menjadi 20.253 titik api.

Peningkatan kebakaran bukan saja mengalami peningkatan dalam  jumlah titik api, tetapi juga terhadap intensitas kejadian kebakaran setiap tahunnya. Bila peningkatan titik api mulai terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, maka Sumatera mengalami peningkatan intensitas kejadian kebakaran hingga dua kali kejadian kebakaran dalam satu tahun.

Tahun 2014, ditemukan indikasi titik api terdapat pada kawasan hutan yang dibebani hak Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 4.084 titik api di 150 konsesi, dan 603 titik api di 85 konsesi perusahaan (IUPHHK-HA). Selanjutnya, selain pada kawasan hutan yang dibebani izin, kebakaran hutan dan lahan diduga marak juga terjadi di dalam dan di sekitar kawasan konsesi perkebunan kelapa sawit di kawasan APL dan kawasan hutan.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, dalam keterangan persnya menerangkan, “di tahun 2014, Presiden Jokowi telah berkomitmen Indonesia bebas asap 2015. Namun, kebakaran dan asap tahun ini menjadi bukti bahwa komitmen ini masih sangat jauh dari harapan. Ada 5 langkah strategis dan mendesak yang mesti dilakukan Presiden;  1. Menginstruksikan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati) untuk melakukan gerakan serentak penyekatan kanal dan menerapkan proses sanksi terhadap pemegang konsesi sawit, sebagai tindakan mendesak yang harus segera dilakukan oleh Kepala Daerah, 2. Melakukan upaya penegakan hukum terhadap perusahaan yang ditemukan adanya titik api di wilayah konsesinya, 3. Melakukan review perizinan terhadap konsesi yang mengalami kebakaran dan/atau mengalami konflik dengan masyarakat.  4. Menghentikan penerbitan izin baru sebagai kesempatan untuk melakukan evaluasi terhadap izin yang telah diberikan dan termasuk evaluasi terhadap pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap izin yang dikeluarkan, 5. Memulihkan kawasan hutan kritis dan memberi kesempatan pengolahan dan perlindungan hutan kepada masyarakat di sekitar hutan.”

Musri Nauli , Direktur Eksekutif WALHI Jambi menjelaskan “titik api terbanyak berasal dari gambut. Kawasan genting, unik dan penting sudah rusak. Kawasan yang selama ini mampu memberikan perlindungan dan sebagai tempat tangkapan air (catchment water area) dirusak oleh HTI, sawit dan berbagai aktivitas manusia lainnya kemudian menjadikan kubangan yang mudah terbakar. Pola ini berulang terus menerus dengan modus yang canggih, rapi dan pola tempat terbakar yang sama setiap tahun. Pemegang izin tidak mampu lagi menjaga lokasi izinnya. Selain para pelaku dijerat dengan berbagai UU seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU LH yang “tegas” adanya kebakaran di areal izinnya, para pemegang izin dapat diminta pertanggungjawabannya (absolute liability).

Tidak jauh berbeda, kebakaran tahun ini juga kembali terjadi di Kalimantan Tengah. Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah meyampaikan, “apresiasi terhadap penyegelan lokasi kebakaran di beberapa perusahan perkebunan di Kalimantan tengah, namun langkah ini belumlah cukup menyelesaikan masalah, jika tidak disertai dengan upaya rehabilitasi lahan gambut dan menghentikan perizinan perusahaan yang mengakibatkan konversi lahan gambut kepada investasi skala luas yang berbasis lahan di Kalimantan Tengah.”

sebaran hotspot 2014 – 2015

Terkait penegakan hukum atas kebakaran hutan dan lahan, sebagai contoh di Sumatera Selatan. Kami menilai pemerintah tidak serius melakukanya dan terlihat hanya formalitas saja. Gugatan pemerintah terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (APP Group) yang merugikan negara Rp. 7,9 triliun tahun 2014 lalu, sampai saat ini tidak terdengar gaungnya. Jangan sampai ini hanya upaya untuk mencuci kejahatan perusahaan dengan mengunakan tangan pemerintah dan pengadilan. Ketidakseriusan ini menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan berakibat bencana asap terus berulang tahun. terang Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan.

Masih terkait upaya penegakan hukum dalam penanganan kebakaran hutan, di Kalimantan Barat, Anton Wijaya, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Barat menegasakan, “Kepolisian Daerah Kalimantan Barat harus segera mencabut Maklumat terkait kebakaran hutan, karena di lapangan hanya menimbulkan kemarahan dan resistensi dari masyarakat lokal dan justru tidak menjawab persoalan pokok terkait penyebab kebakaran. Kepolisian harusnya melakukan penegakan hukum seadil-adilnya kepada para penjahat lingkungan yang jelas-jelas adalah korporasi yang melakukan pembakaran dalam proses pembersihan lahan-lahan konsesi mereka. Penegakan hukum juga harus dilakukan kepada stakeholder lain selain private sector yang memiliki mandat dan wewenang melakukan perbaikan tata kelola sumber daya alam, memastikan praktek kebun tanpa membakar tetapi tidak menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.” 

Fakta-fakta temuan WALHI di berbagai daerah menunjukkan bahwa akar masalah terbesar kebakaran dan asap di Indonesia sangat nyata dan sebenarnya sangat dipahami oleh pemerintah. “Mestinya pemerintah “memadamkan api dengan Pena”, bukan dengan modifikasi cuaca, karena sumber masalahnya dari penerbitan konsesi” tutup Abetnego Tarigan.

Contact person:

Zenzi Suhadi 081384502601

Musri Nauli 08127807513

Arie Rompas 08115200822

Hadi Jatmiko 08127312042

Anton P. Wijaya 0811574476

Left Menu Icon

Pers Release : Negara berpotensi kehilangan kekayaan sebesar 201,82 Triliun!

Senin, 22 Desember 2014

Tanggal 9 Desember sebagai hari antikorupsi internasional masih menyisakan catatan kelam pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi di sektor sumber daya alam dan kehutanan masih cukup   memprihatinkan. Pemerintah maupun penegak   hukum   belum   serius melakukan perlawanan dengan terhadap Mafia Sumberdaya Alam.

Hasil investigasi kasus korupsi di 6 daerah (Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Jawa Timur) ditemukan beberapa kasus yang terindikasi korupsi di sektor tata guna lahan dan hutan.

Dari 6 kasus dugaan korupsi yang ditemukan, terdapat kerugian negara, sekurangnya 201.82 Triliun, dengan nilai kerugian masing masing sebagai Berikut :

NoDugaan korupsiWilayah terjadinyaPotensi kerugian

negara (Rupiah)

1Pengusahaan tanaman teh di kawasan hutan lindung Bukit Dingin, Kota Pagar

Alam.

Sumatera Selatan36,6 Miliar
2Pengusahaan Sawit kawasan Suaka

Marga Satwa Dangku, Kabupaten Musi

Banyuasin

Sumatera Selatan118,32 Miliar
3Penambangan batubara di kawasan

hutan produksi Kabupaten Berau.

Kalimantan Timur241,04 Miliar
4Pengusahaan     sawit   di     Kawasan

Ekosistem lauser (KEL)

Aceh58,7 Miliar
5Pengusahaan   tambang biji besi di

Pulau Bangka

Sulawesi Utara200,75 Triliun
6Pengusahaan tambang mangan di

Manggarai

Nusa Tenggara Timur11,14 Miliar
7Pengusahaan Pasir Besi di Kabupaten

Malang

Jawa Timur600 Miliar
201.82 Triliun

Catatan : Khusus perhitungan di Sulawesi Utara, potensi kerugian negara dihitung dari dana reklamasi dalam 20 tahun kedepan.

Berdasakan catatan kami, sekurangnya terdapat 6 pola atau modus yang digunakan, di antaranya;

  • Merambah hutan   baik secara illegal maupun legal. Misalnya seperti melakukan penegangan di wilayah Konservasi.
  • Menyiasati/manipulasi perizinan.
  • Tidak membayar dana reklamasi.
  • Menggunakan broker untuk mengurus perizinan ke Penyelenggara Negara
  • Menggunakan proteksi “back-up” dari oknum penegak hukum.
  • Memanfaatkan posisinya sebagai penyelenggara negara agar perusahaan pribadinya.

Berdasarkan temuan tersebut, kami menuntut pihak Pemerintah yang dalam hal ini Presiden, Pihak kementria terkait :

  1. Melakukan review perizinan yang berhubungan dengan sumberdaya alam di 6 wilayah temuan kami.
  2. Mencabut ijin korporasi   terhadap beberapa perusahaan yang   kami   temukan bermasalah.
  3. Presiden dan jajarannya harus menyiapkan strategi untuk melawan mafia sumberdaya alam demi kepetingan penyelamatan sumberdaya alam.
  4. Penegak hukum harus fokus mengejar mafia sumberdaya alam dan tidak memastikan oknumnya untuk tidak memberikan proteksi kepada para pencuri sumberdaya alam.

Jakarta,11 desember 2014

Walhi Sumatera Selatan   – HAkA (Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh) – Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur – Ammalta Sulawesi Utara (Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang) – MCW (Malang Corruption Watch) – Warga Pulau Bangka

Contact Person :

–       Hadi Jatmiko (Walhi sumsel ) 0812 731 2042

–        Didi Koleangan (Ammalta) 0812 1234 7722

–       Bagus (HAkA) 0821 6126 1029

–       Akmal Adi Cahya (Malang Corruption Watch)

–     Rully Darmadi (Jatam Kaltim) 0813 4260 0929

–       Merti Katulung (Warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara) 0823 9653 8734

Lais Abid (ICW) 0821 3302 6610

Siaran Pers : Komitmen Penurunan Emisi Indonesia VS Proyek Pembangunan Dalam Negeri

Kamis, 17 Desember 2015

Aksi Warga bersama Walhi Sumsel dan Organisasi masyarakat Sipil lainnya menolak pembangunan rel kertea Api Batubara di palembang

Paris. Pada tanggal 2 Desember 2015 ada dua aksi masyarkat sipil yang dilakukan di Indonesia, Jakarta dan Palembang. di Jakarta, masyarakat melakukan aksi menolak proyek reklamasi pesisir Jakarta yang akan semakin menenggelamkan Jakarta dan menyingkirkan ruang hidup masyarakat, khususnya nelayan. di Palembang, Sumatera Selatan, masyarakat melakukan aksi penolakan pembangunan rel kereta api double track yang dibangun dari Prabumulih ke Kartapati untuk pengangkutan batubara yang diproduksi oleh PT. Bukit Asam.

Bertepatan dengan aksi tersebut, di Eropa, tepatnya di Paris, tengah berlangsung negosiasi para pihak khususnya kepala negara untuk membahas keselamatan bumi dari perubahan iklim dan dampak perubahan iklim (UNFCCC – COP 21 Paris). Peristiwa ini bisa jadi bagi sebagian besar orang dinilai tidak saling berhubungan. Namun, apa yang terjadi di Paris dalam COP 21 yang berlangsung, dengan apa yang terjadi di Indonesia dengan berbagai aksi penolakan dari masyarakat terkait dengan proyek pembangunan sesungguhnya menjadi gambaran nyata untuk melihat sekuat apa komitmen Indonesia dalam mitigasi san adaptasi perubahan iklim

Pada sessi leaders event COP 21 (30 November 2015), Presiden telah menyampaikan pidatonya yang berisi penjelasan kondisi kerentanan Indonesia sebagai negara yang 60% masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang jumlah 17.000 ribu. Presiden juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29% sampai dengan tahun 2030 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Presiden juga menyampaikan salah satu langkah-langkah yang akan dilakukan untuk penurunan emisi di sektor energi adalah mendorong energi terbarukan hingga 23% dari sumber energi nasional pada tahun 2025.

“Jika membandingkan antara apa yang disampaikan oleh Presiden dalam pidatonya di UNFCCC dengan kebijakan pembangunan ekonomi nasional, terlihat ketimpangan yang begitu besar. Pada akhirnya, komitmen negara Indonesia yang direpresentasikan oleh Presiden menjadi tidak bermakna apa-apa”, demikian tegas Kurniawan Sabar dari Eksekutif Nasional WALHI

Bukannya membangun langkah-langkah adaptasi dari dampak perubahan iklim, wilayah pesisir Indonesia justru semakin massif dikonversi untuk pembangunan proyek-proyek reklamasi yang justru akan semakin meningkatkan kerentanan dari wilayah ini, selain juga menghilangkan sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang tinggal di sana. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai kota di Indonesia sedang dan akan berlangsung proyek reklamasi seperti di Teluk Benoa Bali, Teluk Palu, Sulawesi Tengah, dan reklamasi di pesisir kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Dalam sektor energi yang didorong oleh Presiden dalam pidatonya sebagai komimen yang akan dilakukan, pada kenyataannya kebijakan ekonomi dan pembangunan dalam negeri belum berubah dari ketergantungan terhadap energi kotor batubara. Lalu bagaimana kita mau menurunkan emisi jika terus bergantung dengan batubara dan kapan kita mau beralih ke energi terbarukan.

Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel mengatakan “rencana pembangunan rel kereta api di Palembang, Sumatera Selatan merupakan bukti bahwa produksi batubara akan terus ditingkatkan. Pemerintah justru akan memfasilitasi percepatan distribusi batubara dengan transportasi kereta api. Jika proyek ini tidak dihentikan, maka pidato Presiden dianggap hanya sebagai pencitraan di mata internasional. Sementara keselamatan rakyatnya dan nasib lingkungan hidup terus harus bertarung sendiri dengan dampak perubahan iklim dan ancaman investasi yang begitu massif”. (selesai)

Paris, 2 Desember 2015.
Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158, +33753309001
Narahubung di Jakarta: Nur Hidayati : 081316101154
Edo Rakhman: 081356208763

Spoke Persons WALHI di Paris yang dapat dihubungi:
1.     Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI
2.     Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI
3.     Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel
4.     Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah
5.     Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau
6.     Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi

Siaran Pers : Pidato Presiden RI di UNFCCC, Antara Komitmen dan Kontradiksi

Kamis, 17 Desember 2015

Merespon Pidato Presiden RI di COP 21 Paris

Paris, 30 November 2015. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menyampaikan pidato di sidang UNFCCC di Paris pada pukul 16. 30 waktu Paris. Dalam pidatonya, Presiden RI menyampaikan beberapa point terkait dengan masalah yang dihadapi Indonesia khususnya dalam kabut asap, dan komitmen pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim.

Dalam pidatonya, Presiden menyampaikan beberapa hal penting. Sebagai negara pemilik hutan terbesar, yang menjadi paru-paru dunia. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah lautnya mencapai dua pertiga dari wilayah Indonesia, yang rentan dengan perubahan iklim, khususnya pulau-pulau kecil. Dengan prosesntasi 60% penduduk Indonesia tinggal di pesisir. Presiden dalam pidatonya juga menyampaikan masalah kebakaran hutan dan lahan, dan upaya penanggulangannya, baik dalam upaya penegakan hukum maupun langkah-langkah prevensi yang telah disiapkan dintaranya restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut.

Bagi WALHI, penyampaian kesadaran kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim ini menjadi penting. Yang mesti menjadi perhatian khusus, di tengah kerentanan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim, konversi terus terjadi. Berbagai proyek reklamasi terjadi di Indonesia, dan pulau-pulau kecil diserbu industri tambang dan sawit. Artinya, di tengah kerentanan, pemerintah terus memproduksi pembangunan berisiko tinggi.

Selain masalah dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia, Presiden juga menyampaikan komitmennya sebagai upaya kontribusi dalam aksi global menurunkan emisi sebagaimana yang tercantum dalam INDC Indonesia, menurunkan emisi hingga 29% dengan melalui business as usual sampai tahun 2030, dan 41% dengan bantuan internasional. Penurunan emisi dibagi dengan mengambil langkah di beberapa bidang antara lain energi, tata kelola hutan dan lahan, dan di bidang maritim.

Sejak awal, kami telah mengkritik INDC Indonesia, yang dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, tidak menghitung emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal kita tahu, bahwa sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari land use land use change and deforestasion (LULUCF). pemerintah Indonesia harusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar.

Penetapan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut jika situasi seperti saat ini, tidak memiliki kekuatan signifikan. Kita tahu, kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Inpres No. 8/2015 sangat lemah, terlebih tanpa ada review terhadap perizinan lama dan penegakan hukum.

Terlebih jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia sebagaimana yang termuat dalam RPJMN 2015-2019. Antara lain di sektor energi, pembangunan 35.000 megawatt, sebagian besar masih mengandalkan batubara, energi yang kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia. Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29% pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024. Artinya, komitmen yang disampaikan oleh Presiden meragukan.

Pertanyaan kritisnya dari pidato yang disampaikan hari ini di Paris adalah jika terdapat gap antara RPJMN dengan INDC Indonesia yang telah disubmit ke UNFCCC sebagai sebuah komitmen Indonesia menurunkan emisi global, akan kah ada masa transisi untuk menjembatani kotradiksi antara komitmen penurunan emisi dengan kebijakan pembangunan yang memproduksi emisi.

Paris, 30 November 2015.

Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158

Narahubung di Jakarta, Nur Hidayati : 081316101154

Spoke Person di Paris yang dapat dihubungi:

  1. Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI
  2. Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI
  3. Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah
  4. Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau
  5. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi
  6. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel

Siaran Pers : ​Inisiative Restorasi Landscape, Solusi Palsu Penyelamatan Lingkungan Hidup

Kamis, 17 Desember 2015

Paris-Pada saat konferensi perubahan iklim di Paris, juga berlangsung the Global Landscape Forum 2015 yang digagas oleh private sektor yang selama ini bergelut di sektor sumber daya alam baik kehutanan maupun sawit. Forum ini konon sebagai bagian dari komitmen private sector yang selama ini berbisnis di industri ekstraktive terhadap perubahan iklim, penyelamatan lingkungan, menyelamatkan hutan dan gambut, serta penyelesaian konflik

WALHI menilai bahwa forum ini, termasuk inisiative restorasi berbasis landscape setidaknya di 5 provinsi yakni Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalbar dan Kaltim, tidak lebih hanya menjadi upaya green washing dari korporasi yang selama ini telah gagal mengelola sumber daya alam, dengan indikasi kebakaran dan bencana ekologis lainnya, konflik dan kemiskinan. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi mengatakan “jika dilihat dari wilayah landscape yang konon akan dipulihkan, dari satu juta hektar lahan yang direstorasi dengan pendekatan landscape ini, justru berada di luar area konsesi korporasi yang rusak dan atau terbakar”. Merusak di tempat lain, merestorasi di tempat lainnya.

Inisiative landscape ini juga bagian dari skenario dari korporasi untuk menguasai hutan dengan atas nama restorasi, dan tentu saja bagian dari modus land banking. Ini adalah Neoliberalisme “hijau”.  Korporasi dan elit politik menjadikan isu lingkungan hidup sebagai komoditas baru untuk terus mengakumulasi keuntungan mereka.

Salah satu problem pokok di sektor kehutanan dan perkebunan selain kerusakan lingkungan hidup adalah konflik struktural negara-korporasi yang berhadapan dengan rakyat. Bagaimana inisiative ini dapat menyelesaikan konflik, jika selama ini korporasi-korporasi ini justru menjadi aktor atau bagian dari konflik itu sendiri? gugat Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan.

Selama ini komitmen nol deforastasi yang dikampanyekan oleh perusahaan pada tahun 2020 misalnya, sampai saat ini belum terbukti sama sekali. Bahkan titik api justru ditemukan banyak titip api di wilayah konsesi yang punya komitmen nol deforestasi. “Korporasi yang selama ini telah terbukti gagal sesunguhnya tidak lagi kredibel untuk bicara penanganan perubahan iklim”, ungkap Kurniawan Sabar, dari Eksekutif Nasional WALHI. Bagaimana mungkin memberikan kembali kepada korporasi dalam menangani perubahan iklim, karena faktanya penyumbang emisi yang sangat besar dari praktek buruk korporasi dalam menjalankan bisnisnya.

Yang ironi tentu saja negara, jika masih terus memberikan kesempatan dan kepercayaan untuk mengambil peran dalam mengatasi krisis dan perubahan iklim kepada korporasi yang terbukti telah gagal selama ini mengelola sumber daya alam.

Bagaimana mungkin korporasi yang terbukti telah gagal dalam mengelola sumber daya alam masih terus diberi kepercayaan oleh negara/pemerintah, jika tidak ada kepentingan bagi kekuasaan untuk kongkalikong dalam menguasai tanah. Usaha lahan baru untuk konservasi.

Kami juga mengajak konsumen untuk tidak terkecoh dengan “jualan” penyelamatan hutan dan gambut melalui donasi yang akan digalang oleh korporasi dari konsumen yang membeli produk mereka. Karena sesungguhnya mereka sedang mengalihkan tanggungjawab kerusakan hutan yang disebabkan oleh buruknya praktek buruk mereka, kepada konsumen. Mari tuntut tanggungjawab mereka untuk merubah watak buruk mereka, menghentikan ekpansi dan memulihkan hutan dan gambut yang telah mereka rusak. (selesai)

Paris, 7 Desember 2015.

Narahubung di Paris, Kurniawan Sabar : +33754235158

Narahubung di Jakarta, Nur Hidayati : +6281316101154

Spoke Persons yang dapat dihubungi:

  1. Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI
  2. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi
  3. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel
  4. Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau

Siaran Pers : Keuntungan bagi negara Kaya, tidak ada jaminan perbaikan iklim dan keselamatan rakyat

Kamis, 17 Desember 2015

Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)/Friends of the Earth Indoensia Menyikapi kesepaktan baru dalam UNFCCC COP 21 Paris

Paris, 12 Desember 2015. Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris telah berakhir dengan lahirnya kesepakatan baru untuk penanganan perubahan iklim global (1). Meski sebelumnya, konvensi yang harusnya berakhir tanggal 11 Desember 2015, mesti diperpanjang satu hari karena sulitnya menemukan kesepakatan. Betulkah ini menjadi solusi?

“Bagi politisi, ini adalah kesepakatan yang adil dan ambisius, namun hal ini justru sebaliknya. Kesepakatan ini pasti akan gagal dan masyarakat sedang ditipu. Masyarakat terdampak dan rentan terhadap perubahan iklim mestinya mendapat hal yang lebih baik dari kesepakatan ini. Mereka yang paling merasakan dampak terburuk dari kegagalan politisi dalam mengambil tindakan,” menurut Dipti Bathnagar, Koordinator Keadilan Iklim dan energi, Friends of the Erath International dalam keterangan persnya (2).

Negara-negara maju telah menggeser harapan sangat jauh dan memberikan rakyat kesepakatan palsu di Paris. Melalui janji-janji dan taktik intimidasi, negara-negara maju telah mendorong sebuah kesepakatan yang sangat buruk. Negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa mestinya melakukan membagi taggung jawab yang adil (fair share) untuk menurunkan emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, di Paris, negara-negara kaya berupaya membongkar konvensi perubahan iklim untuk memastikan kepentingan mereka sendiri.

Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye WALHI (Friends of the Earth Indonesia) menegaskan, “bagi Indonesia, kesepakatan di Paris akan memberikan dampak sangat signifikan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Kesepakatan iklim di Paris, tidak memberikan jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, dan dengan demikian, lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan dan terdampak perubahan iklim akan berada dalam kondisi yang semakin mengkhawatirkan.”

Sikap pemerintah Indonesia yang sangat pragmatis dan tidak memainkan peran strategis dalam negosiasi di Paris, sesungguhnya telah meletakkan Indonesia sebagai negara yang hanya mengikut pada kesepakatan dan kepentingan negara maju. Pemerintah Indonesia lebih mementingkan dukungan program yang merupakan bagian dari mekanisme pasar (market mechanism) yang telah dibangun oleh Negara-negara maju dalam negosiasi di Paris.

“kita tidak bisa berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang lebih maju, jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar khususnya hanya untuk memenuhi hasrat negara maju untuk mitigasi perubahan iklim. Dukungan yang dimaksudkan pemerintah Indonesia dari kesepakatan di Paris tidak akan berarti dan tidak akan berhasil tanpa perbaikan tata kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut, menghentikan penggunaan energi dari sumber kotor batubara, serta menghentikan kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.” Lanjut menurut Kurniawan Sabar.

Sebagai catatan kritis, beberapa masalah penting yang menjadi analisis group Friends of the Erath terkait kesepakatan di Paris (3), yakni:

Pertama, kesepakatan Paris menegaskan bahwa 2 derajat Celcius adalah tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan bahwa setiap negara harus meningkatkan upaya untuk membatasi peningkatan temperatur hingga batas 1,5 dearajat Celcius. Hal ini tidak akan berarti tanpa mensyaratkan negara-negara maju untuk memangkas emisi mereka secara drastis dan memberikan dukungan finansial sesuai tanggung jawab yang adil, serta memberikan beban tambahan kepada negara-negara berkembang. Untuk mencegah perubahan iklim kita mesti segera dan secara drastis menurunkan emisi, tidak melakukan penundaan.

Kedua, tanpa kompensasi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, negara-negara yang rentan akan menaggung berbagai masalah dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh mereka.

Ketiga, tanpa finansial yang memadai, negara-negara miskin akan dijadikan sebagai pihak yang harus menaggung beban dari krisis yang tidak berasal dari mereka. Pendanaan tersedia, namun kemauan politik (political will) tidak ada.

Keempat, satu-satunya kewajiban yang mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara maju adalah mereka harus melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan.

Kelima, pintu sangat terbuka bagi pasar untuk mengeksploitasi krisis iklim tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks. Hal ini menjadi kartu bebas bagi poluter terbesar dalam sejarah. Dalam kasus REDD+ misalnya, akan menjadikan negara-negara maju mendukung proyek perkebunan yang merusak di negara-negara berkembang dan bukannya berupaya mengurangi emisi dari bahan bakar fosil di negeri mereka sendiri.

Di hari akhir negosiasi iklim di Paris, lebih dari 2.000 orang aktivis federasi Friends of the Erath International bersama ribuan masyarakat Paris melakukan aksi untuk menyampaikan pesan global untuk keadilan klim dan perdamaian (Climate Justice Peace) yang tersebar di tengah kota Paris (4). Aksi ini sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil yang dimobilisasi oleh Friends of the Earth International untuk menilai dan menyampaikan tuntutan masyarakat sipil untuk keadilan iklim selama proses UNFCCC COP 21 Paris.

  1. Download dokumen kesepakatan UNFCCC COP 21 Paris: http://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/l09.pdf
  2. Siaran Pers Friends of the Earth International: (1)http://www.foei.org/press/archive-by-subject/climate-justice-energy-press/paris-climate-deal-sham
  3. Untuk analisis yang lebih lengkap dari group Friends of the Earth akan disajikan dalam: http://www.foei.org/what-we-do/paris
  4. Thousands of individuals spelled out “Climate Justice Peace” across Paris using geo-localisation software, recorded online herehttp://www.climatejusticepeace.org/

Referensi lainnya:  http://newint.org/features/web-exclusive/2015/12/12/cop21-paris-deal-epi-fail-on-planetary-scale/

Kontak person di Paris:

Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI: +33754235158+6281241481868

Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah +628115200822

Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI +6281293993460

Kontak Person di Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI

Nur Hidayati: 081316101154

Khalisah Khalid: 081311187498

Pernyataan Sikap : COP 21 Paris, Reclaim Demi Keselamatan Rakyat dan Bumi

Kamis, 17 Desember 2015

Akhiri Berikan Kesempatan kepada Korporasi Pelaku Pencemar

Paris- Konferensi Para Pihak atau Conference Of Parties (COP) akan dimulai pada tanggal 30 November 2015 di Paris. Para Kepala Negara, termasuk Presiden Jokowi diagendakan menyampaikan pidato di dalam UNFCCC pada tanggal 30 November 2015.

Sebagai sebuah momentum yang menentukan paska selesainya Kyoto Protokol, tentulah COP Paris ini diharapkan dapat merumuskan langkah-langkah yang mendesak dan konkrit oleh Para Pihak khususnya Kepala Negara, demi keselamatan seluruh makhluk bumi. Desakan kuat dari organisasi masyarakat sipil, agar COP21 Paris ini menghasilkan kesepakatan yang kuat, untuk menurunkan emisi secara signifikan agar suhu bumi dapat turun 1,5 derajat celcius seperti sebelum masa industri. Target ini bisa dilihat ambisius dari sebelumnya 2 derajat celcius, tapi justru ini kesempatan terbaik bagi pemimpin dunia jika ingin memberi terobosan yang signifikan.

Selama ini kami menilai, Kyoto Protokol terus diperlemah dengan tekanan dari sistem ekonomi politik kapitalistik yang menjadikan isu perubahan iklim sebagai peluang baru bagi korporasi dan negara industri untuk semakin mengakumulasi modal, dengan menjadikan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, khususnya dalam mitigasi perubahan iklim melalui REDD salah satunya, korporasi yang sesungguhnya sebagai pencemar justru dijadikan seperti malaikat. Faktanya, krisis dunia terus terjadi. Penanganan perubahan iklim jalan di tempat, tidak ada kemajuan yang signifikan. Karenanya, paradigma ekonomi dan pembangunan dunia juga harusnya berubah.

Bagaimana dengan Indonesia? Kami meyakini bahwa mata dunia akan tertuju kepada Indonesia. Namun sayangnya sorotan tersebut bukan karena keberhasilan pemerintah Indonesia memenuhi komitmennya menurunkan emisi 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional sampai tahun 2020. Lagi-lagi, komitmen tersebut tidak terpenuhi, karena pemerintah Indonesia mengikuti dan mengambil pilihan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, proyek-proyek REDD dijadikan isu utama dalam adaptasi perubahan iklim. Apa faktanya? Jika sumber emisi GRK Indoesia terbesar dari land use land use change and deforestation (LULUCF), maka peristiwa kebakaran hutan dan lahan justru menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia. Artinya, selama ini nyaris tidak ada pembenahan tata kelola hutan dan gambut, bahkan dibalik kemasan REDD sekalipun atau dengan kemasan restorasi ekosistem. Kalimantan Tengah yang dijadikan sebagai provinsi project REDD, tingkat kebakaran hutan dan lahan justru parah, menjadi gambaran jelas bahwa solusi palsu penaganan perubahan iklim, hanya melahirkan krisis.

Kegagalan tersebut dan rentetan bencana ekologis ini, mestinya memberi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia. COP 21 Paris menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia untuk merubah paradigma pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Jalannya adalah dengan memberikan kepastian alas hak atau hak tenurial kepada rakyat dalam mengelola sumber-sumber kehidupannya.

WALHI berharap kehadiran Presiden Jokowi ke COP 21 dan pidatonya di UNFCCC  untuk menyampaikan komitmen menurunkan emisi GRK dengan baseline jelas dan menghitung dari kebakaran hutan dan lahan serta emisi dari sektor energi kotor seperti batubara. Karenanya, INDC’s Indonesia yang masih menunjukkan keraguan komitmen/kontribusi Indonesia yang dapat dilihat dari hanya memasukkan indikasi penurunan emisi 29% dengan mekanisme business as usual (BAU), harus dikoreksi.

Jika pemerintah berkomitmen membangun ekonomi yang berkelanjutan, maka kami mendesak tidak lagi menyerahkan kepada pasar dan  korporasi yang akan semakin melanggengkan komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam. Kami berharap dalam pidatonya, Jokowi mengakui dan menjadikan model kelola rakyat yang berbasiskan pada kearifan lokal sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, bukan kepada korporasi termasuk dalam restorasi ekosistem. Kami percaya, bahwa ekonomi bangsa ini akan lebih berkelanjutan dan berkeadilan jika dikelola oleh rakyat dengan kearifan dan pengetahuan lokal yang dimilikinya.

Kami juga berharap, pemerintah tidak lagi memberi ruang bagi upaya green wash korporasi yang terlibat dalam kasus asap, baik yang melakukan pembakaran maupun yang di wilayah konsesinya ditemukan titik api, termasuk dengan atas nama restorasi ekosistem. Jika dalam COP Paris nanti Presiden Jokowi masih memberikan kesempatan kepada korporasi, termasuk dengan menggunakan mekanisme tradingdalam penanganan perubahan iklim, maka sama artinya pemerintah melecehkan penderitaan korban asap. (selesai)

Contact Person:

  1. Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI: +6281241481868
  2. Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI: +6281293993460
  3. Rio Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah: +628115200822
  4. Riko Kurniawan: Direktur WALHI Riau: +6181371302269
  5. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi: +628117463789
  6. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel: +628127312

Narahubung: Khalisah Khalid di +6281311187498

Rumah Evakuasi Balita 5 Ulu didirikan masyarakat sipil untuk Melindungi rakyat dari Pencemaran asap Karhutla di Sumsel

Sabtu, 31 Oktober 2015

Terkait pemberitaan beberapa media massa yang menyatakan bahwa Posko / Rumah Evakuasi Balita Korban asap yang berada di Jalan Kh.Azhari Lorong Keramat No 124 RT 4  RW  1 Kelurahan 5 Ulu Kecamatan Seberang Ulu 1 Palembang, yang pada jumat  30 Oktober 2015 kemarin di kunjungi oleh presiden RI baru didirikan pada malam hari sebelum kedatangan Presiden. Maka dengan ini kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Korban Asap di Sumsel menyatakan dengan tegas berita tersebut tidak benar dan menyesatkan.

Adapun Rumah Evakuasi Balita 5 Ulu tersebut adalah murni dari insisatif masyarakat sipil dan tidak ada campur tangan pemerintah baik pusat maupun daerah, proses pendiriannya puntelah dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2015, dengan menyewa satu unit rumah kosong tua yang berada di RT 4 RW 1 milik keluarga Cek Gadis yaitu H.Sul, dengan lama sewa selama 6 bulan.

selanjutnya setelah ada kesepakatan sewa menyewa antara Koalisi Masyarakat Peduli Balita Korban Asap dan pihak pemilik rumah, maka team relawan dibantu oleh warga mulai melakukan perbaikan perbaikan terhadap fisik rumah, seperti pembuatan toilet, perbaikan lantai dan jembatan serta penutupan Ventilasi rumah, agar asap yang berada diluar tidak masuk kedalam rumah. Serta memperbaiki Instalasi air yang disalurkan dari rumah ketua RT setempat.

Selanjutnya karena Rumah Evakuasi yang kami buat ini untuk Balita maka kami mentapkan  beberapa standart seperti ruangan harus memiliki pembersih udara dan Air Conditioner,untuk melengkapi hal itu maka team relawan melakukan perbaikan dan memeriksa instalasi listrik dengan tujuan agar peralatan listrik dapat dipakai disana.Selain memperbaiki fisik rumah, team relawan juga pada tanggal 26 Oktober 2015  ketika bertemu dengan Kepala Dinas Sosial Propinsi Sumsel yang saat itu berkunjung ke REB Jakabaring. Telah menyampaikn secara lisan kepada kepala Dinas Sosial dan rombongan bahwa Posko REB juga berada di Kelurahan 5 Ulu palembang.

Presiden Joko Widodo meninjau rumah evakuasi balita yang tarpapar asap di kawasan 5 Ulu, Palembang, Sumsel (antara foto)

Saat seluruh Persiapan selesai dan fasilitas REB sudah dilengkapi maka kegiatan di Rumah evakuasi Balita berjalan dengan normal  (dokumentasi kegiatan Terlampir), walaupun sebenarnya kerja kerja sosial dan kemanusian sudah dilakukan sejak sebelum rumah evakuasi tersebut bisa digunakan misalnya mengantarkan beberapa balita yang diduga terkena ISPA kerumah sakit dan ke rumah evakuasi di jakabaring.

Fakta Fakta diatas menunjukan bahwa REB Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Korban asap yang berada di 5 Ulu telah di mulai lama, jauh sebelum Bapak Presiden berkunjung bahkan sebelum Bapak Presiden melakukan kunjungan kerja Ke Amerika yang sepulangnya baru memutuskan untuk berkantor di Kabupaten OKI Sumsel. Selain itu sampai dengan Pukul 7.30 Wib Pagi (30/10), tidak ada satu orang pun dari Relawan mengetahui Jokowi akan berkunjung ke REB 5 Ulu, dan baru di ketahui ketika dari Pihak Paspampres menemui Teman teman di Posko menginformasikan bahwa Kemungkinan Bapak Prsiden akan berkunjung ke Posko REB yang kami buat.  Untuk itu jika di beberapa berita On line yang tersebar menuliskan bahwa rumah tersebut adalah rumah yang dibuat dalam waktu semalam maka sangat keberatan dan hal itu sangat menyesatkan Publik dan pembaca.

Sekali lagi kami ingin menginggatkan bahwa posko ini adalah posko yang dibuat masyarakat sipil yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah lokal maupun di tingkat nasional. Kami mendirikan Posko ini murni kerja sosial dan kemanusian karena melihat tidak ada upaya pemerintah Daerah untuk melindungi masyarakat dari paparan Asap Kebakaran Hutan dan lahan yang dilakukan Koorporasi di Sumsel. Dan harapan kami apa yang kami lakukan ini dapat di Adopsi dan dilakaukan pemerintah sesuai dengan kewajibannya dalam Undang Undang.

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Korban Asap

Koodinator REB 5 Ulu

Afex Indawan

HP : 085658743737

FB Group : Koalisi Peduli Balita Korban Asap

(https://www.facebook.com/groups/693746334060329/?fref=ts )

 

Kasus PT. BMH Pintu masuk menjerat Koorporasi Besar

Jum’at 23 Oktober 2015

BMH berpotensi lepas dari jeratan Hukum.

Jakarta, 20/09/2015. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 3 februari 2015 telah mengajukan gugatan perdata kepada PT Bumi Mekar Hijau selaku perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Gugatan perdata itu didaftarkan melalui pengadilan Negeri Palembang. Dasar gugatan adalah mengacu pada data tahun 2014 dimana terdapat 531 titik di lahan konsesi perusahaan tersebut. PT BMH layak digugat karena karena harus bertanggung jawab atas pembakaran hutan dan lahan seluas seluas 20.000 hektar di kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Untuk diketahui, PT BMH merupakan anak perusahaan dari Asia Pulp and Paper (APP) yang memiliki luas areal konsesi 250.370 ha di kabupaten Ogan Komering Ilir.

Gugatan terhadap PT.BMH yang didaftarkan KLHK menjadi pembuktian atas perintah tindak tegas dari Presiden terhadap korporasi pembakar hutan saat berkunjung ke Sumsel pada 7 September lalu. Demikian pula bagi publik menjadi rujukan untuk tetap percaya kepada pemerintah. Kepercayaan tersebut tentu ada syaratnya yaitu KLHK harus bersungguh-sungguh dalam mengawal persidangan ungkap Hadi Jatmiko selaku Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan. Kami tidak ingin pemerintah menghadirkan pembela yang hanya diam dan maggut-manggut di pengadilan tanpa argumentasi. Kita ingin mulai dari pengacara hingga saksi ahli yang dihadirkan merupakan orang pilihan terbaik pemerintah yang memiliki komitmen kuat untuk membela total kepentingan bangsa dan negara imbuh Hadi. Jika nanti pemerintah kalah, kami bisa memastikan bahwa akan banyak korporasi baik di Sumsel maupun di tingkat nasional akan lepas dari jerat hukum. Hadi Jatmiko berharap pula kepada para hakim dalam kasus ini untuk berpihak pada kebenaran yang hakiki dan tidak perlu takut pada intervensi.

Sejak awal menurut Hadi Jatmiko Walhi mendukung penuh upaya pemerintah melalui KLHK mengajukan gugatan perdata kepada PT BMH. Karenanya jangan sampai kami selaku bagian dari masyarakat dikecewakan oleh kinerja buruk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Muhnur Satyahaprabu Manager Kabijakan dan Pembelaan Hukum Walhi menyayangkan Kementrian Lingkungan dan Kehutanan seolah-olah merahasiakan gugatan ini didepan publik, padahal peran publik dalam mendukung upaya kongkret pemerintah menggugat perusahaan sangat diperlukan. “pemerintah dari awal tidak serius mengajukan gugatan ini, atau setidaknya target pemerintah mengajukan gugatan ini perlu dipertanyakan. Banyak indikasi ketidakseriusan pemerintah selama dipersidangan berlangsung seperti tidak maksimalnya pembuktian yang dilakukan oleh pemerintah, tidak mampu megeksplore lebih dalam tentang dampak dari kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan” ujar Muhnur

Kejanggalan juga bisa dilihat dari susunan Majelis Hakim yang memimpin persidangan kasus tersebut. Berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor : 134/KMA/SK/IX/2011 tentang sertifikasi hakim lingkungan maka ketua majelis hakim yang memimpin persidangan kasus tersebuut haruslah hakim yang bersertifikasi lingkungan tutup Muhnur;

Kontak Person :

  • Muhnur Satyahaprabu (081326436437)
  • Hadi Jatmiko (08127312042)

“Jejak Asap Korporasi: Tanggung Gugat Korporasi terhadap Dampak dan Pemulihan Lingkungan Hidup”

Jumpa Pers bersama di Eksekutif Nasional Walhi terkait perusahaan perusahaan yang terlibat pembakaran Hutan dan Lahan Di kalimantan dan Sumatera

 

Jakarta, 1 Oktober 2015. Hari ini WALHI mengeluarkan hasil analisis kebakaran lahan dan hutan yang menunjukkan peran korporasi, khususnya di sektor kehutanan dan perkebunan, dalam tragedi asap yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir di Indonesia. Hasil analisis ini juga menunjukkan jejak api group-group usaha yang  difokuskan pada 5 propinsi yang mengalami dampak terparah, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Kebakaran hutan dan lahan selama 18 tahun menjadi fakta tak terbantahkan bahwa monopoli kawasan hutan dan lahan untuk pengembangan investasi perusahaan merupakan penyebab utama kebakaran dan polusi asap di Indonesia. Sampai di tahun 2014 saja, 4 (empat) sektor industri ekstraktif (logging, perkebunan kelapa sawit, HTI, dan tambang) telah menguasai sekitar 57 juta hektar hutan dan lahan di Indonesia. Penguasaan ini dibarengi praktik buruk pengeloaan konsesi, salah satunya adalah tindak pembakaran hutan dan lahan gambut untuk kemudahan pengembangan produksi.

Penggundulan hutan dilakukan secara masif dan sistematis, dan diikuti dengan pengeringan lahan gambut dengan cara membelah-belah lahan gambut dan membangun kanal-kanal. Pembersihan lahan dilakukan dengan pembakaran yang bertujuan untuk menghemat biaya operasi, juga untuk mengurangi derajat keasaman lahan gambut, sehingga cocok untuk ditanami tanaman komoditas industri. Praktik ini hakikatnya telah menghancurkan hutan dan lahan gambut sehingga ekosistem kehilangan keseimbangan alaminya.

Bertahun-tahun titik api ditemukan di konsesi perkebunan monokultur skala besar, terutama yang beroperasi di lahan gambut. Dalam periode Januari – September 2015 terdapat 16.334 titi api (LAPAN) atau 24.086 titi api (NASA FIRM) untuk 5 propinsi; Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau. Analisis data dan fakta kebakaran hutan dan lahan di 5 propinsi sampai di bulan September 2015, WALHI menemukan bahwa titi api berada di dalam konsesi perusahaan; Kalimantan Tengah 5.672, Kalimantan Barat 2.495, Riau 1.005, Sumatera Selatan 4.416, dan Jambi 2.842.

Edo Rakhman, Manajer Kampanye Eksekutif Nasional WALHI menerangkan,”Hasil analisis dari 5 propinsi yang dilanda asap terparah, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengahmenunjukkan bahwa mayoritas titik api yang ditemukan di tahun ini berada di dalam konsesi perusahaan, terutama HTI (Hutan Tanaman Industri) sebanyak 5.669 titik api dan perkebunan kelapa sawit sebanyak 9.168 titik api. Hasil overlay titik api dengan konsesi perusahaan menunjukkan bahwa di  4 propinsi (Jambi, Sumsel, Riau, dan Kalteng), perusahaan group Wilmar dan Sinarmas paling banyak ditemukan berkontribusi terhadap keseluruhan jumlah titik api.  Group Wilmar 27 perusahaan dan Group Sinarmas 19 perusahaan.”

Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau mengatakan,”Hasil analisis yang dilakukan oleh Koalisi Eyes of the Forest di mana WALHI Riau menjadi bagiannya, menunjukkan bahwa group Asia Pulp and Paper dan RGM/APRIL  (industri HTI) merupakan group dengan jumlah perusahaan yang terbanyak menyumbang titik api, yakni masing-masing 6 perusahaan”

Kebakaran hutan dan polusi asap telah memberikan dampak yang sangat buruk terhadap kesehatan masyarakat. Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat polusi asap setidaknya telah mencapai jumlah yang sangat besar, Jambi 20.471 orang, Kalteng 15.138 orang, Sumatera Selatan 28.000 orang, Kalimantan Barat 10.010 orang.

Anton P. Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat, menegaskan, “Harus ada perubahan paradigma dan pendekatan pemerintah dalam menangani kebakaran dan asap, bukan hanya melakukan upaya setelah kebakaran tersebut terjadi (emergency response), tetapi harus kepada upaya-upaya pencegahan secara sistematis dan struktural, termasuk dalam hal ini menuntut tanggung gugat perusahaan atas dampak kebakaran dan polusi asap ini. Kehadiran negara dalam situasi seperti ini juga sangat penting untuk memastikan jaminan hak warga negara atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.”

Hal senada disampaikan Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan , “aktor utama pelaku pembakaran hutan adalah korporasi, sehingga negara harus memastikan tanggung jawab penuh dari pihak perusahaan. Jika negara ingin tanggung jawab terhadap masyarakatnya, maka negara juga mesti lebih berani menuntut tanggung jawab perusahaan atas dampak buruk kebakaran dan asap terhadap masyarakat dan memastikan pemulihan lingkungan.”

Secara khusus, terkait dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, Arie Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah menerangkan,” tanggung jawab negara bukan hanya pada saat ada asap. Kementerian Kesehatan perlu melakukan monitoring kesehatan secara berkala untuk wilayah yang terpapar asap baik sekarang maupun pasca kabut asap. Mesti segera ada penanganan secara maksimal terhadap penderita ISPA. Kami juga menghimbau Menteri Kesehatan, Ibu Nina Moeloek untuk turun ke lapangan dan merasakan dampak asap tersebut, sehingga tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bisa mencederai rasa keadilan masyarakat.”

Rudiansyah, WALHI Jambi menegaskan, “sebagai bentuk upaya memuntut tanggung gugat perusahaan akibat kebakaran dan polusi asap ini, maka WALHI akan menempuh upaya hukum, seperti clas action, dan citizen law suit baik yang akan dilakukan di daerah maupun di nasional. Upaya ini sebagai bagian yang tak terpisakan dari tuntutan atas peran dan fungsi negara untuk melakukan penegakan hukum atas korporasi  yang melakukan pembakaaran hutan dan lahan gambut di Indonesia.”

Contact person:

Edo Rakhman 081356208763

Rudiansyah (WALHI Jambi) 081366699091

Arie Rompas (WAHI Kalimantan Tengah)08115200822

Hadi Jatmiko (WALHI Sumatera Selatan) 08127312042

Anton P. Widjaya (WALHI Kalimantan Barat)0811574476

Riko Kurniawan (WALHI Riau) 081371302269

Siaran Pers : “Dimana ada asap disana Pasti ada konsesi”

Selasa, 01 September 2015

Sebaran Hotspot selama Agustus 2015

Jakarta, 1 September 2015. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terus terjadi dalam 1 dekade ini merupakan gambaran nyata bahwa kerusakan alam telah sangat parah dan sistematis. Setidaknya 66 kabupaten yang ada di 5 Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, langganan kebakaran dan “berasap” dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2011, ditemukan sebanyak 18.789 titik api dan pada tahun 2014 naik menjadi 20.253 titik api.

Peningkatan kebakaran bukan saja mengalami peningkatan dalam  jumlah titik api, tetapi juga terhadap intensitas kejadian kebakaran setiap tahunnya. Bila peningkatan titik api mulai terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, maka Sumatera mengalami peningkatan intensitas kejadian kebakaran hingga dua kali kejadian kebakaran dalam satu tahun.

Tahun 2014, ditemukan indikasi titik api terdapat pada kawasan hutan yang dibebani hak Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 4.084 titik api di 150 konsesi, dan 603 titik api di 85 konsesi perusahaan (IUPHHK-HA). Selanjutnya, selain pada kawasan hutan yang dibebani izin, kebakaran hutan dan lahan diduga marak juga terjadi di dalam dan di sekitar kawasan konsesi perkebunan kelapa sawit di kawasan APL dan kawasan hutan.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, dalam keterangan persnya menerangkan, “di tahun 2014, Presiden Jokowi telah berkomitmen Indonesia bebas asap 2015. Namun, kebakaran dan asap tahun ini menjadi bukti bahwa komitmen ini masih sangat jauh dari harapan. Ada 5 langkah strategis dan mendesak yang mesti dilakukan Presiden;  1. Menginstruksikan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati) untuk melakukan gerakan serentak penyekatan kanal dan menerapkan proses sanksi terhadap pemegang konsesi sawit, sebagai tindakan mendesak yang harus segera dilakukan oleh Kepala Daerah, 2. Melakukan upaya penegakan hukum terhadap perusahaan yang ditemukan adanya titik api di wilayah konsesinya, 3. Melakukan review perizinan terhadap konsesi yang mengalami kebakaran dan/atau mengalami konflik dengan masyarakat.  4. Menghentikan penerbitan izin baru sebagai kesempatan untuk melakukan evaluasi terhadap izin yang telah diberikan dan termasuk evaluasi terhadap pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap izin yang dikeluarkan, 5. Memulihkan kawasan hutan kritis dan memberi kesempatan pengolahan dan perlindungan hutan kepada masyarakat di sekitar hutan.”

Musri Nauli , Direktur Eksekutif WALHI Jambi menjelaskan “titik api terbanyak berasal dari gambut. Kawasan genting, unik dan penting sudah rusak. Kawasan yang selama ini mampu memberikan perlindungan dan sebagai tempat tangkapan air (catchment water area) dirusak oleh HTI, sawit dan berbagai aktivitas manusia lainnya kemudian menjadikan kubangan yang mudah terbakar. Pola ini berulang terus menerus dengan modus yang canggih, rapi dan pola tempat terbakar yang sama setiap tahun. Pemegang izin tidak mampu lagi menjaga lokasi izinnya. Selain para pelaku dijerat dengan berbagai UU seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU LH yang “tegas” adanya kebakaran di areal izinnya, para pemegang izin dapat diminta pertanggungjawabannya (absolute liability).

Tidak jauh berbeda, kebakaran tahun ini juga kembali terjadi di Kalimantan Tengah. Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah meyampaikan, “apresiasi terhadap penyegelan lokasi kebakaran di beberapa perusahan perkebunan di Kalimantan tengah, namun langkah ini belumlah cukup menyelesaikan masalah, jika tidak disertai dengan upaya rehabilitasi lahan gambut dan menghentikan perizinan perusahaan yang mengakibatkan konversi lahan gambut kepada investasi skala luas yang berbasis lahan di Kalimantan Tengah.”

sebaran hotspot 2014 – 2015

Terkait penegakan hukum atas kebakaran hutan dan lahan, sebagai contoh di Sumatera Selatan. Kami menilai pemerintah tidak serius melakukanya dan terlihat hanya formalitas saja. Gugatan pemerintah terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (APP Group) yang merugikan negara Rp. 7,9 triliun tahun 2014 lalu, sampai saat ini tidak terdengar gaungnya. Jangan sampai ini hanya upaya untuk mencuci kejahatan perusahaan dengan mengunakan tangan pemerintah dan pengadilan. Ketidakseriusan ini menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan berakibat bencana asap terus berulang tahun. terang Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan.

Masih terkait upaya penegakan hukum dalam penanganan kebakaran hutan, di Kalimantan Barat, Anton Wijaya, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Barat menegasakan, “Kepolisian Daerah Kalimantan Barat harus segera mencabut Maklumat terkait kebakaran hutan, karena di lapangan hanya menimbulkan kemarahan dan resistensi dari masyarakat lokal dan justru tidak menjawab persoalan pokok terkait penyebab kebakaran. Kepolisian harusnya melakukan penegakan hukum seadil-adilnya kepada para penjahat lingkungan yang jelas-jelas adalah korporasi yang melakukan pembakaran dalam proses pembersihan lahan-lahan konsesi mereka. Penegakan hukum juga harus dilakukan kepada stakeholder lain selain private sector yang memiliki mandat dan wewenang melakukan perbaikan tata kelola sumber daya alam, memastikan praktek kebun tanpa membakar tetapi tidak menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.” 

Fakta-fakta temuan WALHI di berbagai daerah menunjukkan bahwa akar masalah terbesar kebakaran dan asap di Indonesia sangat nyata dan sebenarnya sangat dipahami oleh pemerintah. “Mestinya pemerintah “memadamkan api dengan Pena”, bukan dengan modifikasi cuaca, karena sumber masalahnya dari penerbitan konsesi” tutup Abetnego Tarigan.

Contact person:

Zenzi Suhadi 081384502601

Musri Nauli 08127807513

Arie Rompas 08115200822

Hadi Jatmiko 08127312042

Anton P. Wijaya 0811574476

Left Menu Icon
ShareThis Copy and Paste
Skip to content Pers Release : Negara berpotensi kehilangan kekayaan sebesar 201,82 Triliun! Senin, 22 Desember 2014 Tanggal 9 Desember sebagai hari antikorupsi internasional masih menyisakan catatan kelam pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi di sektor sumber daya alam dan kehutanan masih cukup   memprihatinkan. Pemerintah maupun penegak   hukum   belum   serius melakukan perlawanan dengan terhadap Mafia Sumberdaya Alam. Hasil investigasi kasus korupsi di 6 daerah (Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Jawa Timur) ditemukan beberapa kasus yang terindikasi korupsi di sektor tata guna lahan dan hutan. Dari 6 kasus dugaan korupsi yang ditemukan, terdapat kerugian negara, sekurangnya 201.82 Triliun, dengan nilai kerugian masing masing sebagai Berikut : No Dugaan korupsi Wilayah terjadinya Potensi kerugian negara (Rupiah) 1 Pengusahaan tanaman teh di kawasan hutan lindung Bukit Dingin, Kota Pagar Alam. Sumatera Selatan 36,6 Miliar 2 Pengusahaan Sawit kawasan Suaka Marga Satwa Dangku, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan 118,32 Miliar 3 Penambangan batubara di kawasan hutan produksi Kabupaten Berau. Kalimantan Timur 241,04 Miliar 4 Pengusahaan     sawit   di     Kawasan Ekosistem lauser (KEL) Aceh 58,7 Miliar 5 Pengusahaan   tambang biji besi di Pulau Bangka Sulawesi Utara 200,75 Triliun 6 Pengusahaan tambang mangan di Manggarai Nusa Tenggara Timur 11,14 Miliar 7 Pengusahaan Pasir Besi di Kabupaten Malang Jawa Timur 600 Miliar 201.82 Triliun Catatan : Khusus perhitungan di Sulawesi Utara, potensi kerugian negara dihitung dari dana reklamasi dalam 20 tahun kedepan. Berdasakan catatan kami, sekurangnya terdapat 6 pola atau modus yang digunakan, di antaranya; Merambah hutan   baik secara illegal maupun legal. Misalnya seperti melakukan penegangan di wilayah Konservasi. Menyiasati/manipulasi perizinan. Tidak membayar dana reklamasi. Menggunakan broker untuk mengurus perizinan ke Penyelenggara Negara Menggunakan proteksi “back-up” dari oknum penegak hukum. Memanfaatkan posisinya sebagai penyelenggara negara agar perusahaan pribadinya. Berdasarkan temuan tersebut, kami menuntut pihak Pemerintah yang dalam hal ini Presiden, Pihak kementria terkait : Melakukan review perizinan yang berhubungan dengan sumberdaya alam di 6 wilayah temuan kami. Mencabut ijin korporasi   terhadap beberapa perusahaan yang   kami   temukan bermasalah. Presiden dan jajarannya harus menyiapkan strategi untuk melawan mafia sumberdaya alam demi kepetingan penyelamatan sumberdaya alam. Penegak hukum harus fokus mengejar mafia sumberdaya alam dan tidak memastikan oknumnya untuk tidak memberikan proteksi kepada para pencuri sumberdaya alam. Jakarta,11 desember 2014 Walhi Sumatera Selatan   – HAkA (Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh) – Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur – Ammalta Sulawesi Utara (Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang) – MCW (Malang Corruption Watch) – Warga Pulau Bangka Contact Person : –       Hadi Jatmiko (Walhi sumsel ) 0812 731 2042 –        Didi Koleangan (Ammalta) 0812 1234 7722 –       Bagus (HAkA) 0821 6126 1029 –       Akmal Adi Cahya (Malang Corruption Watch) –     Rully Darmadi (Jatam Kaltim) 0813 4260 0929 –       Merti Katulung (Warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara) 0823 9653 8734 Lais Abid (ICW) 0821 3302 6610 Siaran Pers : Komitmen Penurunan Emisi Indonesia VS Proyek Pembangunan Dalam Negeri Kamis, 17 Desember 2015 Aksi Warga bersama Walhi Sumsel dan Organisasi masyarakat Sipil lainnya menolak pembangunan rel kertea Api Batubara di palembang Paris. Pada tanggal 2 Desember 2015 ada dua aksi masyarkat sipil yang dilakukan di Indonesia, Jakarta dan Palembang. di Jakarta, masyarakat melakukan aksi menolak proyek reklamasi pesisir Jakarta yang akan semakin menenggelamkan Jakarta dan menyingkirkan ruang hidup masyarakat, khususnya nelayan. di Palembang, Sumatera Selatan, masyarakat melakukan aksi penolakan pembangunan rel kereta api double track yang dibangun dari Prabumulih ke Kartapati untuk pengangkutan batubara yang diproduksi oleh PT. Bukit Asam. Bertepatan dengan aksi tersebut, di Eropa, tepatnya di Paris, tengah berlangsung negosiasi para pihak khususnya kepala negara untuk membahas keselamatan bumi dari perubahan iklim dan dampak perubahan iklim (UNFCCC – COP 21 Paris). Peristiwa ini bisa jadi bagi sebagian besar orang dinilai tidak saling berhubungan. Namun, apa yang terjadi di Paris dalam COP 21 yang berlangsung, dengan apa yang terjadi di Indonesia dengan berbagai aksi penolakan dari masyarakat terkait dengan proyek pembangunan sesungguhnya menjadi gambaran nyata untuk melihat sekuat apa komitmen Indonesia dalam mitigasi san adaptasi perubahan iklim Pada sessi leaders event COP 21 (30 November 2015), Presiden telah menyampaikan pidatonya yang berisi penjelasan kondisi kerentanan Indonesia sebagai negara yang 60% masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang jumlah 17.000 ribu. Presiden juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29% sampai dengan tahun 2030 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Presiden juga menyampaikan salah satu langkah-langkah yang akan dilakukan untuk penurunan emisi di sektor energi adalah mendorong energi terbarukan hingga 23% dari sumber energi nasional pada tahun 2025. “Jika membandingkan antara apa yang disampaikan oleh Presiden dalam pidatonya di UNFCCC dengan kebijakan pembangunan ekonomi nasional, terlihat ketimpangan yang begitu besar. Pada akhirnya, komitmen negara Indonesia yang direpresentasikan oleh Presiden menjadi tidak bermakna apa-apa”, demikian tegas Kurniawan Sabar dari Eksekutif Nasional WALHI Bukannya membangun langkah-langkah adaptasi dari dampak perubahan iklim, wilayah pesisir Indonesia justru semakin massif dikonversi untuk pembangunan proyek-proyek reklamasi yang justru akan semakin meningkatkan kerentanan dari wilayah ini, selain juga menghilangkan sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang tinggal di sana. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai kota di Indonesia sedang dan akan berlangsung proyek reklamasi seperti di Teluk Benoa Bali, Teluk Palu, Sulawesi Tengah, dan reklamasi di pesisir kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam sektor energi yang didorong oleh Presiden dalam pidatonya sebagai komimen yang akan dilakukan, pada kenyataannya kebijakan ekonomi dan pembangunan dalam negeri belum berubah dari ketergantungan terhadap energi kotor batubara. Lalu bagaimana kita mau menurunkan emisi jika terus bergantung dengan batubara dan kapan kita mau beralih ke energi terbarukan. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel mengatakan “rencana pembangunan rel kereta api di Palembang, Sumatera Selatan merupakan bukti bahwa produksi batubara akan terus ditingkatkan. Pemerintah justru akan memfasilitasi percepatan distribusi batubara dengan transportasi kereta api. Jika proyek ini tidak dihentikan, maka pidato Presiden dianggap hanya sebagai pencitraan di mata internasional. Sementara keselamatan rakyatnya dan nasib lingkungan hidup terus harus bertarung sendiri dengan dampak perubahan iklim dan ancaman investasi yang begitu massif”. (selesai) Paris, 2 Desember 2015. Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158, +33753309001 Narahubung di Jakarta: Nur Hidayati : 081316101154 Edo Rakhman: 081356208763 Spoke Persons WALHI di Paris yang dapat dihubungi: 1.     Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI 2.     Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI 3.     Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel 4.     Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah 5.     Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau 6.     Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi Siaran Pers : Pidato Presiden RI di UNFCCC, Antara Komitmen dan Kontradiksi Kamis, 17 Desember 2015 Merespon Pidato Presiden RI di COP 21 Paris Paris, 30 November 2015. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menyampaikan pidato di sidang UNFCCC di Paris pada pukul 16. 30 waktu Paris. Dalam pidatonya, Presiden RI menyampaikan beberapa point terkait dengan masalah yang dihadapi Indonesia khususnya dalam kabut asap, dan komitmen pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim. Dalam pidatonya, Presiden menyampaikan beberapa hal penting. Sebagai negara pemilik hutan terbesar, yang menjadi paru-paru dunia. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah lautnya mencapai dua pertiga dari wilayah Indonesia, yang rentan dengan perubahan iklim, khususnya pulau-pulau kecil. Dengan prosesntasi 60% penduduk Indonesia tinggal di pesisir. Presiden dalam pidatonya juga menyampaikan masalah kebakaran hutan dan lahan, dan upaya penanggulangannya, baik dalam upaya penegakan hukum maupun langkah-langkah prevensi yang telah disiapkan dintaranya restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut. Bagi WALHI, penyampaian kesadaran kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim ini menjadi penting. Yang mesti menjadi perhatian khusus, di tengah kerentanan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim, konversi terus terjadi. Berbagai proyek reklamasi terjadi di Indonesia, dan pulau-pulau kecil diserbu industri tambang dan sawit. Artinya, di tengah kerentanan, pemerintah terus memproduksi pembangunan berisiko tinggi. Selain masalah dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia, Presiden juga menyampaikan komitmennya sebagai upaya kontribusi dalam aksi global menurunkan emisi sebagaimana yang tercantum dalam INDC Indonesia, menurunkan emisi hingga 29% dengan melalui business as usual sampai tahun 2030, dan 41% dengan bantuan internasional. Penurunan emisi dibagi dengan mengambil langkah di beberapa bidang antara lain energi, tata kelola hutan dan lahan, dan di bidang maritim. Sejak awal, kami telah mengkritik INDC Indonesia, yang dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, tidak menghitung emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal kita tahu, bahwa sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari land use land use change and deforestasion (LULUCF). pemerintah Indonesia harusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar. Penetapan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut jika situasi seperti saat ini, tidak memiliki kekuatan signifikan. Kita tahu, kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Inpres No. 8/2015 sangat lemah, terlebih tanpa ada review terhadap perizinan lama dan penegakan hukum. Terlebih jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia sebagaimana yang termuat dalam RPJMN 2015-2019. Antara lain di sektor energi, pembangunan 35.000 megawatt, sebagian besar masih mengandalkan batubara, energi yang kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia. Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29% pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024. Artinya, komitmen yang disampaikan oleh Presiden meragukan. Pertanyaan kritisnya dari pidato yang disampaikan hari ini di Paris adalah jika terdapat gap antara RPJMN dengan INDC Indonesia yang telah disubmit ke UNFCCC sebagai sebuah komitmen Indonesia menurunkan emisi global, akan kah ada masa transisi untuk menjembatani kotradiksi antara komitmen penurunan emisi dengan kebijakan pembangunan yang memproduksi emisi. Paris, 30 November 2015. Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158 Narahubung di Jakarta, Nur Hidayati : 081316101154 Spoke Person di Paris yang dapat dihubungi: Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel Siaran Pers : ​Inisiative Restorasi Landscape, Solusi Palsu Penyelamatan Lingkungan Hidup Kamis, 17 Desember 2015 Paris-Pada saat konferensi perubahan iklim di Paris, juga berlangsung the Global Landscape Forum 2015 yang digagas oleh private sektor yang selama ini bergelut di sektor sumber daya alam baik kehutanan maupun sawit. Forum ini konon sebagai bagian dari komitmen private sector yang selama ini berbisnis di industri ekstraktive terhadap perubahan iklim, penyelamatan lingkungan, menyelamatkan hutan dan gambut, serta penyelesaian konflik WALHI menilai bahwa forum ini, termasuk inisiative restorasi berbasis landscape setidaknya di 5 provinsi yakni Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalbar dan Kaltim, tidak lebih hanya menjadi upaya green washing dari korporasi yang selama ini telah gagal mengelola sumber daya alam, dengan indikasi kebakaran dan bencana ekologis lainnya, konflik dan kemiskinan. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi mengatakan “jika dilihat dari wilayah landscape yang konon akan dipulihkan, dari satu juta hektar lahan yang direstorasi dengan pendekatan landscape ini, justru berada di luar area konsesi korporasi yang rusak dan atau terbakar”. Merusak di tempat lain, merestorasi di tempat lainnya. Inisiative landscape ini juga bagian dari skenario dari korporasi untuk menguasai hutan dengan atas nama restorasi, dan tentu saja bagian dari modus land banking. Ini adalah Neoliberalisme “hijau”.  Korporasi dan elit politik menjadikan isu lingkungan hidup sebagai komoditas baru untuk terus mengakumulasi keuntungan mereka. Salah satu problem pokok di sektor kehutanan dan perkebunan selain kerusakan lingkungan hidup adalah konflik struktural negara-korporasi yang berhadapan dengan rakyat. Bagaimana inisiative ini dapat menyelesaikan konflik, jika selama ini korporasi-korporasi ini justru menjadi aktor atau bagian dari konflik itu sendiri? gugat Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan. Selama ini komitmen nol deforastasi yang dikampanyekan oleh perusahaan pada tahun 2020 misalnya, sampai saat ini belum terbukti sama sekali. Bahkan titik api justru ditemukan banyak titip api di wilayah konsesi yang punya komitmen nol deforestasi. “Korporasi yang selama ini telah terbukti gagal sesunguhnya tidak lagi kredibel untuk bicara penanganan perubahan iklim”, ungkap Kurniawan Sabar, dari Eksekutif Nasional WALHI. Bagaimana mungkin memberikan kembali kepada korporasi dalam menangani perubahan iklim, karena faktanya penyumbang emisi yang sangat besar dari praktek buruk korporasi dalam menjalankan bisnisnya. Yang ironi tentu saja negara, jika masih terus memberikan kesempatan dan kepercayaan untuk mengambil peran dalam mengatasi krisis dan perubahan iklim kepada korporasi yang terbukti telah gagal selama ini mengelola sumber daya alam. Bagaimana mungkin korporasi yang terbukti telah gagal dalam mengelola sumber daya alam masih terus diberi kepercayaan oleh negara/pemerintah, jika tidak ada kepentingan bagi kekuasaan untuk kongkalikong dalam menguasai tanah. Usaha lahan baru untuk konservasi. Kami juga mengajak konsumen untuk tidak terkecoh dengan “jualan” penyelamatan hutan dan gambut melalui donasi yang akan digalang oleh korporasi dari konsumen yang membeli produk mereka. Karena sesungguhnya mereka sedang mengalihkan tanggungjawab kerusakan hutan yang disebabkan oleh buruknya praktek buruk mereka, kepada konsumen. Mari tuntut tanggungjawab mereka untuk merubah watak buruk mereka, menghentikan ekpansi dan memulihkan hutan dan gambut yang telah mereka rusak. (selesai) Paris, 7 Desember 2015. Narahubung di Paris, Kurniawan Sabar : +33754235158 Narahubung di Jakarta, Nur Hidayati : +6281316101154 Spoke Persons yang dapat dihubungi: Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau Siaran Pers : Keuntungan bagi negara Kaya, tidak ada jaminan perbaikan iklim dan keselamatan rakyat Kamis, 17 Desember 2015 Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)/Friends of the Earth Indoensia Menyikapi kesepaktan baru dalam UNFCCC COP 21 Paris Paris, 12 Desember 2015. Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris telah berakhir dengan lahirnya kesepakatan baru untuk penanganan perubahan iklim global (1). Meski sebelumnya, konvensi yang harusnya berakhir tanggal 11 Desember 2015, mesti diperpanjang satu hari karena sulitnya menemukan kesepakatan. Betulkah ini menjadi solusi? “Bagi politisi, ini adalah kesepakatan yang adil dan ambisius, namun hal ini justru sebaliknya. Kesepakatan ini pasti akan gagal dan masyarakat sedang ditipu. Masyarakat terdampak dan rentan terhadap perubahan iklim mestinya mendapat hal yang lebih baik dari kesepakatan ini. Mereka yang paling merasakan dampak terburuk dari kegagalan politisi dalam mengambil tindakan,” menurut Dipti Bathnagar, Koordinator Keadilan Iklim dan energi, Friends of the Erath International dalam keterangan persnya (2). Negara-negara maju telah menggeser harapan sangat jauh dan memberikan rakyat kesepakatan palsu di Paris. Melalui janji-janji dan taktik intimidasi, negara-negara maju telah mendorong sebuah kesepakatan yang sangat buruk. Negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa mestinya melakukan membagi taggung jawab yang adil (fair share) untuk menurunkan emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, di Paris, negara-negara kaya berupaya membongkar konvensi perubahan iklim untuk memastikan kepentingan mereka sendiri. Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye WALHI (Friends of the Earth Indonesia) menegaskan, “bagi Indonesia, kesepakatan di Paris akan memberikan dampak sangat signifikan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Kesepakatan iklim di Paris, tidak memberikan jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, dan dengan demikian, lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan dan terdampak perubahan iklim akan berada dalam kondisi yang semakin mengkhawatirkan.” Sikap pemerintah Indonesia yang sangat pragmatis dan tidak memainkan peran strategis dalam negosiasi di Paris, sesungguhnya telah meletakkan Indonesia sebagai negara yang hanya mengikut pada kesepakatan dan kepentingan negara maju. Pemerintah Indonesia lebih mementingkan dukungan program yang merupakan bagian dari mekanisme pasar (market mechanism) yang telah dibangun oleh Negara-negara maju dalam negosiasi di Paris. “kita tidak bisa berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang lebih maju, jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar khususnya hanya untuk memenuhi hasrat negara maju untuk mitigasi perubahan iklim. Dukungan yang dimaksudkan pemerintah Indonesia dari kesepakatan di Paris tidak akan berarti dan tidak akan berhasil tanpa perbaikan tata kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut, menghentikan penggunaan energi dari sumber kotor batubara, serta menghentikan kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.” Lanjut menurut Kurniawan Sabar. Sebagai catatan kritis, beberapa masalah penting yang menjadi analisis group Friends of the Erath terkait kesepakatan di Paris (3), yakni: Pertama, kesepakatan Paris menegaskan bahwa 2 derajat Celcius adalah tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan bahwa setiap negara harus meningkatkan upaya untuk membatasi peningkatan temperatur hingga batas 1,5 dearajat Celcius. Hal ini tidak akan berarti tanpa mensyaratkan negara-negara maju untuk memangkas emisi mereka secara drastis dan memberikan dukungan finansial sesuai tanggung jawab yang adil, serta memberikan beban tambahan kepada negara-negara berkembang. Untuk mencegah perubahan iklim kita mesti segera dan secara drastis menurunkan emisi, tidak melakukan penundaan. Kedua, tanpa kompensasi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, negara-negara yang rentan akan menaggung berbagai masalah dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh mereka. Ketiga, tanpa finansial yang memadai, negara-negara miskin akan dijadikan sebagai pihak yang harus menaggung beban dari krisis yang tidak berasal dari mereka. Pendanaan tersedia, namun kemauan politik (political will) tidak ada. Keempat, satu-satunya kewajiban yang mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara maju adalah mereka harus melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan. Kelima, pintu sangat terbuka bagi pasar untuk mengeksploitasi krisis iklim tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks. Hal ini menjadi kartu bebas bagi poluter terbesar dalam sejarah. Dalam kasus REDD+ misalnya, akan menjadikan negara-negara maju mendukung proyek perkebunan yang merusak di negara-negara berkembang dan bukannya berupaya mengurangi emisi dari bahan bakar fosil di negeri mereka sendiri. Di hari akhir negosiasi iklim di Paris, lebih dari 2.000 orang aktivis federasi Friends of the Erath International bersama ribuan masyarakat Paris melakukan aksi untuk menyampaikan pesan global untuk keadilan klim dan perdamaian (Climate Justice Peace) yang tersebar di tengah kota Paris (4). Aksi ini sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil yang dimobilisasi oleh Friends of the Earth International untuk menilai dan menyampaikan tuntutan masyarakat sipil untuk keadilan iklim selama proses UNFCCC COP 21 Paris. Download dokumen kesepakatan UNFCCC COP 21 Paris: http://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/l09.pdf Siaran Pers Friends of the Earth International: (1)http://www.foei.org/press/archive-by-subject/climate-justice-energy-press/paris-climate-deal-sham Untuk analisis yang lebih lengkap dari group Friends of the Earth akan disajikan dalam: http://www.foei.org/what-we-do/paris Thousands of individuals spelled out “Climate Justice Peace” across Paris using geo-localisation software, recorded online here: http://www.climatejusticepeace.org/ Referensi lainnya:  http://newint.org/features/web-exclusive/2015/12/12/cop21-paris-deal-epi-fail-on-planetary-scale/ Kontak person di Paris: Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI: +33754235158+6281241481868 Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah +628115200822 Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI +6281293993460 Kontak Person di Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati: 081316101154 Khalisah Khalid: 081311187498 Pernyataan Sikap : COP 21 Paris, Reclaim Demi Keselamatan Rakyat dan Bumi Kamis, 17 Desember 2015 Akhiri Berikan Kesempatan kepada Korporasi Pelaku Pencemar Paris- Konferensi Para Pihak atau Conference Of Parties (COP) akan dimulai pada tanggal 30 November 2015 di Paris. Para Kepala Negara, termasuk Presiden Jokowi diagendakan menyampaikan pidato di dalam UNFCCC pada tanggal 30 November 2015. Sebagai sebuah momentum yang menentukan paska selesainya Kyoto Protokol, tentulah COP Paris ini diharapkan dapat merumuskan langkah-langkah yang mendesak dan konkrit oleh Para Pihak khususnya Kepala Negara, demi keselamatan seluruh makhluk bumi. Desakan kuat dari organisasi masyarakat sipil, agar COP21 Paris ini menghasilkan kesepakatan yang kuat, untuk menurunkan emisi secara signifikan agar suhu bumi dapat turun 1,5 derajat celcius seperti sebelum masa industri. Target ini bisa dilihat ambisius dari sebelumnya 2 derajat celcius, tapi justru ini kesempatan terbaik bagi pemimpin dunia jika ingin memberi terobosan yang signifikan. Selama ini kami menilai, Kyoto Protokol terus diperlemah dengan tekanan dari sistem ekonomi politik kapitalistik yang menjadikan isu perubahan iklim sebagai peluang baru bagi korporasi dan negara industri untuk semakin mengakumulasi modal, dengan menjadikan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, khususnya dalam mitigasi perubahan iklim melalui REDD salah satunya, korporasi yang sesungguhnya sebagai pencemar justru dijadikan seperti malaikat. Faktanya, krisis dunia terus terjadi. Penanganan perubahan iklim jalan di tempat, tidak ada kemajuan yang signifikan. Karenanya, paradigma ekonomi dan pembangunan dunia juga harusnya berubah. Bagaimana dengan Indonesia? Kami meyakini bahwa mata dunia akan tertuju kepada Indonesia. Namun sayangnya sorotan tersebut bukan karena keberhasilan pemerintah Indonesia memenuhi komitmennya menurunkan emisi 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional sampai tahun 2020. Lagi-lagi, komitmen tersebut tidak terpenuhi, karena pemerintah Indonesia mengikuti dan mengambil pilihan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, proyek-proyek REDD dijadikan isu utama dalam adaptasi perubahan iklim. Apa faktanya? Jika sumber emisi GRK Indoesia terbesar dari land use land use change and deforestation (LULUCF), maka peristiwa kebakaran hutan dan lahan justru menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia. Artinya, selama ini nyaris tidak ada pembenahan tata kelola hutan dan gambut, bahkan dibalik kemasan REDD sekalipun atau dengan kemasan restorasi ekosistem. Kalimantan Tengah yang dijadikan sebagai provinsi project REDD, tingkat kebakaran hutan dan lahan justru parah, menjadi gambaran jelas bahwa solusi palsu penaganan perubahan iklim, hanya melahirkan krisis. Kegagalan tersebut dan rentetan bencana ekologis ini, mestinya memberi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia. COP 21 Paris menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia untuk merubah paradigma pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Jalannya adalah dengan memberikan kepastian alas hak atau hak tenurial kepada rakyat dalam mengelola sumber-sumber kehidupannya. WALHI berharap kehadiran Presiden Jokowi ke COP 21 dan pidatonya di UNFCCC  untuk menyampaikan komitmen menurunkan emisi GRK dengan baseline jelas dan menghitung dari kebakaran hutan dan lahan serta emisi dari sektor energi kotor seperti batubara. Karenanya, INDC’s Indonesia yang masih menunjukkan keraguan komitmen/kontribusi Indonesia yang dapat dilihat dari hanya memasukkan indikasi penurunan emisi 29% dengan mekanisme business as usual (BAU), harus dikoreksi. Jika pemerintah berkomitmen membangun ekonomi yang berkelanjutan, maka kami mendesak tidak lagi menyerahkan kepada pasar dan  korporasi yang akan semakin melanggengkan komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam. Kami berharap dalam pidatonya, Jokowi mengakui dan menjadikan model kelola rakyat yang berbasiskan pada kearifan lokal sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, bukan kepada korporasi termasuk dalam restorasi ekosistem. Kami percaya, bahwa ekonomi bangsa ini akan lebih berkelanjutan dan berkeadilan jika dikelola oleh rakyat dengan kearifan dan pengetahuan lokal yang dimilikinya. Kami juga berharap, pemerintah tidak lagi memberi ruang bagi upaya green wash korporasi yang terlibat dalam kasus asap, baik yang melakukan pembakaran maupun yang di wilayah konsesinya ditemukan titik api, termasuk dengan atas nama restorasi ekosistem. Jika dalam COP Paris nanti Presiden Jokowi masih memberikan kesempatan kepada korporasi, termasuk dengan menggunakan mekanisme trading dalam penanganan perubahan iklim, maka sama artinya pemerintah melecehkan penderitaan korban asap. (selesai) Contact Person: Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI: +6281241481868 Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI: +6281293993460 Rio Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah: +628115200822 Riko Kurniawan: Direktur WALHI Riau: +6181371302269 Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi: +628117463789 Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel: +628127312 Narahubung: Khalisah Khalid di +6281311187498 Rumah Evakuasi Balita 5 Ulu didirikan masyarakat sipil untuk Melindungi rakyat dari Pencemaran asap Karhutla di Sumsel Sabtu, 31 Oktober 2015 Terkait pemberitaan beberapa media massa yang menyatakan bahwa Posko / Rumah Evakuasi Balita Korban asap yang berada di Jalan Kh.Azhari Lorong Keramat No 124 RT 4  RW  1 Kelurahan 5 Ulu Kecamatan Seberang Ulu 1 Palembang, yang pada jumat  30 Oktober 2015 kemarin di kunjungi oleh presiden RI baru didirikan pada malam hari sebelum kedatangan Presiden. Maka dengan ini kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Korban Asap di Sumsel menyatakan dengan tegas berita tersebut tidak benar dan menyesatkan. Adapun Rumah Evakuasi Balita 5 Ulu tersebut adalah murni dari insisatif masyarakat sipil dan tidak ada campur tangan pemerintah baik pusat maupun daerah, proses pendiriannya puntelah dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2015, dengan menyewa satu unit rumah kosong tua yang berada di RT 4 RW 1 milik keluarga Cek Gadis yaitu H.Sul, dengan lama sewa selama 6 bulan. selanjutnya setelah ada kesepakatan sewa menyewa antara Koalisi Masyarakat Peduli Balita Korban Asap dan pihak pemilik rumah, maka team relawan dibantu oleh warga mulai melakukan perbaikan perbaikan terhadap fisik rumah, seperti pembuatan toilet, perbaikan lantai dan jembatan serta penutupan Ventilasi rumah, agar asap yang berada diluar tidak masuk kedalam rumah. Serta memperbaiki Instalasi air yang disalurkan dari rumah ketua RT setempat. Selanjutnya karena Rumah Evakuasi yang kami buat ini untuk Balita maka kami mentapkan  beberapa standart seperti ruangan harus memiliki pembersih udara dan Air Conditioner,untuk melengkapi hal itu maka team relawan melakukan perbaikan dan memeriksa instalasi listrik dengan tujuan agar peralatan listrik dapat dipakai disana.Selain memperbaiki fisik rumah, team relawan juga pada tanggal 26 Oktober 2015  ketika bertemu dengan Kepala Dinas Sosial Propinsi Sumsel yang saat itu berkunjung ke REB Jakabaring. Telah menyampaikn secara lisan kepada kepala Dinas Sosial dan rombongan bahwa Posko REB juga berada di Kelurahan 5 Ulu palembang. Presiden Joko Widodo meninjau rumah evakuasi balita yang tarpapar asap di kawasan 5 Ulu, Palembang, Sumsel (antara foto) Saat seluruh Persiapan selesai dan fasilitas REB sudah dilengkapi maka kegiatan di Rumah evakuasi Balita berjalan dengan normal  (dokumentasi kegiatan Terlampir), walaupun sebenarnya kerja kerja sosial dan kemanusian sudah dilakukan sejak sebelum rumah evakuasi tersebut bisa digunakan misalnya mengantarkan beberapa balita yang diduga terkena ISPA kerumah sakit dan ke rumah evakuasi di jakabaring. Fakta Fakta diatas menunjukan bahwa REB Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Korban asap yang berada di 5 Ulu telah di mulai lama, jauh sebelum Bapak Presiden berkunjung bahkan sebelum Bapak Presiden melakukan kunjungan kerja Ke Amerika yang sepulangnya baru memutuskan untuk berkantor di Kabupaten OKI Sumsel. Selain itu sampai dengan Pukul 7.30 Wib Pagi (30/10), tidak ada satu orang pun dari Relawan mengetahui Jokowi akan berkunjung ke REB 5 Ulu, dan baru di ketahui ketika dari Pihak Paspampres menemui Teman teman di Posko menginformasikan bahwa Kemungkinan Bapak Prsiden akan berkunjung ke Posko REB yang kami buat.  Untuk itu jika di beberapa berita On line yang tersebar menuliskan bahwa rumah tersebut adalah rumah yang dibuat dalam waktu semalam maka sangat keberatan dan hal itu sangat menyesatkan Publik dan pembaca. Sekali lagi kami ingin menginggatkan bahwa posko ini adalah posko yang dibuat masyarakat sipil yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah lokal maupun di tingkat nasional. Kami mendirikan Posko ini murni kerja sosial dan kemanusian karena melihat tidak ada upaya pemerintah Daerah untuk melindungi masyarakat dari paparan Asap Kebakaran Hutan dan lahan yang dilakukan Koorporasi di Sumsel. Dan harapan kami apa yang kami lakukan ini dapat di Adopsi dan dilakaukan pemerintah sesuai dengan kewajibannya dalam Undang Undang. Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Korban Asap Koodinator REB 5 Ulu Afex Indawan HP : 085658743737 FB Group : Koalisi Peduli Balita Korban Asap (https://www.facebook.com/groups/693746334060329/?fref=ts )   Kasus PT. BMH Pintu masuk menjerat Koorporasi Besar Jum’at 23 Oktober 2015 BMH berpotensi lepas dari jeratan Hukum. Jakarta, 20/09/2015. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 3 februari 2015 telah mengajukan gugatan perdata kepada PT Bumi Mekar Hijau selaku perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Gugatan perdata itu didaftarkan melalui pengadilan Negeri Palembang. Dasar gugatan adalah mengacu pada data tahun 2014 dimana terdapat 531 titik di lahan konsesi perusahaan tersebut. PT BMH layak digugat karena karena harus bertanggung jawab atas pembakaran hutan dan lahan seluas seluas 20.000 hektar di kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Untuk diketahui, PT BMH merupakan anak perusahaan dari Asia Pulp and Paper (APP) yang memiliki luas areal konsesi 250.370 ha di kabupaten Ogan Komering Ilir. Gugatan terhadap PT.BMH yang didaftarkan KLHK menjadi pembuktian atas perintah tindak tegas dari Presiden terhadap korporasi pembakar hutan saat berkunjung ke Sumsel pada 7 September lalu. Demikian pula bagi publik menjadi rujukan untuk tetap percaya kepada pemerintah. Kepercayaan tersebut tentu ada syaratnya yaitu KLHK harus bersungguh-sungguh dalam mengawal persidangan ungkap Hadi Jatmiko selaku Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan. Kami tidak ingin pemerintah menghadirkan pembela yang hanya diam dan maggut-manggut di pengadilan tanpa argumentasi. Kita ingin mulai dari pengacara hingga saksi ahli yang dihadirkan merupakan orang pilihan terbaik pemerintah yang memiliki komitmen kuat untuk membela total kepentingan bangsa dan negara imbuh Hadi. Jika nanti pemerintah kalah, kami bisa memastikan bahwa akan banyak korporasi baik di Sumsel maupun di tingkat nasional akan lepas dari jerat hukum. Hadi Jatmiko berharap pula kepada para hakim dalam kasus ini untuk berpihak pada kebenaran yang hakiki dan tidak perlu takut pada intervensi. Sejak awal menurut Hadi Jatmiko Walhi mendukung penuh upaya pemerintah melalui KLHK mengajukan gugatan perdata kepada PT BMH. Karenanya jangan sampai kami selaku bagian dari masyarakat dikecewakan oleh kinerja buruk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Muhnur Satyahaprabu Manager Kabijakan dan Pembelaan Hukum Walhi menyayangkan Kementrian Lingkungan dan Kehutanan seolah-olah merahasiakan gugatan ini didepan publik, padahal peran publik dalam mendukung upaya kongkret pemerintah menggugat perusahaan sangat diperlukan. “pemerintah dari awal tidak serius mengajukan gugatan ini, atau setidaknya target pemerintah mengajukan gugatan ini perlu dipertanyakan. Banyak indikasi ketidakseriusan pemerintah selama dipersidangan berlangsung seperti tidak maksimalnya pembuktian yang dilakukan oleh pemerintah, tidak mampu megeksplore lebih dalam tentang dampak dari kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan” ujar Muhnur Kejanggalan juga bisa dilihat dari susunan Majelis Hakim yang memimpin persidangan kasus tersebut. Berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor : 134/KMA/SK/IX/2011 tentang sertifikasi hakim lingkungan maka ketua majelis hakim yang memimpin persidangan kasus tersebuut haruslah hakim yang bersertifikasi lingkungan tutup Muhnur; Kontak Person : Muhnur Satyahaprabu (081326436437) Hadi Jatmiko (08127312042) “Jejak Asap Korporasi: Tanggung Gugat Korporasi terhadap Dampak dan Pemulihan Lingkungan Hidup” Jumpa Pers bersama di Eksekutif Nasional Walhi terkait perusahaan perusahaan yang terlibat pembakaran Hutan dan Lahan Di kalimantan dan Sumatera   Jakarta, 1 Oktober 2015. Hari ini WALHI mengeluarkan hasil analisis kebakaran lahan dan hutan yang menunjukkan peran korporasi, khususnya di sektor kehutanan dan perkebunan, dalam tragedi asap yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir di Indonesia. Hasil analisis ini juga menunjukkan jejak api group-group usaha yang  difokuskan pada 5 propinsi yang mengalami dampak terparah, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kebakaran hutan dan lahan selama 18 tahun menjadi fakta tak terbantahkan bahwa monopoli kawasan hutan dan lahan untuk pengembangan investasi perusahaan merupakan penyebab utama kebakaran dan polusi asap di Indonesia. Sampai di tahun 2014 saja, 4 (empat) sektor industri ekstraktif (logging, perkebunan kelapa sawit, HTI, dan tambang) telah menguasai sekitar 57 juta hektar hutan dan lahan di Indonesia. Penguasaan ini dibarengi praktik buruk pengeloaan konsesi, salah satunya adalah tindak pembakaran hutan dan lahan gambut untuk kemudahan pengembangan produksi. Penggundulan hutan dilakukan secara masif dan sistematis, dan diikuti dengan pengeringan lahan gambut dengan cara membelah-belah lahan gambut dan membangun kanal-kanal. Pembersihan lahan dilakukan dengan pembakaran yang bertujuan untuk menghemat biaya operasi, juga untuk mengurangi derajat keasaman lahan gambut, sehingga cocok untuk ditanami tanaman komoditas industri. Praktik ini hakikatnya telah menghancurkan hutan dan lahan gambut sehingga ekosistem kehilangan keseimbangan alaminya. Bertahun-tahun titik api ditemukan di konsesi perkebunan monokultur skala besar, terutama yang beroperasi di lahan gambut. Dalam periode Januari – September 2015 terdapat 16.334 titi api (LAPAN) atau 24.086 titi api (NASA FIRM) untuk 5 propinsi; Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau. Analisis data dan fakta kebakaran hutan dan lahan di 5 propinsi sampai di bulan September 2015, WALHI menemukan bahwa titi api berada di dalam konsesi perusahaan; Kalimantan Tengah 5.672, Kalimantan Barat 2.495, Riau 1.005, Sumatera Selatan 4.416, dan Jambi 2.842. Edo Rakhman, Manajer Kampanye Eksekutif Nasional WALHI menerangkan,”Hasil analisis dari 5 propinsi yang dilanda asap terparah, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengahmenunjukkan bahwa mayoritas titik api yang ditemukan di tahun ini berada di dalam konsesi perusahaan, terutama HTI (Hutan Tanaman Industri) sebanyak 5.669 titik api dan perkebunan kelapa sawit sebanyak 9.168 titik api. Hasil overlay titik api dengan konsesi perusahaan menunjukkan bahwa di  4 propinsi (Jambi, Sumsel, Riau, dan Kalteng), perusahaan group Wilmar dan Sinarmas paling banyak ditemukan berkontribusi terhadap keseluruhan jumlah titik api.  Group Wilmar 27 perusahaan dan Group Sinarmas 19 perusahaan.” Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau mengatakan,”Hasil analisis yang dilakukan oleh Koalisi Eyes of the Forest di mana WALHI Riau menjadi bagiannya, menunjukkan bahwa group Asia Pulp and Paper dan RGM/APRIL  (industri HTI) merupakan group dengan jumlah perusahaan yang terbanyak menyumbang titik api, yakni masing-masing 6 perusahaan” Kebakaran hutan dan polusi asap telah memberikan dampak yang sangat buruk terhadap kesehatan masyarakat. Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat polusi asap setidaknya telah mencapai jumlah yang sangat besar, Jambi 20.471 orang, Kalteng 15.138 orang, Sumatera Selatan 28.000 orang, Kalimantan Barat 10.010 orang. Anton P. Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat, menegaskan, “Harus ada perubahan paradigma dan pendekatan pemerintah dalam menangani kebakaran dan asap, bukan hanya melakukan upaya setelah kebakaran tersebut terjadi (emergency response), tetapi harus kepada upaya-upaya pencegahan secara sistematis dan struktural, termasuk dalam hal ini menuntut tanggung gugat perusahaan atas dampak kebakaran dan polusi asap ini. Kehadiran negara dalam situasi seperti ini juga sangat penting untuk memastikan jaminan hak warga negara atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.” Hal senada disampaikan Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan , “aktor utama pelaku pembakaran hutan adalah korporasi, sehingga negara harus memastikan tanggung jawab penuh dari pihak perusahaan. Jika negara ingin tanggung jawab terhadap masyarakatnya, maka negara juga mesti lebih berani menuntut tanggung jawab perusahaan atas dampak buruk kebakaran dan asap terhadap masyarakat dan memastikan pemulihan lingkungan.” Secara khusus, terkait dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, Arie Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah menerangkan,” tanggung jawab negara bukan hanya pada saat ada asap. Kementerian Kesehatan perlu melakukan monitoring kesehatan secara berkala untuk wilayah yang terpapar asap baik sekarang maupun pasca kabut asap. Mesti segera ada penanganan secara maksimal terhadap penderita ISPA. Kami juga menghimbau Menteri Kesehatan, Ibu Nina Moeloek untuk turun ke lapangan dan merasakan dampak asap tersebut, sehingga tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bisa mencederai rasa keadilan masyarakat.” Rudiansyah, WALHI Jambi menegaskan, “sebagai bentuk upaya memuntut tanggung gugat perusahaan akibat kebakaran dan polusi asap ini, maka WALHI akan menempuh upaya hukum, seperti clas action, dan citizen law suit baik yang akan dilakukan di daerah maupun di nasional. Upaya ini sebagai bagian yang tak terpisakan dari tuntutan atas peran dan fungsi negara untuk melakukan penegakan hukum atas korporasi  yang melakukan pembakaaran hutan dan lahan gambut di Indonesia.” Contact person: Edo Rakhman 081356208763 Rudiansyah (WALHI Jambi) 081366699091 Arie Rompas (WAHI Kalimantan Tengah)08115200822 Hadi Jatmiko (WALHI Sumatera Selatan) 08127312042 Anton P. Widjaya (WALHI Kalimantan Barat)0811574476 Riko Kurniawan (WALHI Riau) 081371302269 Siaran Pers : “Dimana ada asap disana Pasti ada konsesi” Selasa, 01 September 2015 Sebaran Hotspot selama Agustus 2015 Jakarta, 1 September 2015. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terus terjadi dalam 1 dekade ini merupakan gambaran nyata bahwa kerusakan alam telah sangat parah dan sistematis. Setidaknya 66 kabupaten yang ada di 5 Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, langganan kebakaran dan “berasap” dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2011, ditemukan sebanyak 18.789 titik api dan pada tahun 2014 naik menjadi 20.253 titik api. Peningkatan kebakaran bukan saja mengalami peningkatan dalam  jumlah titik api, tetapi juga terhadap intensitas kejadian kebakaran setiap tahunnya. Bila peningkatan titik api mulai terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, maka Sumatera mengalami peningkatan intensitas kejadian kebakaran hingga dua kali kejadian kebakaran dalam satu tahun. Tahun 2014, ditemukan indikasi titik api terdapat pada kawasan hutan yang dibebani hak Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 4.084 titik api di 150 konsesi, dan 603 titik api di 85 konsesi perusahaan (IUPHHK-HA). Selanjutnya, selain pada kawasan hutan yang dibebani izin, kebakaran hutan dan lahan diduga marak juga terjadi di dalam dan di sekitar kawasan konsesi perkebunan kelapa sawit di kawasan APL dan kawasan hutan. Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, dalam keterangan persnya menerangkan, “di tahun 2014, Presiden Jokowi telah berkomitmen Indonesia bebas asap 2015. Namun, kebakaran dan asap tahun ini menjadi bukti bahwa komitmen ini masih sangat jauh dari harapan. Ada 5 langkah strategis dan mendesak yang mesti dilakukan Presiden;  1. Menginstruksikan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati) untuk melakukan gerakan serentak penyekatan kanal dan menerapkan proses sanksi terhadap pemegang konsesi sawit, sebagai tindakan mendesak yang harus segera dilakukan oleh Kepala Daerah, 2. Melakukan upaya penegakan hukum terhadap perusahaan yang ditemukan adanya titik api di wilayah konsesinya, 3. Melakukan review perizinan terhadap konsesi yang mengalami kebakaran dan/atau mengalami konflik dengan masyarakat.  4. Menghentikan penerbitan izin baru sebagai kesempatan untuk melakukan evaluasi terhadap izin yang telah diberikan dan termasuk evaluasi terhadap pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap izin yang dikeluarkan, 5. Memulihkan kawasan hutan kritis dan memberi kesempatan pengolahan dan perlindungan hutan kepada masyarakat di sekitar hutan.” Musri Nauli , Direktur Eksekutif WALHI Jambi menjelaskan “titik api terbanyak berasal dari gambut. Kawasan genting, unik dan penting sudah rusak. Kawasan yang selama ini mampu memberikan perlindungan dan sebagai tempat tangkapan air (catchment water area) dirusak oleh HTI, sawit dan berbagai aktivitas manusia lainnya kemudian menjadikan kubangan yang mudah terbakar. Pola ini berulang terus menerus dengan modus yang canggih, rapi dan pola tempat terbakar yang sama setiap tahun. Pemegang izin tidak mampu lagi menjaga lokasi izinnya. Selain para pelaku dijerat dengan berbagai UU seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU LH yang “tegas” adanya kebakaran di areal izinnya, para pemegang izin dapat diminta pertanggungjawabannya (absolute liability).” Tidak jauh berbeda, kebakaran tahun ini juga kembali terjadi di Kalimantan Tengah. Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah meyampaikan, “apresiasi terhadap penyegelan lokasi kebakaran di beberapa perusahan perkebunan di Kalimantan tengah, namun langkah ini belumlah cukup menyelesaikan masalah, jika tidak disertai dengan upaya rehabilitasi lahan gambut dan menghentikan perizinan perusahaan yang mengakibatkan konversi lahan gambut kepada investasi skala luas yang berbasis lahan di Kalimantan Tengah.” sebaran hotspot 2014 – 2015 Terkait penegakan hukum atas kebakaran hutan dan lahan, sebagai contoh di Sumatera Selatan. “Kami menilai pemerintah tidak serius melakukanya dan terlihat hanya formalitas saja. Gugatan pemerintah terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (APP Group) yang merugikan negara Rp. 7,9 triliun tahun 2014 lalu, sampai saat ini tidak terdengar gaungnya. Jangan sampai ini hanya upaya untuk mencuci kejahatan perusahaan dengan mengunakan tangan pemerintah dan pengadilan. Ketidakseriusan ini menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan berakibat bencana asap terus berulang tahun.” terang Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan. Masih terkait upaya penegakan hukum dalam penanganan kebakaran hutan, di Kalimantan Barat, Anton Wijaya, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Barat menegasakan, “Kepolisian Daerah Kalimantan Barat harus segera mencabut Maklumat terkait kebakaran hutan, karena di lapangan hanya menimbulkan kemarahan dan resistensi dari masyarakat lokal dan justru tidak menjawab persoalan pokok terkait penyebab kebakaran. Kepolisian harusnya melakukan penegakan hukum seadil-adilnya kepada para penjahat lingkungan yang jelas-jelas adalah korporasi yang melakukan pembakaran dalam proses pembersihan lahan-lahan konsesi mereka. Penegakan hukum juga harus dilakukan kepada stakeholder lain selain private sector yang memiliki mandat dan wewenang melakukan perbaikan tata kelola sumber daya alam, memastikan praktek kebun tanpa membakar tetapi tidak menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.”  Fakta-fakta temuan WALHI di berbagai daerah menunjukkan bahwa akar masalah terbesar kebakaran dan asap di Indonesia sangat nyata dan sebenarnya sangat dipahami oleh pemerintah. “Mestinya pemerintah “memadamkan api dengan Pena”, bukan dengan modifikasi cuaca, karena sumber masalahnya dari penerbitan konsesi” tutup Abetnego Tarigan. Contact person: Zenzi Suhadi 081384502601 Musri Nauli 08127807513 Arie Rompas 08115200822 Hadi Jatmiko 08127312042 Anton P. Wijaya 0811574476 Posts navigation Previous 1 … 10 11 12 … 32 Next WALHI SUMSEL Jl. Musi 6 Blok T No. 28, RT 02 RW 07 Kelurahan Siring Agung, Kecamatan ilir barat 1. Palembang. (0711) 5718 789 info@walhisumsel.or.id Use two fingers to move the map Map data ©2020 Google Terms of Use MapSatellite Proudly powered by WordPress | Theme: Sydney by aThemes. Beranda Kampanye Pengaduan Kasus Tentang Kami Skip to content Pers Release : Negara berpotensi kehilangan kekayaan sebesar 201,82 Triliun! Senin, 22 Desember 2014 Tanggal 9 Desember sebagai hari antikorupsi internasional masih menyisakan catatan kelam pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi di sektor sumber daya alam dan kehutanan masih cukup   memprihatinkan. Pemerintah maupun penegak   hukum   belum   serius melakukan perlawanan dengan terhadap Mafia Sumberdaya Alam. Hasil investigasi kasus korupsi di 6 daerah (Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Jawa Timur) ditemukan beberapa kasus yang terindikasi korupsi di sektor tata guna lahan dan hutan. Dari 6 kasus dugaan korupsi yang ditemukan, terdapat kerugian negara, sekurangnya 201.82 Triliun, dengan nilai kerugian masing masing sebagai Berikut : No Dugaan korupsi Wilayah terjadinya Potensi kerugian negara (Rupiah) 1 Pengusahaan tanaman teh di kawasan hutan lindung Bukit Dingin, Kota Pagar Alam. Sumatera Selatan 36,6 Miliar 2 Pengusahaan Sawit kawasan Suaka Marga Satwa Dangku, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan 118,32 Miliar 3 Penambangan batubara di kawasan hutan produksi Kabupaten Berau. Kalimantan Timur 241,04 Miliar 4 Pengusahaan     sawit   di     Kawasan Ekosistem lauser (KEL) Aceh 58,7 Miliar 5 Pengusahaan   tambang biji besi di Pulau Bangka Sulawesi Utara 200,75 Triliun 6 Pengusahaan tambang mangan di Manggarai Nusa Tenggara Timur 11,14 Miliar 7 Pengusahaan Pasir Besi di Kabupaten Malang Jawa Timur 600 Miliar 201.82 Triliun Catatan : Khusus perhitungan di Sulawesi Utara, potensi kerugian negara dihitung dari dana reklamasi dalam 20 tahun kedepan. Berdasakan catatan kami, sekurangnya terdapat 6 pola atau modus yang digunakan, di antaranya; Merambah hutan   baik secara illegal maupun legal. Misalnya seperti melakukan penegangan di wilayah Konservasi. Menyiasati/manipulasi perizinan. Tidak membayar dana reklamasi. Menggunakan broker untuk mengurus perizinan ke Penyelenggara Negara Menggunakan proteksi “back-up” dari oknum penegak hukum. Memanfaatkan posisinya sebagai penyelenggara negara agar perusahaan pribadinya. Berdasarkan temuan tersebut, kami menuntut pihak Pemerintah yang dalam hal ini Presiden, Pihak kementria terkait : Melakukan review perizinan yang berhubungan dengan sumberdaya alam di 6 wilayah temuan kami. Mencabut ijin korporasi   terhadap beberapa perusahaan yang   kami   temukan bermasalah. Presiden dan jajarannya harus menyiapkan strategi untuk melawan mafia sumberdaya alam demi kepetingan penyelamatan sumberdaya alam. Penegak hukum harus fokus mengejar mafia sumberdaya alam dan tidak memastikan oknumnya untuk tidak memberikan proteksi kepada para pencuri sumberdaya alam. Jakarta,11 desember 2014 Walhi Sumatera Selatan   – HAkA (Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh) – Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur – Ammalta Sulawesi Utara (Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang) – MCW (Malang Corruption Watch) – Warga Pulau Bangka Contact Person : –       Hadi Jatmiko (Walhi sumsel ) 0812 731 2042 –        Didi Koleangan (Ammalta) 0812 1234 7722 –       Bagus (HAkA) 0821 6126 1029 –       Akmal Adi Cahya (Malang Corruption Watch) –     Rully Darmadi (Jatam Kaltim) 0813 4260 0929 –       Merti Katulung (Warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara) 0823 9653 8734 Lais Abid (ICW) 0821 3302 6610 Siaran Pers : Komitmen Penurunan Emisi Indonesia VS Proyek Pembangunan Dalam Negeri Kamis, 17 Desember 2015 Aksi Warga bersama Walhi Sumsel dan Organisasi masyarakat Sipil lainnya menolak pembangunan rel kertea Api Batubara di palembang Paris. Pada tanggal 2 Desember 2015 ada dua aksi masyarkat sipil yang dilakukan di Indonesia, Jakarta dan Palembang. di Jakarta, masyarakat melakukan aksi menolak proyek reklamasi pesisir Jakarta yang akan semakin menenggelamkan Jakarta dan menyingkirkan ruang hidup masyarakat, khususnya nelayan. di Palembang, Sumatera Selatan, masyarakat melakukan aksi penolakan pembangunan rel kereta api double track yang dibangun dari Prabumulih ke Kartapati untuk pengangkutan batubara yang diproduksi oleh PT. Bukit Asam. Bertepatan dengan aksi tersebut, di Eropa, tepatnya di Paris, tengah berlangsung negosiasi para pihak khususnya kepala negara untuk membahas keselamatan bumi dari perubahan iklim dan dampak perubahan iklim (UNFCCC – COP 21 Paris). Peristiwa ini bisa jadi bagi sebagian besar orang dinilai tidak saling berhubungan. Namun, apa yang terjadi di Paris dalam COP 21 yang berlangsung, dengan apa yang terjadi di Indonesia dengan berbagai aksi penolakan dari masyarakat terkait dengan proyek pembangunan sesungguhnya menjadi gambaran nyata untuk melihat sekuat apa komitmen Indonesia dalam mitigasi san adaptasi perubahan iklim Pada sessi leaders event COP 21 (30 November 2015), Presiden telah menyampaikan pidatonya yang berisi penjelasan kondisi kerentanan Indonesia sebagai negara yang 60% masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang jumlah 17.000 ribu. Presiden juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29% sampai dengan tahun 2030 dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Presiden juga menyampaikan salah satu langkah-langkah yang akan dilakukan untuk penurunan emisi di sektor energi adalah mendorong energi terbarukan hingga 23% dari sumber energi nasional pada tahun 2025. “Jika membandingkan antara apa yang disampaikan oleh Presiden dalam pidatonya di UNFCCC dengan kebijakan pembangunan ekonomi nasional, terlihat ketimpangan yang begitu besar. Pada akhirnya, komitmen negara Indonesia yang direpresentasikan oleh Presiden menjadi tidak bermakna apa-apa”, demikian tegas Kurniawan Sabar dari Eksekutif Nasional WALHI Bukannya membangun langkah-langkah adaptasi dari dampak perubahan iklim, wilayah pesisir Indonesia justru semakin massif dikonversi untuk pembangunan proyek-proyek reklamasi yang justru akan semakin meningkatkan kerentanan dari wilayah ini, selain juga menghilangkan sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang tinggal di sana. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai kota di Indonesia sedang dan akan berlangsung proyek reklamasi seperti di Teluk Benoa Bali, Teluk Palu, Sulawesi Tengah, dan reklamasi di pesisir kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam sektor energi yang didorong oleh Presiden dalam pidatonya sebagai komimen yang akan dilakukan, pada kenyataannya kebijakan ekonomi dan pembangunan dalam negeri belum berubah dari ketergantungan terhadap energi kotor batubara. Lalu bagaimana kita mau menurunkan emisi jika terus bergantung dengan batubara dan kapan kita mau beralih ke energi terbarukan. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel mengatakan “rencana pembangunan rel kereta api di Palembang, Sumatera Selatan merupakan bukti bahwa produksi batubara akan terus ditingkatkan. Pemerintah justru akan memfasilitasi percepatan distribusi batubara dengan transportasi kereta api. Jika proyek ini tidak dihentikan, maka pidato Presiden dianggap hanya sebagai pencitraan di mata internasional. Sementara keselamatan rakyatnya dan nasib lingkungan hidup terus harus bertarung sendiri dengan dampak perubahan iklim dan ancaman investasi yang begitu massif”. (selesai) Paris, 2 Desember 2015. Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158, +33753309001 Narahubung di Jakarta: Nur Hidayati : 081316101154 Edo Rakhman: 081356208763 Spoke Persons WALHI di Paris yang dapat dihubungi: 1.     Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI 2.     Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI 3.     Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel 4.     Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah 5.     Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau 6.     Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi Siaran Pers : Pidato Presiden RI di UNFCCC, Antara Komitmen dan Kontradiksi Kamis, 17 Desember 2015 Merespon Pidato Presiden RI di COP 21 Paris Paris, 30 November 2015. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menyampaikan pidato di sidang UNFCCC di Paris pada pukul 16. 30 waktu Paris. Dalam pidatonya, Presiden RI menyampaikan beberapa point terkait dengan masalah yang dihadapi Indonesia khususnya dalam kabut asap, dan komitmen pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim. Dalam pidatonya, Presiden menyampaikan beberapa hal penting. Sebagai negara pemilik hutan terbesar, yang menjadi paru-paru dunia. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah lautnya mencapai dua pertiga dari wilayah Indonesia, yang rentan dengan perubahan iklim, khususnya pulau-pulau kecil. Dengan prosesntasi 60% penduduk Indonesia tinggal di pesisir. Presiden dalam pidatonya juga menyampaikan masalah kebakaran hutan dan lahan, dan upaya penanggulangannya, baik dalam upaya penegakan hukum maupun langkah-langkah prevensi yang telah disiapkan dintaranya restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut. Bagi WALHI, penyampaian kesadaran kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim ini menjadi penting. Yang mesti menjadi perhatian khusus, di tengah kerentanan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim, konversi terus terjadi. Berbagai proyek reklamasi terjadi di Indonesia, dan pulau-pulau kecil diserbu industri tambang dan sawit. Artinya, di tengah kerentanan, pemerintah terus memproduksi pembangunan berisiko tinggi. Selain masalah dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia, Presiden juga menyampaikan komitmennya sebagai upaya kontribusi dalam aksi global menurunkan emisi sebagaimana yang tercantum dalam INDC Indonesia, menurunkan emisi hingga 29% dengan melalui business as usual sampai tahun 2030, dan 41% dengan bantuan internasional. Penurunan emisi dibagi dengan mengambil langkah di beberapa bidang antara lain energi, tata kelola hutan dan lahan, dan di bidang maritim. Sejak awal, kami telah mengkritik INDC Indonesia, yang dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, tidak menghitung emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal kita tahu, bahwa sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari land use land use change and deforestasion (LULUCF). pemerintah Indonesia harusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar. Penetapan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut jika situasi seperti saat ini, tidak memiliki kekuatan signifikan. Kita tahu, kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Inpres No. 8/2015 sangat lemah, terlebih tanpa ada review terhadap perizinan lama dan penegakan hukum. Terlebih jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia sebagaimana yang termuat dalam RPJMN 2015-2019. Antara lain di sektor energi, pembangunan 35.000 megawatt, sebagian besar masih mengandalkan batubara, energi yang kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia. Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29% pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024. Artinya, komitmen yang disampaikan oleh Presiden meragukan. Pertanyaan kritisnya dari pidato yang disampaikan hari ini di Paris adalah jika terdapat gap antara RPJMN dengan INDC Indonesia yang telah disubmit ke UNFCCC sebagai sebuah komitmen Indonesia menurunkan emisi global, akan kah ada masa transisi untuk menjembatani kotradiksi antara komitmen penurunan emisi dengan kebijakan pembangunan yang memproduksi emisi. Paris, 30 November 2015. Narahubung di Paris, Khalisah Khalid : +33754235158 Narahubung di Jakarta, Nur Hidayati : 081316101154 Spoke Person di Paris yang dapat dihubungi: Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel Siaran Pers : ​Inisiative Restorasi Landscape, Solusi Palsu Penyelamatan Lingkungan Hidup Kamis, 17 Desember 2015 Paris-Pada saat konferensi perubahan iklim di Paris, juga berlangsung the Global Landscape Forum 2015 yang digagas oleh private sektor yang selama ini bergelut di sektor sumber daya alam baik kehutanan maupun sawit. Forum ini konon sebagai bagian dari komitmen private sector yang selama ini berbisnis di industri ekstraktive terhadap perubahan iklim, penyelamatan lingkungan, menyelamatkan hutan dan gambut, serta penyelesaian konflik WALHI menilai bahwa forum ini, termasuk inisiative restorasi berbasis landscape setidaknya di 5 provinsi yakni Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalbar dan Kaltim, tidak lebih hanya menjadi upaya green washing dari korporasi yang selama ini telah gagal mengelola sumber daya alam, dengan indikasi kebakaran dan bencana ekologis lainnya, konflik dan kemiskinan. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi mengatakan “jika dilihat dari wilayah landscape yang konon akan dipulihkan, dari satu juta hektar lahan yang direstorasi dengan pendekatan landscape ini, justru berada di luar area konsesi korporasi yang rusak dan atau terbakar”. Merusak di tempat lain, merestorasi di tempat lainnya. Inisiative landscape ini juga bagian dari skenario dari korporasi untuk menguasai hutan dengan atas nama restorasi, dan tentu saja bagian dari modus land banking. Ini adalah Neoliberalisme “hijau”.  Korporasi dan elit politik menjadikan isu lingkungan hidup sebagai komoditas baru untuk terus mengakumulasi keuntungan mereka. Salah satu problem pokok di sektor kehutanan dan perkebunan selain kerusakan lingkungan hidup adalah konflik struktural negara-korporasi yang berhadapan dengan rakyat. Bagaimana inisiative ini dapat menyelesaikan konflik, jika selama ini korporasi-korporasi ini justru menjadi aktor atau bagian dari konflik itu sendiri? gugat Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan. Selama ini komitmen nol deforastasi yang dikampanyekan oleh perusahaan pada tahun 2020 misalnya, sampai saat ini belum terbukti sama sekali. Bahkan titik api justru ditemukan banyak titip api di wilayah konsesi yang punya komitmen nol deforestasi. “Korporasi yang selama ini telah terbukti gagal sesunguhnya tidak lagi kredibel untuk bicara penanganan perubahan iklim”, ungkap Kurniawan Sabar, dari Eksekutif Nasional WALHI. Bagaimana mungkin memberikan kembali kepada korporasi dalam menangani perubahan iklim, karena faktanya penyumbang emisi yang sangat besar dari praktek buruk korporasi dalam menjalankan bisnisnya. Yang ironi tentu saja negara, jika masih terus memberikan kesempatan dan kepercayaan untuk mengambil peran dalam mengatasi krisis dan perubahan iklim kepada korporasi yang terbukti telah gagal selama ini mengelola sumber daya alam. Bagaimana mungkin korporasi yang terbukti telah gagal dalam mengelola sumber daya alam masih terus diberi kepercayaan oleh negara/pemerintah, jika tidak ada kepentingan bagi kekuasaan untuk kongkalikong dalam menguasai tanah. Usaha lahan baru untuk konservasi. Kami juga mengajak konsumen untuk tidak terkecoh dengan “jualan” penyelamatan hutan dan gambut melalui donasi yang akan digalang oleh korporasi dari konsumen yang membeli produk mereka. Karena sesungguhnya mereka sedang mengalihkan tanggungjawab kerusakan hutan yang disebabkan oleh buruknya praktek buruk mereka, kepada konsumen. Mari tuntut tanggungjawab mereka untuk merubah watak buruk mereka, menghentikan ekpansi dan memulihkan hutan dan gambut yang telah mereka rusak. (selesai) Paris, 7 Desember 2015. Narahubung di Paris, Kurniawan Sabar : +33754235158 Narahubung di Jakarta, Nur Hidayati : +6281316101154 Spoke Persons yang dapat dihubungi: Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau Siaran Pers : Keuntungan bagi negara Kaya, tidak ada jaminan perbaikan iklim dan keselamatan rakyat Kamis, 17 Desember 2015 Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)/Friends of the Earth Indoensia Menyikapi kesepaktan baru dalam UNFCCC COP 21 Paris Paris, 12 Desember 2015. Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris telah berakhir dengan lahirnya kesepakatan baru untuk penanganan perubahan iklim global (1). Meski sebelumnya, konvensi yang harusnya berakhir tanggal 11 Desember 2015, mesti diperpanjang satu hari karena sulitnya menemukan kesepakatan. Betulkah ini menjadi solusi? “Bagi politisi, ini adalah kesepakatan yang adil dan ambisius, namun hal ini justru sebaliknya. Kesepakatan ini pasti akan gagal dan masyarakat sedang ditipu. Masyarakat terdampak dan rentan terhadap perubahan iklim mestinya mendapat hal yang lebih baik dari kesepakatan ini. Mereka yang paling merasakan dampak terburuk dari kegagalan politisi dalam mengambil tindakan,” menurut Dipti Bathnagar, Koordinator Keadilan Iklim dan energi, Friends of the Erath International dalam keterangan persnya (2). Negara-negara maju telah menggeser harapan sangat jauh dan memberikan rakyat kesepakatan palsu di Paris. Melalui janji-janji dan taktik intimidasi, negara-negara maju telah mendorong sebuah kesepakatan yang sangat buruk. Negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa mestinya melakukan membagi taggung jawab yang adil (fair share) untuk menurunkan emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, di Paris, negara-negara kaya berupaya membongkar konvensi perubahan iklim untuk memastikan kepentingan mereka sendiri. Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye WALHI (Friends of the Earth Indonesia) menegaskan, “bagi Indonesia, kesepakatan di Paris akan memberikan dampak sangat signifikan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Kesepakatan iklim di Paris, tidak memberikan jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, dan dengan demikian, lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan dan terdampak perubahan iklim akan berada dalam kondisi yang semakin mengkhawatirkan.” Sikap pemerintah Indonesia yang sangat pragmatis dan tidak memainkan peran strategis dalam negosiasi di Paris, sesungguhnya telah meletakkan Indonesia sebagai negara yang hanya mengikut pada kesepakatan dan kepentingan negara maju. Pemerintah Indonesia lebih mementingkan dukungan program yang merupakan bagian dari mekanisme pasar (market mechanism) yang telah dibangun oleh Negara-negara maju dalam negosiasi di Paris. “kita tidak bisa berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang lebih maju, jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar khususnya hanya untuk memenuhi hasrat negara maju untuk mitigasi perubahan iklim. Dukungan yang dimaksudkan pemerintah Indonesia dari kesepakatan di Paris tidak akan berarti dan tidak akan berhasil tanpa perbaikan tata kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut, menghentikan penggunaan energi dari sumber kotor batubara, serta menghentikan kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.” Lanjut menurut Kurniawan Sabar. Sebagai catatan kritis, beberapa masalah penting yang menjadi analisis group Friends of the Erath terkait kesepakatan di Paris (3), yakni: Pertama, kesepakatan Paris menegaskan bahwa 2 derajat Celcius adalah tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan bahwa setiap negara harus meningkatkan upaya untuk membatasi peningkatan temperatur hingga batas 1,5 dearajat Celcius. Hal ini tidak akan berarti tanpa mensyaratkan negara-negara maju untuk memangkas emisi mereka secara drastis dan memberikan dukungan finansial sesuai tanggung jawab yang adil, serta memberikan beban tambahan kepada negara-negara berkembang. Untuk mencegah perubahan iklim kita mesti segera dan secara drastis menurunkan emisi, tidak melakukan penundaan. Kedua, tanpa kompensasi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, negara-negara yang rentan akan menaggung berbagai masalah dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh mereka. Ketiga, tanpa finansial yang memadai, negara-negara miskin akan dijadikan sebagai pihak yang harus menaggung beban dari krisis yang tidak berasal dari mereka. Pendanaan tersedia, namun kemauan politik (political will) tidak ada. Keempat, satu-satunya kewajiban yang mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara maju adalah mereka harus melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan. Kelima, pintu sangat terbuka bagi pasar untuk mengeksploitasi krisis iklim tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks. Hal ini menjadi kartu bebas bagi poluter terbesar dalam sejarah. Dalam kasus REDD+ misalnya, akan menjadikan negara-negara maju mendukung proyek perkebunan yang merusak di negara-negara berkembang dan bukannya berupaya mengurangi emisi dari bahan bakar fosil di negeri mereka sendiri. Di hari akhir negosiasi iklim di Paris, lebih dari 2.000 orang aktivis federasi Friends of the Erath International bersama ribuan masyarakat Paris melakukan aksi untuk menyampaikan pesan global untuk keadilan klim dan perdamaian (Climate Justice Peace) yang tersebar di tengah kota Paris (4). Aksi ini sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil yang dimobilisasi oleh Friends of the Earth International untuk menilai dan menyampaikan tuntutan masyarakat sipil untuk keadilan iklim selama proses UNFCCC COP 21 Paris. Download dokumen kesepakatan UNFCCC COP 21 Paris: http://unfccc.int/resource/docs/2015/cop21/eng/l09.pdf Siaran Pers Friends of the Earth International: (1)http://www.foei.org/press/archive-by-subject/climate-justice-energy-press/paris-climate-deal-sham Untuk analisis yang lebih lengkap dari group Friends of the Earth akan disajikan dalam: http://www.foei.org/what-we-do/paris Thousands of individuals spelled out “Climate Justice Peace” across Paris using geo-localisation software, recorded online here: http://www.climatejusticepeace.org/ Referensi lainnya:  http://newint.org/features/web-exclusive/2015/12/12/cop21-paris-deal-epi-fail-on-planetary-scale/ Kontak person di Paris: Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI: +33754235158+6281241481868 Ari Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah +628115200822 Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI +6281293993460 Kontak Person di Jakarta: Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati: 081316101154 Khalisah Khalid: 081311187498 Pernyataan Sikap : COP 21 Paris, Reclaim Demi Keselamatan Rakyat dan Bumi Kamis, 17 Desember 2015 Akhiri Berikan Kesempatan kepada Korporasi Pelaku Pencemar Paris- Konferensi Para Pihak atau Conference Of Parties (COP) akan dimulai pada tanggal 30 November 2015 di Paris. Para Kepala Negara, termasuk Presiden Jokowi diagendakan menyampaikan pidato di dalam UNFCCC pada tanggal 30 November 2015. Sebagai sebuah momentum yang menentukan paska selesainya Kyoto Protokol, tentulah COP Paris ini diharapkan dapat merumuskan langkah-langkah yang mendesak dan konkrit oleh Para Pihak khususnya Kepala Negara, demi keselamatan seluruh makhluk bumi. Desakan kuat dari organisasi masyarakat sipil, agar COP21 Paris ini menghasilkan kesepakatan yang kuat, untuk menurunkan emisi secara signifikan agar suhu bumi dapat turun 1,5 derajat celcius seperti sebelum masa industri. Target ini bisa dilihat ambisius dari sebelumnya 2 derajat celcius, tapi justru ini kesempatan terbaik bagi pemimpin dunia jika ingin memberi terobosan yang signifikan. Selama ini kami menilai, Kyoto Protokol terus diperlemah dengan tekanan dari sistem ekonomi politik kapitalistik yang menjadikan isu perubahan iklim sebagai peluang baru bagi korporasi dan negara industri untuk semakin mengakumulasi modal, dengan menjadikan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, khususnya dalam mitigasi perubahan iklim melalui REDD salah satunya, korporasi yang sesungguhnya sebagai pencemar justru dijadikan seperti malaikat. Faktanya, krisis dunia terus terjadi. Penanganan perubahan iklim jalan di tempat, tidak ada kemajuan yang signifikan. Karenanya, paradigma ekonomi dan pembangunan dunia juga harusnya berubah. Bagaimana dengan Indonesia? Kami meyakini bahwa mata dunia akan tertuju kepada Indonesia. Namun sayangnya sorotan tersebut bukan karena keberhasilan pemerintah Indonesia memenuhi komitmennya menurunkan emisi 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional sampai tahun 2020. Lagi-lagi, komitmen tersebut tidak terpenuhi, karena pemerintah Indonesia mengikuti dan mengambil pilihan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, proyek-proyek REDD dijadikan isu utama dalam adaptasi perubahan iklim. Apa faktanya? Jika sumber emisi GRK Indoesia terbesar dari land use land use change and deforestation (LULUCF), maka peristiwa kebakaran hutan dan lahan justru menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia. Artinya, selama ini nyaris tidak ada pembenahan tata kelola hutan dan gambut, bahkan dibalik kemasan REDD sekalipun atau dengan kemasan restorasi ekosistem. Kalimantan Tengah yang dijadikan sebagai provinsi project REDD, tingkat kebakaran hutan dan lahan justru parah, menjadi gambaran jelas bahwa solusi palsu penaganan perubahan iklim, hanya melahirkan krisis. Kegagalan tersebut dan rentetan bencana ekologis ini, mestinya memberi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia. COP 21 Paris menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia untuk merubah paradigma pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Jalannya adalah dengan memberikan kepastian alas hak atau hak tenurial kepada rakyat dalam mengelola sumber-sumber kehidupannya. WALHI berharap kehadiran Presiden Jokowi ke COP 21 dan pidatonya di UNFCCC  untuk menyampaikan komitmen menurunkan emisi GRK dengan baseline jelas dan menghitung dari kebakaran hutan dan lahan serta emisi dari sektor energi kotor seperti batubara. Karenanya, INDC’s Indonesia yang masih menunjukkan keraguan komitmen/kontribusi Indonesia yang dapat dilihat dari hanya memasukkan indikasi penurunan emisi 29% dengan mekanisme business as usual (BAU), harus dikoreksi. Jika pemerintah berkomitmen membangun ekonomi yang berkelanjutan, maka kami mendesak tidak lagi menyerahkan kepada pasar dan  korporasi yang akan semakin melanggengkan komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam. Kami berharap dalam pidatonya, Jokowi mengakui dan menjadikan model kelola rakyat yang berbasiskan pada kearifan lokal sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, bukan kepada korporasi termasuk dalam restorasi ekosistem. Kami percaya, bahwa ekonomi bangsa ini akan lebih berkelanjutan dan berkeadilan jika dikelola oleh rakyat dengan kearifan dan pengetahuan lokal yang dimilikinya. Kami juga berharap, pemerintah tidak lagi memberi ruang bagi upaya green wash korporasi yang terlibat dalam kasus asap, baik yang melakukan pembakaran maupun yang di wilayah konsesinya ditemukan titik api, termasuk dengan atas nama restorasi ekosistem. Jika dalam COP Paris nanti Presiden Jokowi masih memberikan kesempatan kepada korporasi, termasuk dengan menggunakan mekanisme trading dalam penanganan perubahan iklim, maka sama artinya pemerintah melecehkan penderitaan korban asap. (selesai) Contact Person: Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI: +6281241481868 Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI: +6281293993460 Rio Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah: +628115200822 Riko Kurniawan: Direktur WALHI Riau: +6181371302269 Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi: +628117463789 Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel: +628127312 Narahubung: Khalisah Khalid di +6281311187498 Rumah Evakuasi Balita 5 Ulu didirikan masyarakat sipil untuk Melindungi rakyat dari Pencemaran asap Karhutla di Sumsel Sabtu, 31 Oktober 2015 Terkait pemberitaan beberapa media massa yang menyatakan bahwa Posko / Rumah Evakuasi Balita Korban asap yang berada di Jalan Kh.Azhari Lorong Keramat No 124 RT 4  RW  1 Kelurahan 5 Ulu Kecamatan Seberang Ulu 1 Palembang, yang pada jumat  30 Oktober 2015 kemarin di kunjungi oleh presiden RI baru didirikan pada malam hari sebelum kedatangan Presiden. Maka dengan ini kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Korban Asap di Sumsel menyatakan dengan tegas berita tersebut tidak benar dan menyesatkan. Adapun Rumah Evakuasi Balita 5 Ulu tersebut adalah murni dari insisatif masyarakat sipil dan tidak ada campur tangan pemerintah baik pusat maupun daerah, proses pendiriannya puntelah dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2015, dengan menyewa satu unit rumah kosong tua yang berada di RT 4 RW 1 milik keluarga Cek Gadis yaitu H.Sul, dengan lama sewa selama 6 bulan. selanjutnya setelah ada kesepakatan sewa menyewa antara Koalisi Masyarakat Peduli Balita Korban Asap dan pihak pemilik rumah, maka team relawan dibantu oleh warga mulai melakukan perbaikan perbaikan terhadap fisik rumah, seperti pembuatan toilet, perbaikan lantai dan jembatan serta penutupan Ventilasi rumah, agar asap yang berada diluar tidak masuk kedalam rumah. Serta memperbaiki Instalasi air yang disalurkan dari rumah ketua RT setempat. Selanjutnya karena Rumah Evakuasi yang kami buat ini untuk Balita maka kami mentapkan  beberapa standart seperti ruangan harus memiliki pembersih udara dan Air Conditioner,untuk melengkapi hal itu maka team relawan melakukan perbaikan dan memeriksa instalasi listrik dengan tujuan agar peralatan listrik dapat dipakai disana.Selain memperbaiki fisik rumah, team relawan juga pada tanggal 26 Oktober 2015  ketika bertemu dengan Kepala Dinas Sosial Propinsi Sumsel yang saat itu berkunjung ke REB Jakabaring. Telah menyampaikn secara lisan kepada kepala Dinas Sosial dan rombongan bahwa Posko REB juga berada di Kelurahan 5 Ulu palembang. Presiden Joko Widodo meninjau rumah evakuasi balita yang tarpapar asap di kawasan 5 Ulu, Palembang, Sumsel (antara foto) Saat seluruh Persiapan selesai dan fasilitas REB sudah dilengkapi maka kegiatan di Rumah evakuasi Balita berjalan dengan normal  (dokumentasi kegiatan Terlampir), walaupun sebenarnya kerja kerja sosial dan kemanusian sudah dilakukan sejak sebelum rumah evakuasi tersebut bisa digunakan misalnya mengantarkan beberapa balita yang diduga terkena ISPA kerumah sakit dan ke rumah evakuasi di jakabaring. Fakta Fakta diatas menunjukan bahwa REB Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Korban asap yang berada di 5 Ulu telah di mulai lama, jauh sebelum Bapak Presiden berkunjung bahkan sebelum Bapak Presiden melakukan kunjungan kerja Ke Amerika yang sepulangnya baru memutuskan untuk berkantor di Kabupaten OKI Sumsel. Selain itu sampai dengan Pukul 7.30 Wib Pagi (30/10), tidak ada satu orang pun dari Relawan mengetahui Jokowi akan berkunjung ke REB 5 Ulu, dan baru di ketahui ketika dari Pihak Paspampres menemui Teman teman di Posko menginformasikan bahwa Kemungkinan Bapak Prsiden akan berkunjung ke Posko REB yang kami buat.  Untuk itu jika di beberapa berita On line yang tersebar menuliskan bahwa rumah tersebut adalah rumah yang dibuat dalam waktu semalam maka sangat keberatan dan hal itu sangat menyesatkan Publik dan pembaca. Sekali lagi kami ingin menginggatkan bahwa posko ini adalah posko yang dibuat masyarakat sipil yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah lokal maupun di tingkat nasional. Kami mendirikan Posko ini murni kerja sosial dan kemanusian karena melihat tidak ada upaya pemerintah Daerah untuk melindungi masyarakat dari paparan Asap Kebakaran Hutan dan lahan yang dilakukan Koorporasi di Sumsel. Dan harapan kami apa yang kami lakukan ini dapat di Adopsi dan dilakaukan pemerintah sesuai dengan kewajibannya dalam Undang Undang. Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Korban Asap Koodinator REB 5 Ulu Afex Indawan HP : 085658743737 FB Group : Koalisi Peduli Balita Korban Asap (https://www.facebook.com/groups/693746334060329/?fref=ts )   Kasus PT. BMH Pintu masuk menjerat Koorporasi Besar Jum’at 23 Oktober 2015 BMH berpotensi lepas dari jeratan Hukum. Jakarta, 20/09/2015. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 3 februari 2015 telah mengajukan gugatan perdata kepada PT Bumi Mekar Hijau selaku perusahaan hutan tanaman industri (HTI). Gugatan perdata itu didaftarkan melalui pengadilan Negeri Palembang. Dasar gugatan adalah mengacu pada data tahun 2014 dimana terdapat 531 titik di lahan konsesi perusahaan tersebut. PT BMH layak digugat karena karena harus bertanggung jawab atas pembakaran hutan dan lahan seluas seluas 20.000 hektar di kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Untuk diketahui, PT BMH merupakan anak perusahaan dari Asia Pulp and Paper (APP) yang memiliki luas areal konsesi 250.370 ha di kabupaten Ogan Komering Ilir. Gugatan terhadap PT.BMH yang didaftarkan KLHK menjadi pembuktian atas perintah tindak tegas dari Presiden terhadap korporasi pembakar hutan saat berkunjung ke Sumsel pada 7 September lalu. Demikian pula bagi publik menjadi rujukan untuk tetap percaya kepada pemerintah. Kepercayaan tersebut tentu ada syaratnya yaitu KLHK harus bersungguh-sungguh dalam mengawal persidangan ungkap Hadi Jatmiko selaku Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan. Kami tidak ingin pemerintah menghadirkan pembela yang hanya diam dan maggut-manggut di pengadilan tanpa argumentasi. Kita ingin mulai dari pengacara hingga saksi ahli yang dihadirkan merupakan orang pilihan terbaik pemerintah yang memiliki komitmen kuat untuk membela total kepentingan bangsa dan negara imbuh Hadi. Jika nanti pemerintah kalah, kami bisa memastikan bahwa akan banyak korporasi baik di Sumsel maupun di tingkat nasional akan lepas dari jerat hukum. Hadi Jatmiko berharap pula kepada para hakim dalam kasus ini untuk berpihak pada kebenaran yang hakiki dan tidak perlu takut pada intervensi. Sejak awal menurut Hadi Jatmiko Walhi mendukung penuh upaya pemerintah melalui KLHK mengajukan gugatan perdata kepada PT BMH. Karenanya jangan sampai kami selaku bagian dari masyarakat dikecewakan oleh kinerja buruk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Muhnur Satyahaprabu Manager Kabijakan dan Pembelaan Hukum Walhi menyayangkan Kementrian Lingkungan dan Kehutanan seolah-olah merahasiakan gugatan ini didepan publik, padahal peran publik dalam mendukung upaya kongkret pemerintah menggugat perusahaan sangat diperlukan. “pemerintah dari awal tidak serius mengajukan gugatan ini, atau setidaknya target pemerintah mengajukan gugatan ini perlu dipertanyakan. Banyak indikasi ketidakseriusan pemerintah selama dipersidangan berlangsung seperti tidak maksimalnya pembuktian yang dilakukan oleh pemerintah, tidak mampu megeksplore lebih dalam tentang dampak dari kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan” ujar Muhnur Kejanggalan juga bisa dilihat dari susunan Majelis Hakim yang memimpin persidangan kasus tersebut. Berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor : 134/KMA/SK/IX/2011 tentang sertifikasi hakim lingkungan maka ketua majelis hakim yang memimpin persidangan kasus tersebuut haruslah hakim yang bersertifikasi lingkungan tutup Muhnur; Kontak Person : Muhnur Satyahaprabu (081326436437) Hadi Jatmiko (08127312042) “Jejak Asap Korporasi: Tanggung Gugat Korporasi terhadap Dampak dan Pemulihan Lingkungan Hidup” Jumpa Pers bersama di Eksekutif Nasional Walhi terkait perusahaan perusahaan yang terlibat pembakaran Hutan dan Lahan Di kalimantan dan Sumatera   Jakarta, 1 Oktober 2015. Hari ini WALHI mengeluarkan hasil analisis kebakaran lahan dan hutan yang menunjukkan peran korporasi, khususnya di sektor kehutanan dan perkebunan, dalam tragedi asap yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir di Indonesia. Hasil analisis ini juga menunjukkan jejak api group-group usaha yang  difokuskan pada 5 propinsi yang mengalami dampak terparah, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kebakaran hutan dan lahan selama 18 tahun menjadi fakta tak terbantahkan bahwa monopoli kawasan hutan dan lahan untuk pengembangan investasi perusahaan merupakan penyebab utama kebakaran dan polusi asap di Indonesia. Sampai di tahun 2014 saja, 4 (empat) sektor industri ekstraktif (logging, perkebunan kelapa sawit, HTI, dan tambang) telah menguasai sekitar 57 juta hektar hutan dan lahan di Indonesia. Penguasaan ini dibarengi praktik buruk pengeloaan konsesi, salah satunya adalah tindak pembakaran hutan dan lahan gambut untuk kemudahan pengembangan produksi. Penggundulan hutan dilakukan secara masif dan sistematis, dan diikuti dengan pengeringan lahan gambut dengan cara membelah-belah lahan gambut dan membangun kanal-kanal. Pembersihan lahan dilakukan dengan pembakaran yang bertujuan untuk menghemat biaya operasi, juga untuk mengurangi derajat keasaman lahan gambut, sehingga cocok untuk ditanami tanaman komoditas industri. Praktik ini hakikatnya telah menghancurkan hutan dan lahan gambut sehingga ekosistem kehilangan keseimbangan alaminya. Bertahun-tahun titik api ditemukan di konsesi perkebunan monokultur skala besar, terutama yang beroperasi di lahan gambut. Dalam periode Januari – September 2015 terdapat 16.334 titi api (LAPAN) atau 24.086 titi api (NASA FIRM) untuk 5 propinsi; Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau. Analisis data dan fakta kebakaran hutan dan lahan di 5 propinsi sampai di bulan September 2015, WALHI menemukan bahwa titi api berada di dalam konsesi perusahaan; Kalimantan Tengah 5.672, Kalimantan Barat 2.495, Riau 1.005, Sumatera Selatan 4.416, dan Jambi 2.842. Edo Rakhman, Manajer Kampanye Eksekutif Nasional WALHI menerangkan,”Hasil analisis dari 5 propinsi yang dilanda asap terparah, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengahmenunjukkan bahwa mayoritas titik api yang ditemukan di tahun ini berada di dalam konsesi perusahaan, terutama HTI (Hutan Tanaman Industri) sebanyak 5.669 titik api dan perkebunan kelapa sawit sebanyak 9.168 titik api. Hasil overlay titik api dengan konsesi perusahaan menunjukkan bahwa di  4 propinsi (Jambi, Sumsel, Riau, dan Kalteng), perusahaan group Wilmar dan Sinarmas paling banyak ditemukan berkontribusi terhadap keseluruhan jumlah titik api.  Group Wilmar 27 perusahaan dan Group Sinarmas 19 perusahaan.” Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau mengatakan,”Hasil analisis yang dilakukan oleh Koalisi Eyes of the Forest di mana WALHI Riau menjadi bagiannya, menunjukkan bahwa group Asia Pulp and Paper dan RGM/APRIL  (industri HTI) merupakan group dengan jumlah perusahaan yang terbanyak menyumbang titik api, yakni masing-masing 6 perusahaan” Kebakaran hutan dan polusi asap telah memberikan dampak yang sangat buruk terhadap kesehatan masyarakat. Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat polusi asap setidaknya telah mencapai jumlah yang sangat besar, Jambi 20.471 orang, Kalteng 15.138 orang, Sumatera Selatan 28.000 orang, Kalimantan Barat 10.010 orang. Anton P. Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat, menegaskan, “Harus ada perubahan paradigma dan pendekatan pemerintah dalam menangani kebakaran dan asap, bukan hanya melakukan upaya setelah kebakaran tersebut terjadi (emergency response), tetapi harus kepada upaya-upaya pencegahan secara sistematis dan struktural, termasuk dalam hal ini menuntut tanggung gugat perusahaan atas dampak kebakaran dan polusi asap ini. Kehadiran negara dalam situasi seperti ini juga sangat penting untuk memastikan jaminan hak warga negara atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.” Hal senada disampaikan Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan , “aktor utama pelaku pembakaran hutan adalah korporasi, sehingga negara harus memastikan tanggung jawab penuh dari pihak perusahaan. Jika negara ingin tanggung jawab terhadap masyarakatnya, maka negara juga mesti lebih berani menuntut tanggung jawab perusahaan atas dampak buruk kebakaran dan asap terhadap masyarakat dan memastikan pemulihan lingkungan.” Secara khusus, terkait dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, Arie Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah menerangkan,” tanggung jawab negara bukan hanya pada saat ada asap. Kementerian Kesehatan perlu melakukan monitoring kesehatan secara berkala untuk wilayah yang terpapar asap baik sekarang maupun pasca kabut asap. Mesti segera ada penanganan secara maksimal terhadap penderita ISPA. Kami juga menghimbau Menteri Kesehatan, Ibu Nina Moeloek untuk turun ke lapangan dan merasakan dampak asap tersebut, sehingga tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bisa mencederai rasa keadilan masyarakat.” Rudiansyah, WALHI Jambi menegaskan, “sebagai bentuk upaya memuntut tanggung gugat perusahaan akibat kebakaran dan polusi asap ini, maka WALHI akan menempuh upaya hukum, seperti clas action, dan citizen law suit baik yang akan dilakukan di daerah maupun di nasional. Upaya ini sebagai bagian yang tak terpisakan dari tuntutan atas peran dan fungsi negara untuk melakukan penegakan hukum atas korporasi  yang melakukan pembakaaran hutan dan lahan gambut di Indonesia.” Contact person: Edo Rakhman 081356208763 Rudiansyah (WALHI Jambi) 081366699091 Arie Rompas (WAHI Kalimantan Tengah)08115200822 Hadi Jatmiko (WALHI Sumatera Selatan) 08127312042 Anton P. Widjaya (WALHI Kalimantan Barat)0811574476 Riko Kurniawan (WALHI Riau) 081371302269 Siaran Pers : “Dimana ada asap disana Pasti ada konsesi” Selasa, 01 September 2015 Sebaran Hotspot selama Agustus 2015 Jakarta, 1 September 2015. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terus terjadi dalam 1 dekade ini merupakan gambaran nyata bahwa kerusakan alam telah sangat parah dan sistematis. Setidaknya 66 kabupaten yang ada di 5 Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, langganan kebakaran dan “berasap” dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2011, ditemukan sebanyak 18.789 titik api dan pada tahun 2014 naik menjadi 20.253 titik api. Peningkatan kebakaran bukan saja mengalami peningkatan dalam  jumlah titik api, tetapi juga terhadap intensitas kejadian kebakaran setiap tahunnya. Bila peningkatan titik api mulai terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, maka Sumatera mengalami peningkatan intensitas kejadian kebakaran hingga dua kali kejadian kebakaran dalam satu tahun. Tahun 2014, ditemukan indikasi titik api terdapat pada kawasan hutan yang dibebani hak Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebanyak 4.084 titik api di 150 konsesi, dan 603 titik api di 85 konsesi perusahaan (IUPHHK-HA). Selanjutnya, selain pada kawasan hutan yang dibebani izin, kebakaran hutan dan lahan diduga marak juga terjadi di dalam dan di sekitar kawasan konsesi perkebunan kelapa sawit di kawasan APL dan kawasan hutan. Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, dalam keterangan persnya menerangkan, “di tahun 2014, Presiden Jokowi telah berkomitmen Indonesia bebas asap 2015. Namun, kebakaran dan asap tahun ini menjadi bukti bahwa komitmen ini masih sangat jauh dari harapan. Ada 5 langkah strategis dan mendesak yang mesti dilakukan Presiden;  1. Menginstruksikan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati) untuk melakukan gerakan serentak penyekatan kanal dan menerapkan proses sanksi terhadap pemegang konsesi sawit, sebagai tindakan mendesak yang harus segera dilakukan oleh Kepala Daerah, 2. Melakukan upaya penegakan hukum terhadap perusahaan yang ditemukan adanya titik api di wilayah konsesinya, 3. Melakukan review perizinan terhadap konsesi yang mengalami kebakaran dan/atau mengalami konflik dengan masyarakat.  4. Menghentikan penerbitan izin baru sebagai kesempatan untuk melakukan evaluasi terhadap izin yang telah diberikan dan termasuk evaluasi terhadap pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap izin yang dikeluarkan, 5. Memulihkan kawasan hutan kritis dan memberi kesempatan pengolahan dan perlindungan hutan kepada masyarakat di sekitar hutan.” Musri Nauli , Direktur Eksekutif WALHI Jambi menjelaskan “titik api terbanyak berasal dari gambut. Kawasan genting, unik dan penting sudah rusak. Kawasan yang selama ini mampu memberikan perlindungan dan sebagai tempat tangkapan air (catchment water area) dirusak oleh HTI, sawit dan berbagai aktivitas manusia lainnya kemudian menjadikan kubangan yang mudah terbakar. Pola ini berulang terus menerus dengan modus yang canggih, rapi dan pola tempat terbakar yang sama setiap tahun. Pemegang izin tidak mampu lagi menjaga lokasi izinnya. Selain para pelaku dijerat dengan berbagai UU seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU LH yang “tegas” adanya kebakaran di areal izinnya, para pemegang izin dapat diminta pertanggungjawabannya (absolute liability).” Tidak jauh berbeda, kebakaran tahun ini juga kembali terjadi di Kalimantan Tengah. Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah meyampaikan, “apresiasi terhadap penyegelan lokasi kebakaran di beberapa perusahan perkebunan di Kalimantan tengah, namun langkah ini belumlah cukup menyelesaikan masalah, jika tidak disertai dengan upaya rehabilitasi lahan gambut dan menghentikan perizinan perusahaan yang mengakibatkan konversi lahan gambut kepada investasi skala luas yang berbasis lahan di Kalimantan Tengah.” sebaran hotspot 2014 – 2015 Terkait penegakan hukum atas kebakaran hutan dan lahan, sebagai contoh di Sumatera Selatan. “Kami menilai pemerintah tidak serius melakukanya dan terlihat hanya formalitas saja. Gugatan pemerintah terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (APP Group) yang merugikan negara Rp. 7,9 triliun tahun 2014 lalu, sampai saat ini tidak terdengar gaungnya. Jangan sampai ini hanya upaya untuk mencuci kejahatan perusahaan dengan mengunakan tangan pemerintah dan pengadilan. Ketidakseriusan ini menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan berakibat bencana asap terus berulang tahun.” terang Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan. Masih terkait upaya penegakan hukum dalam penanganan kebakaran hutan, di Kalimantan Barat, Anton Wijaya, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Barat menegasakan, “Kepolisian Daerah Kalimantan Barat harus segera mencabut Maklumat terkait kebakaran hutan, karena di lapangan hanya menimbulkan kemarahan dan resistensi dari masyarakat lokal dan justru tidak menjawab persoalan pokok terkait penyebab kebakaran. Kepolisian harusnya melakukan penegakan hukum seadil-adilnya kepada para penjahat lingkungan yang jelas-jelas adalah korporasi yang melakukan pembakaran dalam proses pembersihan lahan-lahan konsesi mereka. Penegakan hukum juga harus dilakukan kepada stakeholder lain selain private sector yang memiliki mandat dan wewenang melakukan perbaikan tata kelola sumber daya alam, memastikan praktek kebun tanpa membakar tetapi tidak menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.”  Fakta-fakta temuan WALHI di berbagai daerah menunjukkan bahwa akar masalah terbesar kebakaran dan asap di Indonesia sangat nyata dan sebenarnya sangat dipahami oleh pemerintah. “Mestinya pemerintah “memadamkan api dengan Pena”, bukan dengan modifikasi cuaca, karena sumber masalahnya dari penerbitan konsesi” tutup Abetnego Tarigan. Contact person: Zenzi Suhadi 081384502601 Musri Nauli 08127807513 Arie Rompas 08115200822 Hadi Jatmiko 08127312042 Anton P. Wijaya 0811574476 Posts navigation Previous 1 … 10 11 12 … 32 Next WALHI SUMSEL Jl. Musi 6 Blok T No. 28, RT 02 RW 07 Kelurahan Siring Agung, Kecamatan ilir barat 1. Palembang. (0711) 5718 789 info@walhisumsel.or.id Use two fingers to move the map Map data ©2020 Google Terms of Use MapSatellite Proudly powered by WordPress | Theme: Sydney by aThemes. Beranda Kampanye Pengaduan Kasus Tentang Kami ShareThis Copy and Paste

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TOPIK MINGGU

KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN

SURAT KEPUTUSAN : Nomor : SK/42/DEPIDER/BK/VI/2016. TENTANG KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN.  "MAJU TERUS PANTANG MUND...