Jumat, 03 April 2020

SRIWIJAYA KU YANG HILANG SUMBER DARI SEJARAH DAN ADAT ISTIADAT BUMI PUTRA NUSANTARA INDONESIA



TRIBUNUS,BANYUASIN - Bangsah Indonesia yang saat ini di ambang pintu itu karna terkikisnya budaya bangsa jelas akibat dari pengabaian terhadap nilai-nilai tradisi serta adat istiadat leluhur yang tidak mampu dilestarikan serta tidak bisa dikembangkan untuk menjadi pilar kepribadian bangsa Indonesia sebagai Benteng kekuatan Nasionalis guna menghadapi perkembangan dan tuntutan jaman.
Nilai-nilai budaya suku bangsa Indonesia yang sepatutnya dapat dipertahankan sekaligus bisa dijadikan Filsafat dan setandar budaya serta batasan batasan atas Hak Hak Ulayat yang hakiki seharusnya menjadi pijakan untuk dikembangkan, sehingga dapat menjadi kekuatan dari- pertahanan budaya bangsa yang terus mendapat gesekan atas politik luar untuk menghapuskan hak hak yang beradap yang menjunjung tinggi Hak asasi Manusia di jadi kan tolak ukur yang harus pemerintah jaga sebagai Pondasi berdiri Kokoh nya PANCASILA dan UUD,45 sebagai Ideologi dan Ruhnya Bangsah Indonesia ini. 

Kemajuan serta tuntutan teknologi termodern yang ikut menggerus budaya tradisional suku bangsa Indonsia, harus segera dibentengi dengan nilai-nilai budaya leluhur kita sebagai jatidiri bangsa yang otentik dan original. 

Jati diri bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan sesungguhnya telah teruji dan ampuh dalam menghadapi penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian serta harkat dan martabat bangsa dari segenap suku bangsa Indonesia yang khas Timur, bukan berbudaya Barat. 

Karenanya perlu formulasi nyata dengan cara menghimpun ide serta gagasan yang cerdas dan brilyan melalui diskusi hingga musyawarah akbar bersama masyarakat adat dan masyarakat Sriwijaya yang ada di nusantara dapat segera dilaksanakan. 

Formula yang jitu dan selaras dengan budaya dari suku bangsa Indonesia jelas semakin mendesak untuk dapat menghantar segenap warga bangsa dan warga negara Indonesia memasuki pintu gerbang kemerdekaan yang substansial, yaitu adil, makmur, aman dan tenteram dalam wujud nyata lahir dan bathin. 

Ragam kegiatan — untuk melestarikan, mengembangkan budaya tradisional suku bangsa Indonesia yang telah mengakar dalam adat istiadat bangsa nusantara — pantas dijadikan dasar pijak serta pakem untuk melesat ke masa depan, tanpa abai pada masa lalu yang pernah berjaya dalam bidang teknologi, pertanian serta perdagangan hingga tata pemerintahan. Tentu saja untuk hal-hal yang sudah tidak relevan dapat ditinggalkan tanpa mengabaikan nilai-nilai moral serta spiritual yang terkandung di dalamnya. 

Ragam diskusi, workshop serta seminar hingga beragam kegiatan yang dapat dan mampu memantik bangkit dan berkembangnya budaya bangsa nusantara harus segera dimulai. Karenanya, rasa peduli serta kesadaran segenap elemen bangsa perlu dan patut ambil bagian, sehingga budaya bangsa Indonesia dapat menjadi benteng dari ketahanan nasional dalam pengertian yang lebih luas.

Kesadaran serta pemahaman kita bahwa pembentukan Negara Bangsa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, sangat jelas bahwa jasa masyarakat adat serta masyarakat rumpun melayu ialah Sriwijaya tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, peranan masyarakat adat dan masyarakat Sriwijaya patut dikaji ulang peran serta haknya dalam usaha membangun bangsa dan negara Indonesia menuju masa depan yang lebih baik, lebih makmur dan sejahtera serta lebih beradab, sehingga manusia Indonesia dapat lebih bermartabat, damai, aman, tenteram serta berkeadilan menikmati capaian sejahtera dalam wujud lahir dan bathin. 

Tekad dan amanat kemerdekaan bangsa Indonesia seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945; “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” 

“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Realitasnya, setelah mengalami berbagai tahap amandemen, UUD 1945 yang menjadi pegangan bangsa Indonesia membangun berbagai aspek kehidupan yang lebih baik dan lebih beradab/ Kini mulai terasa cacat dan celanya dari akibat susulan dari amandemen UUD 1945 itu setelah satu dasa warsa diberlakukan. Hasil bumi dan air serta segenap kekayaan alam yang ada di bumi nusantara tidak bisa sepenuhnya dinikmati oleh segenap warga bangsa Indonesia. 

Seharusnya Sang Raja Sriwijaya menyangkal atas hasil amandemen karna tak sesuai dengan Pancasila. Karenanya hasil amandemen UUD 1945 perlu ditinjau ulang. Usulan untuk meninjau ulang hasil amandemen UUD 1945 , lantaran secara yuridis formal mengalami perombakan itu tidak lagi mencerminkan jatidiri bangsa Indonesia. Karena UUD 1945 hasil amandemen telah membuat kerapuhan Pancasila sebagai Dasar Negara pada substansi hukum yang paling mendasar. Sehingga adanya penyimpangan dari Jiwa Pancasila yang sesungguhnya. “Jika kedaulatan rakyat hanya berhenti hanya pada Presiden dan DPR RI, maka tujuan negara tentang kesejahteraan sebagaimana terkandung dalam Pembukaan (Alenia VI, UUD 1945) dan sila kelima, maka menjadi mustahil akan terwujud. Bahkan sebaliknya – kekayaan negara untuk esejehteraan – hanya untuk realisasidemokrasi semata. 

Rapuhnya Pancasila sebagai dasar negara, seperti tercermin dalam pemaparan empat pilar MPR RI yang justru menyatakan bahwa Pancasila seagai bagian dari empat pilar itu. Demikian juga dengan menipisnya nilai-nilai kebangsaan dari warga bangsa Indonesia – utamanya para pejabat pemerintah dan elite politik serta birokrat — yang cenderung menuju titik nol. Dampaknya adalah munculnya virus berbahaya yang mematikan, yaitu pesimisme, apataisme dan fatalisme yang berujung pada politik identitas yang menafikan kebhinekaan bangsa Indonesia. Sebagai rumpun bangsa yang beraneka ragam, bangsa Indonesia dapat menyelesaikan setiap perbedaan maupun konflik dengan nilai-nilai dan prinsip musyawarah mufakat secara damai dan bermartabat suda tidak ada lagi ujutnya. 

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” 

Hasil amandemen UUD 1945, pasal 18, sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001 tanggal 1–9 November 2001 mempertegas bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa diubah. Berikutnya adalah pasal 18B ayat 1 menyatakan bahwa; Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa di sini harusnya tana Sriwijaya merupakan daerah yang Khusus dan Istimewah seperti yang diatur dengan undang-undang. Sedangkan pada ayat 2 Pasal 18B UUD 1945 menegaskan; Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 83; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2778), dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti dengan UU No. 5 Tahun 1974.

Pertimbangannya adalah untuk melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan Bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi.

Adapun cara penyelenggaraan pemerintahan di daerah, selain didasarkan pada azas desentralisasi dan azas dekonsentrasi juga dapat diselenggarakan berdasarkan azas tugas pembantuan; bahwa untuk mengatur yang dimaksud di atas, perlu ditetapkan Undang- undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah. Adapun inti dari ini adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya. Konsekuensinya otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Adapun substansi dari makna dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabatnya di daerah. Sedangkan urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik, kordinasi, pengawasan, dan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu lnstansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga Daerah.

Ada juga UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang mempertimbangkan keberadaan dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa praja (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 84), karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif.

Kecuali itu juga, dipandang perlu segera mengatur bentuk dan susunan pemerintahan Desa dalam suatu Undang-undang yang dapat memberikan arah perkembangan dan kemajuan masyarakat Desa sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah. Karena itu, awalnya pembentukan Desa dan Kelurahan adalah tindakan mengadakan Desa dan Kelurahan baru di luar wilayah Desa-desa dan Kelurahan-kelurahan yang telah ada.

Undang-undang Nasional yang ada seyogyanya harus menjamin tataperdesaan yang lebih dinamis dan penuh daya-guna dalam rangka menyelesaikan Revolusi Nasional yang Demokratis dan Pembangunan Nasional Semesta, sesuai dengan isi dan jiwa Manifesto Politik sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dan pedoman-pedoman pelaksanaannya yang pernah menjadi program Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama (1961-1969) dan sempat di diperkukuh dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. I/MPRS/1960 dan No. II/MPRS/1960. 

Sekarang – jaman now – ada pula UU No. 6 Tahun 2014 yang menyederhanakan jabaran UU sebelumnya, sehingga membuat kerdil peranan hukum adat serta sumber daya masyarakat adat – termasuk Sriwijaya atau tata pemerintahan model kerajaan yang pernah berjaya di nusantara. Kendati dalam pertimbangan UU No. 6 Tahun 2014 ini menayatakan bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Atas dasar pemikiran sumbangan dan pengorbanan yang sangat besar telah diberikan oleh warga masyarakat adat dan Sriwijaya se Nusantara, maka gagasan untuk memberi tempat yang sewajarnya bagi warga masyarakat adat dan warga masyarakat Sriwijaya di nusantara ini sebagai pemilik sah dari alam dan jagat lingkungan serta segenap tata budaya manusia di nusantara ini, sewajarnya memperoleh peran dalam menata bangsa dan negara untuk masuk ke dalam pintu gerbang kemerdekaan yang menjadi cita-cita serta kesepakatan segenap warga bangsa Indonesia untuk hidup lebih layak, lebh baik dan lebih beradab mulai hari ini dan untuk masa depan.** 

Suda saat nya kita menjalan kan Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA) di Nusantara dan Bumi Putra Sriwijaya menjadi Pioneer dan Garda terdepan membuat perubahan dengan Cara menghapuskan Kapitalis (Perkebunan pertambangan) mengembalikan Hak Hak Rakyat adat (warga asli Sriwijaya) ,Setiap perseorang orang Asli Sriwijaya terhitung menjadi tanggungan Rajanya dengan Besarannya Berlipat2 karena setiap warga ikut andil bagian bagi hasil SDA ,SDM, dan SDD. tampa harus kerja” Maka dari itu Apa pun yang terkandung dari Segenap wilaya Sriwijaya Itu milik Masyarakatnya Peninggalan dan prasasti serta nama dan simbol yang ada kaitannya secara mutlak Dari Sriwijaya harus ada Kontribusi (Candi reklame Gambar di Uang dll) Pajak terhadap Raja Sriwijaya dan ini semuanya di tentukan Oleh Pucuk pimpinan masyarakat Adat Yaitu Raja Sriwijaya. 

Pokok fikiran Anak bangsa Anak cucu dari Semidang sakti Bernama Ahmad Furqon bergelar Semidang Sakti lebih di kenal di tanah Sriwijaya Puyang Radjo Nyawe “Roni Paslah” saat ini warga masyarakat di Kabupaten Banyuasin.

Allahu Akbar
Bermula dari : Laa ilaha ilallah
Berjalan dengan : Muhammadarasulullah laa haula wala quwata ilaa billah 
Berakhir dengan : Inalillahi wa ina ilaihi rojiun. 

Aku Qur'an tujuh Masani,
Aku Roh pusat Rohani,
Hatiku kutitip kepada insani, 
Kepadanya kuberikan lidahku ini. 

Gambaran Masala yang menjadi penderitaan Seluruh Masyatakat di lihat dari kondisi yang sebenar-benarnya di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.



Pideo ini mencermin kan kemiskinan Masyarakat kab banyuasin Sum-sel, dampak dari kesemena,menaan Pejabat dan lemah nya penegak,an Hukum di Kab Banyuasin Sum-Sel.http://beritanda.com/index.php/video/9432-yek-karim-potret-kemiskinan-di-banyuasin
Video Kesemerautan Tata Kota dan Pusat Pasar Kota kabupaten Banyuasin Sum-Sel..”https://www.youtube.com/watch?v=-V1Q8QbbYT8

MBM menuntut Janji Kapolda Sum-Sel Irjen Pol, Saud Usman Nastion dan Kejari kab Banyuasin Suwito,SH 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TOPIK MINGGU

KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN

SURAT KEPUTUSAN : Nomor : SK/42/DEPIDER/BK/VI/2016. TENTANG KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN.  "MAJU TERUS PANTANG MUND...