Jumat, 16 November 2018

Berita Duka Datang Dari Satuan Polres Banyuasin

BANYUASIN,TRIBUNUS.CO.ID - Innalillahi Wainnailaihi Rojiun Kepolisian Polres Banyuasin kehilangan salah seorang perwira terbaiknya, Almarhum AKP Ery Yusdi merupakan perwira Polisi masi menjabat sebagai Kasubag Humas Polres Banyuasin.

Almarhum meninggal dunia Pukul 03.20.Wib dini hari. Dikabarkan Almarhum meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pangkalan Balai diduga akibat serangan jantung.

“Kami merasa kehilangan, almarhum sudah mengabdi di kepolisian selama 40 tahun. Kami turut berduka,” ujar Kapolres Banyuasin, AKBP. Yudhi Surya Markus Pinem, S.IK. Jum’at (16/11).

Almarhum AKP. Ery Yusdi disemayamkan di rumah duka, kemudian selanjutnya pada sore hari ba'da Ashar langsung di kebumikan TPU Nurul Iman Talang Kacang, Kelurahan Kedondong Raye, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin.

Pewarta : roni

Senin, 12 November 2018

Pemusnahan Barang Bukti Narkoba Jenis Sabu Sabu Seberat 7 Kg Dilakukan Direktorat Narkoba Polda Sumsel

TRIBUNUSBANYUASIN.CO.ID - Pemusnahan barang bukti narkotika jenis sabu sabu sebanyak tujuh kilogram (7kg) Oleh Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumatera Selatan. Barang bukti tersebut hasil dari beberapa kasus narkoba yang berhasil Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumsel ungkap beberapa waktu terakhir ini.

Pemusnahan barang bukti tersebut dari beberapa kasus sejak tahun 2013 hingga 2018.
Pemusnahan barang bukti tersebut merupakan tindak lanjut dari penanganan perkara yang diungkap oleh Subdit I dan Unit tim khusus Dit Res Narkoba Polda Sumsel. 

Terlebih dahulu mendapat surat ketetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri Palembang dan Banyuasin untuk dimusnahkan berikut 14 daftar barang temuan yang ada di brankas bagian wassidik sejak tahun 2013.

Ke 9 tersangka dihadirkan dalam acara pemusnahan tersebut.dimusnahkan di gedung Dit Res Narkoba, Senin (12/11/2018).

Tersangka tersebut adalah Rihardi bin Suyitno, Candra Hamid bin Ulik, Dedi Irawan bin Suradi, Saeful Ridwan bin Husen, Hermansyah, Nazarudin bin Zaenal, M. Adi Ariansyah bin Zailani, M. Liberta Pratama bin Ramlan, dan Chamli Ismail bin Ismail.

Wadir Reserse Narkoba Polda Sumsel, AKBP Amazona Pelamonia saat diwawancara mengatakan, penangkapan tersangka ada yang dilakukan di Medan hingga Aceh.

Sebanyak 7 kilogram barang bukti telah dimusnahkan. Dimana 1 kilogram narkotika bisa membunuh 6000 orang. Sehingga dengan adanya pemusnahan barang bukti sebanyak 7 kg tersebut, kami telah menyelamatkan 42.000 orang”, ujarnya.
AKBP Amazon berharap untuk para bandar agar bisa diberi hukuman seberat-beratnya.

“Untuk para bandar diharapkan untuk dihukum seberat-beratnya, kalau bisa hukuman mati”, pungkasnya.

Pewarta : rn


Minggu, 11 November 2018

STOP Kekerasan Pada Jurnalis,Walpri Herman Deru Suda Langgar UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers

PALEMBANG,TRIBUNUSBANYUASIN.COM – Lagi-lagi terjadi kekerasan pada sang pekerja publik kulinya tintah kali ini dialami seorang wartawan detik.com ia diinterpensi, dikriminalisasi oleh beberapa orang pengawal pribadi (walpri) Gubernur Sumsel Herman Deru.

Walpri Gubernur Sumsel Herman Deru terlibat bentrok dengan Raja Adil Siregar salah satu jurnalis detik.com, saat kegiatan PT Sampoerna di Palembang Trade Center (PTC).Sabtu (10/11) Kemarin.

Diceritakan oleh Raja melalui Pernyataan terbukanya kronologi keributan dirinya dengan staff pengawal pribadi Gubernur Sumsel saat dirinya hendak wawancara dengan Gubernur Herman Deru terkait UMKM di Sumsel. Karena kondisi yang sempit Raja sempat minta izin dengan walpri berpakaian safari hitam lengkap.

“Karena jarak saya dengan Gubernur jauh dan tidak bisa bertanya, saya bilang mau izin untuk kedepan. Saat itu saya ingin bertanya terkait UMKM, tapi perut saya selalu dihalangi dan tidak bisa maju ke depan,” ungkap Raja.

Kemudian, saat wawancara hampir selesai, Raja mencoba maju dan menanyakan ulang terkait UMKM. “Beberapa kali saya bertanya dengan gubernur. Namun tetap ditarik dari belakang saat wawancara,” tuturnya. “Selesai wawancara saya sempat bilang Izin saya wartawan, saya dari media dan saya tahu kapasitas saya mas. Saya bisa jaga jarak kok, nggak mungkinlah saya dorong-dorong,” sambungnya.

Ia menjelaskan, kalimat tersebut di sampaikan karena walpri bilang jangan maju dan jangan dorong-dorong, sambil membatasi jarak yang menurutnya berlebihan karena terus-menerus menarik jaket.

“Saat kalimat itu saya ucapkan, seorang walpri marah dan menanyakan kenapa saya ngomong begitu. Padahal kalimat itu menjawab pernyataan walpri supaya tidak terlalu dekat dengan gubernur dan menurut saya itu jarak yang normal,” terangnya.

“Entah apa yang terjadi, tiba-tiba seorang walpri menarik saya dan mendorong ke belakang. Saat itu ada Karo Protokol Pemprov, Pak Iwan menanyakan “Ada apa, ada apa,” tambah Raja.

Tetapi walpri berseragam safari lengkap datang beberapa orang dan mendorong dirinya keluar dari kerumunan. “Saat akan mundur ke belakang, lagi-lagi walpri datang dan mendorong sambil melontarkan kalimat yang kalau tidak salah saya “Memangya kenapa kau ha?,” sambil mendorong kebelakang,” tutur Raja.

Saat itu suasana semakin panas setelah dirinya didorong dan masih berusaha menjelaskan. Tiba-tiba teman-teman media lain datang, dan dirinya sempat ditarik ke belakang. “Tapi tetap saja beberapa walpri mengejar saya dan mengajak berkelahi,” jelasnya.

Sementara itu, saat dikonfirmasi Staf Khusus Gubernur Sumsel Bidang Media, Alfrenzi Panggarbesi mengatakan persoalan tersebut sudah selesai. “Sudah selesai, tadi saya di TKP, Dak katek yg ribut. Kami makan makan samo raja dan kawan kawan wartawan, ” singkatnya.

Pagi ini saat dikontak menanyakan perkembangan Raja, semalam kira kira Pukul : 18:00.WIB Malam dirinya Berkordinasi dengan AJI,PWI Dan IWO Sumsel Insya Allah Hari Senin Akan diadakan Gelar Aksi Demo hanya saja Titik kumpulnya kita belum tentukan menunggu hasil konsolidasi dengan PWI dan IWO jelas raja.

Sama sama kita ketahui Menghalangi tugas wartawan tidak dibenarkan dan melanggar undang undang pers no 40 tahun 1999. Pada BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pada Pasal 18 ayat 1 Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pewarta : roni

Sabtu, 10 November 2018

Delapan Negara Yang Percaya Mitos Kucing Hitam



Kucing hitam sering dihubungkan dengan hal-hal mistis dan horor. ada sebagian masyarakat yang percaya jika ada kucing hitam pertanda bahwa di sekitar lokasi tersebut sedang ada hantu menampakkan diri atau hanya sekedar melintas.

Kepercayaan tentang kucing hitam ini sudah ada sejak sejarah Babylonia kuno. Pada masa itu, kucing hitam menjadi persembahan dalam upacara ritual dan dibakar bersama sesaji lainnya. Mitos ini muncul karena ada seekor kucing hitam yang sedang tidur di tengah-tengah seekor ular, padahal pada saat itu ular merupakan lambang dari suatu kejahatan.

Pemikiran seperti ini terus berkembang di berbagai negara, hingga akhirnya, tiap daerah pun memiliki mitos sendiri-sendiri seperi di negara-negara berikut ini :

1. Jerman

Di jerman, jika ada seekor kucing hitam yang melompat ke atas tempat tidur seseorang yang sedang sakit, maka dipercaya kematian akan datang kepada orang itu.

2. Normandia

Di Negara ini percaya apabila dalam perjalanan  seseorang melihat seekor kucing hitam yang sedang menyeberang pada saat bulan purnama, maka orang itu akan terserang wabah penyakit. Jika anda pernah bertemu kucing hitam saat sedang muncul bulan purnama? Waspadalah!

3. Finlandia

Mitos di finlandia lebih ekstrem lagi. Masyarakat percaya bahwa kucing hitam adalah makhluk yang membawa jiwa seorang manusia ke alam baka.
                                                                                                                                                             

4. China

Di china kemunculan kucing hitam dipercaya warga sebagai kesialan. orang-orang percaya dengan kemunculannya merupakan pertanda jika mereka akan terkena penyakit atau akan jatuh miskin.

5. India

Dinegara ini percaya bahwa melempar kucing hitam ke dalam api bisa membuat jiwa yang bereinkarnasi dapat dibebaskan. Apakah sudah terbukti kebenarannya, tetapi kasihan sekali kucing itu ya?

6. Bengali

Di sana percaya jika ada seorang wanita yang bisa mengubah jiwa manusia menjadi seekor kucing hitam. Tidak hanya itu, setiap kucing hitam yang disakiti maka berarti akan menyakiti wanita itu juga.

7. Celts

di daerah yang satu ini mempercayai bahwa kucing hitam dapat memprediksi masa depan. kurang lebih sama seperti di daerah lain, kucing hitam di Celts dipercaya dapat membawa kematian atau kesialan.

8. Druids

Pada masa Inggris kuno, masyarakat percaya bahwa kucing merupakan jelmaan dari seseorang yang berbuat jahat di masa lalunya. Orang tersebut kemudian menjadi seekor kucing hitam. Mungkin inilah awal bagaimana kucing hitam dihubungkan dengan Halloween, hantu dan para penyihir.

Beluga Whale - Ikan Paus Yang Mirip Lumba-Lumba





Paus ini mirip lumba-lumba dengan warna putih dan sirip dibelakang kecil banget. Untuk ukurannya sabi mencapai 18 kaki dan beratnya sekitar 3500 pound, ditambah lapisan lemak 5 inci yang fungsinya buat adaptasi di perairan dingin

Ulama Besar - Syech Yusuf Al Makassary


Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba’alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.

Syekh Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam. Ia diajar mengaji Alquran oleh guru bernama Daeng ri Tasammang sampai tamat. Di usianya ke-15, Syekh Yusuf mencari ilmu di tempat lain, mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit, yang mendirikan pengajian pada tahun 1640.

Syekh Yusuf meninggalkan negerinya, Gowa, menuju pusat Islam di Mekah pada tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun. Ia sempat singgah di Banten dan sempat belajar pada seorang guru di Banten. Saat ia mengenal ulama masyhur di Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri, melalui karangan-karangannya, pergilah ia ke Aceh dan menemuinya.

Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh Yusuf berusaha ke Timur Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka.

Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman, berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini.

Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di negeri Yaman, menemui Syekh Maulana Sayed Ali. Dari gurunya ini Syekh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Al-Baalawiyah. Setelah tiba musim haji, beliau ke Mekah menunaikan ibadah haji.

Dilanjutkan ke Madinah, berguru pada syekh terkenal masa itu yaitu Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini diterimanya ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah tarekat Khalwatiyah setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal Hakikat yang dialami oleh Syekh Yusuf.

Melihat jenis-jenis alirannya, diperoleh kesan bahwa Syekh Yusuf memiliki pengetahuan yang tinggi, meluas, dan mendalam. Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna(langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).

Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.

Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.

Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan.

Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri.

Sumber foto: Gambar syech yusuf, oil on canvas
koleksi museum lagaligo fort rotterdam makassar
karya: Mike Turusy

Sendang Tirta Kamandanu Dan Pura Ida Mpu Bharadah



KEDIRI : Tidak jauh dari lokasi Sendang Tirta Kamandanu yang terletak di Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri  Provinsi Jawa Timur ,juga terdapat Pura Ida Mpu Beradah yang kalau ditempuh kurang lebih 60 detik perjalanan menggunakan sepeda motor.

Di Pura Ida Mpu Beradah ini setiap harinya dikunjungi wisatawan dari berbagai wilayah daerah maupun luar provinsi karena Pura Ida Mpu Beradah memiliki banyak cerita sejarah dengan Calonarang yang berada di Desa Krekep Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri.

Di Pura Ida Mpu Beradah ini tak memandang dari golongan umat maupun agama dapat singgah dan berdoa sesuai dengan keyakinan agama masing masing.

Ketika masuk kedalam Pura Ida Mpu Beradah, wisatawan akan dipandu oleh seorang Juru pemelihara Pura Ida Mpu Beradah bapak Eko Dino Harianto,

Dilokasi Pura Ida Mpu Beradah juga terdapat tanaman sakral dan berbagai bunga macam bunga dan buah sakral biasa disebut buah dewa ndaru.

Pelaku Buang Bayi Di Tempat Sampah Dibekuk Unit Jatranras Polrestabes Surabaya


SURABAYA - Unit Jatanras  Polsek Sukolilo Jumat tgl 19 Oktober 2018 di  Jl. Kejawen Putih Mutiara VIII blok C 3 / 212 Sby telah berhasil melakukan penangkapan seorang perempuan PRT (pembantu rumah tangga) yang diduga telah  melakukan tindak pidana yaitu membuang bayi setelah baru dilahirkan  olehnya.

Kejadian pembuangan bayi awalnya diketahui oleh salah seorang warga setempat yang mengetahui peristiwa tersebut, Simon yang ketua RT  ( ketua RT komplek perumahan pakuwon City cluster Mutiara).di  Jl. Keputih Tegal gg X No 41 Surabaya  pada hari Rabu tgl 17 Oktober 2018 dan CIPTO EFENDY, Pasuruan 09 Januari 1975, alamat Jl. Keputih Tegal gg X No 41 Sby.melaporkan peristiwa itu ke pihak Kepolisian.

Mendapat laporan warga, Petugas menangkap Tersangka bernama MARIA LEDATONDU, Jalakadu 13 Pebruari 1994, kristen, PRT, alamat Jl. Veteran No 18 Kel Kampung baru kec Waikabuba Kab Sumba Barat / Jl. Kejawen Putih Mutiara VIII blok C 3 / 212 Sby berikut  batrang bukti berupa 1 buah kaos oblong lengan pendek warna hitam (pembungkus mayat bayi milik pelaku).

Kepada petugas, tersangka mengaku setelah melahirkan di dlm kamar mandi langsung membungkus bayi dgn kaos oblong dan dimasukkan ke dlm kresek hitam kemudian dibuang ke dalam tempat sampah di dpn rumah yang tidak ada penghuninya., selanjutnya bayi diketemukan d penampungan sampah akhir di Keputih.,

Setelah ada kejadian ditemukannya mayat bayi di penampungan sampah di Jl. Keputih Tegal gg X No 41 Sby selanjutnya unit Jatanras langsung melakukan cek TKP dan melakukan penyelidikan di sekitar TKP ditemukanya mayat bayi dan di sekitar perumahan pakuwon city Surabaya, (tempat diambilnya sampah ).

Berdasarkan keterangan saksi2 di TKP dan saksi2 di sekitar perumahan Pakuwon City serta petunjuk kaos yang dipakai pembungkus mayat bayi selanjutnya tim melakukan introgasi  salah satu pembantu yang sebelumnya hamil setelah pembantu tersebut mengakui jika hari Rabu tgl 17 oktober 2018 jam 03.00 wib.

Saksi menjelaskan bahwa ada wanita yang  telah melahirkan di kamar mandi kemudian dibersihkan dan masukkan kedalam tas kresek disimpan di dalam kamar mandi (bayi masih hidup) selanjutnya mengambil kaos dan ke kanar mandi untuk membungkus bayi tersebut (sudah meninggal dunia) selanjutnya di buang di tempat sampah depan rumah kosong.   (cho/rif/red)




Maling Spesialis Rumah Kosong Antar Kota Digulung Polisi



PASURUAN - Di salah satu hotel di Kota Surabaya (6/11) Satreskrim Polres Pasuruan Kota telah melakukan penangkapan tiga pelaku perkara pencurian dengan pemberatan/spesialis pencurian rumah kosong. Penangkapan tersebut bermula adanya laporan (5/11)  Dokter gigi Sri Wahjoendari Handojo (60) telah terjadi tindakan pencurian di dalam rumah yang beralamat Jl. Darmoyudho IIIZ Kel / Kec. Purworejo Kota Pasuruan pada 2 November lalu. Tidak butuh waktu lama Satreskrim Polres Pasuruan Kota berhasil menangkap ketiga pelaku yang terdiri dari dua laki laki dan satu perempuan.



Tiga Orang tersebut masing-masing  yakni 1. HUSNI SAFLEN alias ANDRE Bin SUMARNO (30) Desa Sidowayah Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan, 2. ALAMSYAH KASIM Bin MUHAMMAD KASIM (36) Kelurahan Maccini Kecamatan Makasar Kota Makasar, 3. CRISTY SUGIARTY Binti SUGIANTO (29) Desa Kebonsari Kab. Jember, yang sekarang di tahan di Polres Pasuruan Kota dan di jerat dengan pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan.



"Saat itu rumah korban memang kosong karena di tinggal keluar kota, lalu para pelaku masuk ke rumah dengan cara merusak gembok gerbang, dan mengobrak abrik isi rumah lalu mengambil harta benda, akhirnya korban melapor kejadian tersebut" ungkap Slamet.



Polisi pun menyita barang bukti ketiga pelaku di antaranya 1 buah HP merk oppo type F9 beserta dusbook, 1 buah HP merk vivo type V11 beserta dusbook, 1 buah HP merk M5 beserta dusbook, 3 buah linggis, 1 buah senter, 5 buah kunci L modifikasi serta Uang tunai Rp.900.000,-



Kasat Reskrim Polres Pasuruan Kota, AKP Slamet Santoso mengatakan, ketiga nya merupakan spesialis pencurian rumah kosong yang pada hari Jum'at, 2 Nopember 2018 sekira jam 11.30 Wib di Jl Darmoyudho II Rt/Rw 07/01 Kelurahan Purworejo Kecamatan Purworejo Kota Pasuruan telah terjadi tindak pidana pencurian dengan pemberatan (pencurian dalam rumah kosong) yang dilakukan oleh tersangka ALAMSYAH KASIM Bin MUHAMMAD KASIM Dkk dengan cara sehari sebelumnya telah melakukan survei lokasi kemudian tersangka ALAMSYAH KASIM Bin MUHAMMAD KASIM Dkk datang kelokasi dengan menggunakan sarana mobil honda brio,



Tersangka masuk kedalam rumah dengan cara merusak kunci gembok, mencongkel pintu samping, pintu belakang, pintu kamar dan pintu almari dengan menggunakan alat berupa linggis dan kunci L modifikasi (merusak gembok), kemudian mengambil barang yang ada di dalam almari berupa kartu kredit BCA, buku tabungan BCA, kunci Brangkas, buku tabungan dan atm BNI, cincin emas 12gram, uang tunai Rp.6.500.000,-, uang asing 250 euro dan uang kuno (1jt rupiah)



Adapun peran Tersangka ALAMSYAH KASIM Bin MUHAMMAD KASIM adalah sebagai eksekutor masuk ke dalam rumah dan yang ambil barang, peran Tersangka HUSNI SAFLEN Als ANDRE Bin SUMARNO adalah sebagai pengemudi mengawasi situasi diluar sedangkan peran CRISTY SUGIARTY Binti SUGIANTO sebagai orang yang menyuruh melakukan pencurian serta memalsukan KTP korban yg selanjutnya menggunakan Kartu kredit milik korban untuk belanja barang berupa 5 buah hp, kulkas dan tv dengan total pembelian Rp.27jt

akibat kejadian tersebut korban mengalami kerugian sebesar Rp.34.000.000,- (ari-gundul)

Sejarah Perang Diponegoro (1825-1830)


Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock[7] yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.


Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 16 tahun sebelumnya, pasukan Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun, meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara (sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata beragama Islam.[8]

Latar belakang
Pemerintahan Daendels dan Raffles

Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Perancis melawan Inggris (saat itu Belanda dikuasai oleh Perancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara lain yang menyebabkan terjadinya kebencian dari pihak keraton Jawa.

 Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalur antara Anyer dan Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda.

Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II diturunkan secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini dikenal dengan nama Geger Sepehi. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814), sementara Paku Alam I (Patih Danuredjo) bertindak sebagai wali

Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert
Pada tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng (permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi.

Sebagai putra tertua Hamengkubuwana III meskipun bukan dari istri resmi (permaisuri), ia merasa sangat sakit hati dan sempat berpikir untuk bunuh diri karena kecewa. Pada tahun 1823, tahta keraton yang seharusnya diduduki wali sultan yang masih balita ternyata ditempati oleh Residen Belanda saat itu, yaitu Smissaert, sehingga sangat melukai hati masyarakat Yogya dan Pangeran Diponegoro, meskipun ada kecurigaan bahwa tindakan Smissaert disebabkan kedua ratu tidak ingin melihat Diponegoro duduk di atas tahta.

Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman, van der Capellen mengeluarkan dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu.

Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh Nahuys atas perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya dengan keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya, di Tegalrejo, untuk membahas mengenai kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.

Mulainya perang
Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah timur Tegalrejo. Pada salah satu sektor, patok-patok jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara para petani penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak di bulan Juli. Patok-patok yang telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti patok-patok dengan tombak sebagai pernyataan perang.

Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.[8] Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan dia. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati". Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri.[8] Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Perang sabil
Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini merupakan perang jihad melawan Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda, disamping kebijakan-kebijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana.[9] Infiltrasi pihak Belanda di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil. Di lain pihak, Smissaert menulis bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin hanyut dalam fanatisme dan banyak anggota kerajaan yang menganggapnya kolot dalam beragama.

Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa meskipun perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan bahwa para tawanan perang Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk Islam.

Jalan peperangan

Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830

Alibasah Sentot
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Karena bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

Akhir Perang
Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi, yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II.

Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap. Berakhirlah Perang Padri.

Setelah perang Dipenogoro, pada tahun 1932 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogori, karanganyar yang banyak di huni oleh Warok.[1]

Dalam catatan Belanda, para Warok yang memiliki skill berperang dan ilmu kebal sangat tangguh bagi pasukan Belanda. Maka dari itu untuk menghindari yang merugikan pihak Belanda, terjadinya sebuah kesepakatan untuk di buatkanlah kantor Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilatas penunjang seperti jalan beraspal, rel kereta api, kendaran langsung dari Eropa seperti Mobil, motor hingga sepeda angin berbagai merek, maka tidak heran hingga saat ini kota dengan jumlah sepeda tua terbanyak berada di ponorogo yang kala itu di gunakan oleh para Warok juga.

Sinofobia
Masyarakat Tionghoa yang dipandang sebagai sekutu oleh Raden Ronggo dalam pemberontakannya berubah menjadi musuh dalam peperangan Diponegoro. Hal tersebut disebabkan mencuatnya sikap anti-tionghoa oleh masyarakat Jawa yang disebabkan oleh beberapa hal berikut:

Kebijakan ekonomi yang memberatkan rakyat oleh Keraton Yogyakarta akibat intervensi pemerintah Belanda dijalankan melalui perantaraan etnis Tionghoa

Monopoli perdagangan kayu jati yang dipaksakan oleh Daendels (1809) menyebabkan bupati-bupati lokal kehilangan pemasukannya yang jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha Tionghoa.
Bantuan yang diberikan Kapitan Tionghoa di Yogyakarta, Tan Jin Sing, saat penyerbuan tentara Inggris, sepoy, dan pasukan Notokusumo ke Keraton Yogyakarta (Juni 1812).

Kebijakan pajak Raffles (1812-1813) agar petani membayar pajak tanah dalam bentuk uang tunai dan menghilangkan kerja rodi tidak tepat sasaran karena para petani Jawa pada saat itu terbiasa dengan barter. Akibatnya, mereka terjerumus hutang kepada para renternir Tionghoa setempat yang diberi wewenang dalam mengurus pajak.

Kebijakan monopoli gerbang cukai (bandar) oleh Belanda (1816) menyebabkan biaya fiskal yang harus dikeluarkan pengusaha Tionghoa meningkat tajam dan berdampak pada para petani Jawa yang mereka pekerjakan.

Larangan Pangeran Diponegoro untuk menjalin relasi politik dengan etnis Tionghoa sesuai peringatan leluhurnya yaitu Sultan Mangkubumi.

Anggapan Pangeran Diponegoro yang ditulis dalam Babadnya bahwa dirinya tergoda oleh tukang pijat beretnis Tionghoa pada malam sebelum perang Gawok (Oktober 1986) sehingga menyebabkan dirinya kehilangan kekebalan tubuhnya (mendapat luka saat perang) dan mengalami kekalahan.[8]
Kekalahan Tumenggung Sosrodilogo, bupati Bojonegoro sekaligus saudara ipar pangeran, di bulan Januari 1828 dianggap Diponegoro disebabkan Sosrodilogo telah menjamahi seorang peranakan Tionghoa di Lasem.

Penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi semenjak awal peperangan. Catatan Payen, seorang arsitek di Yogyakarta, menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Yogyakarta dibantai tanpa mempedulikan wanita maupun anak-anak. Komunitas Tionghoa di Bagelen sempat bertahan hingga tahun 1827 sebelum akhirnya diungsikan ke Wonosobo. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara (sekitar Tuban dan Lasem) ikut memasok pasukan Diponegoro dengan senjata, uang, dan opium (pada masa tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium, termasuk pasukan Diponegoro).

Setelah perang berakhir, kerukunan antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti semula karena timbulnya rasa saling curiga akibat trauma selama perang, misalnya peristiwa di Bagelen saat penduduk Jawa lokal meminta komunitas Tionghoa yang mengungsi agar kembali. (wikipedia.org)

TOPIK MINGGU

KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN

SURAT KEPUTUSAN : Nomor : SK/42/DEPIDER/BK/VI/2016. TENTANG KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN.  "MAJU TERUS PANTANG MUND...