Selasa, 12 Mei 2020

Akhirnya Politik yang Akan Menang, Dahlan Iskan..!!

Uang Besar 12 May 2020, Oleh : Dahlan Iskan

TRIBUNUSBANYUASIN.COM - Akhirnya politik yang akan menang. Bukan teknokrat,” ujar Prof. Dr. Didik J. Rachbini, ahli ekonomi dari INDEF itu. Ia ulangi lagi pernyataan itu. Sampai tiga kali. 

Sebagai ahli ekonomi ia sudah mengingatkan bahaya cetak uang. ”Itu pernah dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara --dari Partai Masyumi. ”Inflasi langsung naik 1000 persen,” ujar Didik.

Memang begitulah teori ekonomi yang paten. Pencetakan uang hanya akan menghasilkan inflasi. Masih ditambah melemahnya kepercayaan internasional.

Tapi DPR menolak teori itu. Tokoh utamanya adalah Mukhamad Misbakhun. Dari Partai Golkar. Yang dulu aktivis PKS itu.

”Saya ini memang politisi. Tapi politisi yang berisi,” ujarnya. Rupanya Misbakhun sadar banyak yang meragukan isi kepalanya. Terutama kalau sudah harus bicara soal ekonomi.

Apalagi ini pembicaraan ekonomi yang kelasnya sudah ihya ulumuddinnya Imam Ghazali.

”Saya ini memang bukan profesor doktor. Tapi bacaan saya ini sama dengan mereka,” ujar Misbakhun. ”Waktu SMP saja bacaan saya itu sudah Das Kapital,” kata politisi asal Pasuruan itu. Das Kapital adalah karya Karl Marx, pendiri komunisme. Buku itulah yang menjadi ”kitab suci”-nya orang komunis. 

Prof. Didik Rachbini dan Mukhamad Misbakhun menjadi pembicara dalam webinar Sabtu lalu. Saya salah satunya. Penyelenggara webinar itu: pengurus pusat KB PII --organisasi alumnus Pelajar Islam Indonesia.

Begitu serunya webinar hari itu. Yang rencana dua jam menjadi empat jam. Sampai pukul 14.00. Untung webinar itu lebih ”merdeka”. Bisa ditinggal salat zuhur tanpa harus pamit moderator.

Prof. Didik yang semula akan pamit lebih awal tidak tega meninggalkan kamera. Ia begitu khawatir akan risiko buruk cetak uang itu. Ia harus mengingatkannya. Sampai webinar itu ditutup. 

Tapi ia juga menegaskan ini. ”Saya tidak mengatakan teori yang disampaikan Pak Misbakhun itu salah. Di sini tidak ada salah atau benar,” ujarnya. ”Yang ada adalah risiko-risiko. Mana yang buruk dan mana yang lebih buruk,” tambahnya.

Dua pembicara itu akarnya sama-sama Madura. Yang Prof. Didik Madura asli Pamekasan. Yang Misbakhun Madura pendalungan --Madura yang lahir di luar Madura (Pasuruan). Hanya saya yang dari Jawa Timur --ups Magetan.

Untung moderatornya Dr. Zulkifli, orang Palembang --ketua bidang kajian ekonomi KB PII. Zulkifli adalah insinyur lulusan Unsri dengan S2/S3 bidang ekonomi dari Trisakti Jakarta dan Colorado University, Amerika.

Untung pula hadir Sutrisno Bachir dari Pekalongan. Yang kini Ketua KEN (Komite Ekonomi Nasional) di pemerintahan Jokowi. Yang juga pernah jadi Ketua Umum PAN dan KB PII.

Sutrisno Bachir kelihatannya cocok dengan ide cetak uang itu. Mungkin karena ia juga pengusaha sukses. Hanya ia mengingatkan jangan-jangan ada skenario bisnis di balik cetak uang itu.

Mengapa?

”Motornya semua ini kan Golkar. Kita semua tahu bagaimana Golkar. Coba yang di balik Kartu Prakerja itu siapa?” ujarnya.

Misbakhun memang mengakui itu konsep Golkar. ”Golkar sangat peduli bagaimana membangun kembali ekonomi yang hancur ini,” ujarnya. ”Coba, siapa yang tidak setuju cetak uang ini. Tanya mereka: lantas apa jalan keluarnya?” tantangnya. ”Gak ada kan? Hanya utang kan?” tukasnya. ”Golkar harus cari jalan keluar,” tambahnya. 

Besoknya, saya japri dengan Misbakhun. ”Apakah Golkar sudah bulat mengajukan konsep cetak uang ini?” tanya saya.

”Sudah bulat,” jawabnya.

”Seberapa sulit Anda meyakinkan internal Golkar sendiri?” tanya saya lagi.

”Sulit juga. Sampai empat kali saya presentasi khusus di depan Ketua Umum Golkar,” jawabnya.

”Berarti secara politik sudah kuat sekali?” tanya saya lagi. 

”Kuat sekali. Apalagi posisi Golkar di pemerintahan sangat kuat. Ketua Umum Golkar, Ir. Airlangga Hartarto kan menjadi Menko Perekonomian,” jawabnya.

Mau tidak mau orang kini harus melihat Misbakhun. Ia bisa menjadi sentral baru tokoh nasional yang mulai diperhitungkan. Mungkin masih banyak yang meragukannya. Terutama karena ia bukan profesor doktor tadi.

”Saya ini ingin sekali bisa jadi profesor doktor. Tapi tidak bisa,” katanya. Tapi ia minta agar orang tidak meragukan kemampuan berpikir ekonominya. ”Tiap hari saya ini membaca angka-angka, grafik-grafik, tebal-tebal seperti ini,” katanya. ”Mungkin ini tingginya satu meter,” tambahnya. 

Mungkin orang juga mengaitkan dengan masa lalunya. Yang oleh moderator diperkenalkan sebagai orang yang pernah masuk madrasah 2 tahun.

”Bukan masuk madrasah,” sergah Misbakhun. ”Saya ini masuk penjara, 2 tahun,” katanya. ”Saya ini orang Madura, orang Jawa Timur, terus terang saja. Gak usah dihaluskan dengan menyebut masuk madrasah. Masuk penjara,” tukasnya.

Misbakhun memang pernah di penjara 2 tahun. Dalam kaitan dengan pajak. Tapi, katanya, itu murni untuk membungkam dirinya. ”Saya kan yang paling keras soal Bank Century,” katanya.

”Kalau Pak Dahlan Iskan dibungkam dengan cara diangkat jadi Dirut PLN, saya dimasukkan penjara,” katanya. ”Waktu itu korannya Pak Dahlan kan yang paling keras mempersoalkan Bank Century,” tambahnya.

Mendengar pernyataan Misbakhun itu Prof. Didik tidak bisa menahan diri. Ia nyelonong bersuara. 

”Saya kan tidak diangkat-angkat jadi Dirut BUMN,” sela Prof. Didik bergurau.

Padahal, katanya, sekarang ini ia-lah yang keras sekali mengkritik pemerintah.

Saya pun, setelah webinar, japri ke salah satu tokoh sentral PKS waktu itu. Tentang apakah benar sikap Misbakhun dalam masalah Bank Century seperti itu.

”Memang Misbakhun berjuang terus agar persoalan Bank Century bisa sampai ke pucuk pimpinan negara,” ujar Fahri Hamzah yang pernah jadi Wakil Ketua DPR itu. 

”Saya yang membawa Misbakhun ke PKS. Harusnya ia itu jadi model tokoh PKS masa depan. Tapi ia. Menjadi korban feodalisme,” tambah Fahri yang kini sudah di luar PKS.

Sayang saya tidak bisa japri ke Dahlan Iskan. Untuk menanyakan apakah benar pengangkatannya sebagai Dirut PLN dulu terkait dengan Bank Century. Ia rupanya lagi sibuk menulis naskah DI’s Way ini. 

Bersambung besok. (Dahlan Iskan)

https://www.disway.id/r/930/uang-besar

RENUNGAN BULAN MEI CATATAN REFORMASI 1998 DALAM PERSPEKTIF ILMU PEMERINTAHAN

TRIBUNUSBANYUASIN.COM - Pada tulisan Bagian Pertama, telah disebutkan bahwa ada enam (6) Agenda / Tuntutan Reformasi yaitu:

– Adili Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya
– Laksanakan Amandemen UUD 1945
– Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
– Laksanakan Otonomi Daerah Yang Seluas-luasnya
– Tegakkan Supremasi Hukum
– Ciptakan Pemerintahan Yang Bersih dari KKN
Salah satu diantara keenam tuntutan yang paling menarik adalah adanya tuntutan untuk melaksanakan Otonomi Daerah Yang Seluas-luasnya.

Mengapa tuntutan “Laksanakan Otonomi Daerah Yang Seluas-luas”nya ini terjadi. Siti Zuhro (Peneliti LIPI) pernah menganalisa dan menyampaikan bahwa Presiden Soeharto dengan background tentaranya, pada masa kekuasaannya memandang untuk membangun Indonesia yang benar-benar solid, stabil secara politik, keamanan maka pendekatan stabilitas politik itu dinomorsatukan. Oleh karena itu dahulu dikenal Trilogi Pembangunan yaitu: Stabilitas Politik dan Keamanan, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Kesejahteraan. Yang dalam prakteknya Stabilitas Politik dan Keamanan yang ditonjolkan.

Dengan kebijakan seperti itu tentunya ada konsekuensi atau resiko nya karena kekuasaan menjadi hanya berkutat di tiga titik sentra saja yaitu presiden, birokrasi dan ABRI.

Sentralisasi yang sangat kuat di pusat akhirnya berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah. Daerah tidak dibekali dengan kewenangan dan uang yang cukup, semua dipusatkan di Jakarta. Akibatnya adalah selama menghadapi masa krisis ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar dan daerah tidak mampu berbuat apa-apa.

Hal inilah yang memunculkan asumsi bahwa hanya ada satu jawaban untuk mengatasi persoalan sentralisasi kekuasaan yang telah lama mengekang daerah yaitu dengan otonomi daerah, pengalihan kewenangan ke daerah. Kebetulan anggapan ini memiliki justifikasi historis berdasarkan paradigma bahwa pada hakikatnya daerah-daerah itu secara faktual sudah ada sebelum Republik Indonesia berdiri.

Perasaan ketidakpuasan, ketidakadilan dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya sudah mengalami puncaknya. Daerah tersebut merasa dibohongi oleh pemerintah pusat yang dianggap tidak berniat memberdayakan daerah. Sentralisasi hanya menguntungkan sebagian kecil elit-elit daerah yang bisa diajak kerja sama oleh oknum-oknum pusat. Tuntutan desentralisasi ini sangat keras disuarakan oleh daerah-daerah, khususnya yang kaya sumber daya alam, antara lain Riau, Kalimantan, Aceh, dan Papua, karena bila dirunut kebijakan sentralisasi ini tak lepas dari gurita Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dari pusat ke daerah-daerah, dimana pengusaha kroni-kroni Soeharto diduga memiliki kepentingan dalam mengeksploitasi sumber daya alam di daerah-daerah sehingga daerah merasa tidak diperlakukan adil.

Sejarah reformasi mencatat setelah Presiden Soeharto tumbang, maka dalam rangka memenuhi tuntutan reformasi, Presiden BJ Habibie mengakomodasi tuntutan-tuntutan daerah tersebut dengan membentuk tim tujuh untuk merumuskan konsep Otonomi Daerah. Ketujuh orang tokoh yang duduk dalam Tim Tujuh ini adalah adalah Ryas Rasyid, Rapiudin Hamarung, Andi Malarangeng, Affan Ghafar, Djohermansyah Djohan, Ramlan Surbakti, dan Luthfi Mutty

Justifikasi Sejarah Desentralisasi
Suparto Wijoyo (dalam Suparto Wijoyo, 2005; 2-7) melakukan penelusuran sejarah tentang Desentralisasi di Indonesia Menemukan catatan bahwa pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin menyampaikan rancangan UUD untuk dipelajari BPUPKI. Dalam rancangan itu Yamin mengatakan: “negeri, desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibarui dengan jalan rasionalisme dan pembaruan zaman, dijadikan kaki susunan Negara sebagai bentuk bawahan… Antara bagian tengan sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Urusan Dalam…”

Selanjutnya pada tanggal 11 Juli 1945 berlangsung sidang kedua BPUPKI, M Yamin menegaskan konsepsinya tentang Pemerintahan Daerah:

….Pemerintah dalam Republik Indonesia pertama-tama akan tersusun dari badan-badan masyarakat seperti desa, yaitu susunan pemerintah yang paling bawah. Pemerintah ini saya namai pemerintah bawahan.

Dan Pemerintah Pusat akan terbentuk di kota Negara, ibu kota Negara Republik Indonesia. Itu saya namai pemerintah atasan. Antara pemerintah atasan dan pemerintah tengahan…. Desa, negeri-negeri, marga-marga dan lainnya tetaplah menjadi kaku pemerintah Republik Indonesia. Dan di tengah-tengah pemerintah atasan dan pemerintah bawahan, kita pusatkan pemerintah daerah…..

Konsep Yamin ini dikenal dengan “peta tri hierarkis”.

Pendiri Republik Indonesia yang lain: Soepomo sebelumnya (pada tanggal 5 Juli 1945) menyatakan tentang Pemerintah Daerah: “Tentang daerah, kita telah menyetujui bentuk persatuan, unie; oleh karena itu di bawah pemerintahan pusat, di bawah Negara tidak ada Negara lagi. Tidak ada ondestaat, akan tetapi hanya daerah-daerah, ditetapkan dalam Undang-undang”

Sesaat sebelum UUD 1945 disahkan, Soepomo memberikan tambahan penjelasan:

Di bawah Pemerintahan Pusat ada Pemerintahan Daerah: Tentang Pemerintahan Daerah, di sini hanya ada satu pasal, yang berbunyi “Pemerintahan Daerah disusun dalam undang-undang”. Hanya saja dasar-dasar yang telah dipakai untuk Negara itu juga harus dipakai untuk Pemerintahan Daerah, artinya Pemerintahan Daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan lain perkataan harus ada Dewan Perwakilan Rakyat. Dan dihormati. Kooti-kooti, Sultanat-sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi keadaannya sebagai daerah, bukan Negara; jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah, “zelfbesturende landschappen” itu bukan Negara, sebab hanya ada satu Negara. Jadi “zelfbesturende landschappen” hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah istimewa itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli. Begitu pula adanya “zelfstandige gemeenschappen”seperti desa (di Jawa), nigari (di Minangkabau), marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut “inheemsche Rechtgemeenshappen”.

Kemudian ketika UUD 1945 disahkan dalam Penjelasan Pasal 18 (sebelum amandemen) dijelaskan:

Oleh karena Negara Indonesia itu “eenheidstaat” maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.

Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh arena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan bahwa paradigma Pemerintahan Pusat, Daerah hingga Desa yang dibangun para pendiri Negara adalah pemerintahan Negara kesatuan yang mengakui, menghormati dan menghargai sistem sosiologi dan kultural yang sudah terbangun di masyarakat sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan. Pengakuan “Sosio Kultural” ini mereduksi pengakuan “kekuasaan politik” karena tidak boleh ada “ondestaat” di dalam “Staat”.          

Era Orde Lama adalah era “bongkar pasang” konstitusi untuk menemukan jati diri Indonesia. UUD 1945 yang menjadi sumber hukum formal tertinggi di negeri ini, pernah digantikan oleh Konstitusi RIS, kemudian oleh UUDS 1950 dan akhirnya dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali lagi ke UUD 1945.

Dinamika Desentralisasi Era Orde Lama

Pada era orde lama ini ada beberapa produk hukum yang sangat penting yang diterbitkan berkenaan dengan desentralisasi yaitu Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 tentang Penetapan Aturan- aturan Pokok Mengenai Pemerintah Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri; Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah; Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Ditambah lagi Undang-undang Nomor 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Indonesia Timur.

Setiap undang-undang dan penetapan presiden di atas mengalami dinamikanya masing-masing sejalan dengan keberlakuan Undang-undang Dasarnya masing-masing. Sistem yang dianut oleh undang-undang yang merupakan turunan dari Undang-undang Dasar 1950 kebetulan sama dengan yang dianut oleh UUD 1945 yaitu menganut pembagian daerah berdasarkan ukuran besar dan kecilnya daerah (seize approach) dan tingkatan daerah (level and hierarchical approach) dengan ciri dasar permusyawaratan / perwakilan di setiap tingkatan pemerintahan, sedangkan undang-undang yang merupakan turunan dari Konstitusi RIS “ruh”nya adalah federasi / Negara bagian, bukan desentralisasi / otonomi.  

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 lahir pada era euphoria (liberalisme) politik bebas dari penjajahan. Perumus undang-undang ini ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia sebagai Negara baru adalah sebuah Negara demokrasi bukan Negara otokrasi apalagi Negara fasis yang dimusuhi dunia pada saat Perang Dunia II, implikasinya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam undang-undang ini menjadi sangat dominan sebagai “kaki tangan” dari kepentingan partai-partai politik saat itu. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan DPD (Dewan Pemerintahan Daerah). Pemerintahan Daerah dijalankan secara kolektif kolegial oleh DPD yang dipimpin oleh Kepala Daerah sebagai Ketua DPD dan anggota DPD yang dipilih oleh dan dari anggota DPRD.  

Mempelajari sistem yang dibangun oleh UU No. 22 Tahun 1948 ini menjadi menarik bila dibandingkan dengan model sebagaimana ditulis oleh Meier, Kenneth J & Laurence O’Toole Jr (Meier et al, 2006), Bureaucracy in Democratic State, khususnya ketika membahas soal “Representative Bureaucracy”dimana keterwakilan berbagai kelompok sosio kultural dalam masyarakat dianggap penting dalam mengurus pemerintahan.

Penekanan pada keharusan adanya keterwakilan ini membuat sistem pemerintahan dan birokrasinya menjadi gemuk dan berjenjang-jenjang. Akibatnya praktek pemerintahan berjalan lambat dan tidak efektif. Meskipun demikian semua itu disadari karena semua pihak sedang tenggelam pada euphoria kebebasan politik dari bangsa yang baru merdeka pada satu sisi, serta ancaman penjajah akan kembali menguasai Indonesia pada sisi yang lain.  

Pemberlakuan sistem desentralisasi oleh undang-undang ini pada kenyataannya dikalahkan oleh gejolak-gejolak sosial di daerah-daerah yang menghendaki perubahan-perubahan revolusioner dalam sistem sosial untuk penguasaan lahan dan sumber daya alam yang lebih adil bagi lapisan bawah, mereka para penggerak revolusi sosial ini terlanjur antipasti dengan sistem aristokrasi pemerintahan daerah sehingga tidak percaya dengan konsep desentralisasi (otonomi) serta “medebewind”yang ditawarkan oleh undang-undang ini bisa membawa kesejahteraan rakyat, akibatnya di daerah-daerah diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah pusat, antara lain PKI Muso di Madiun, serta DI /TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan yang intinya tidak ingin mengikuti kebijakan Pemerintah, termasuk kebijakan tentang desentralisasi ini.            

Pengalaman Indonesia di awal kemerdekaan itu barangkali sama dengan apa yang ditulis Ebenstein dan kawan-kawan dalam buku American Democracy in World Perspective (Ebenstein, Pritchett, Turner and Mann, 1970: 427 – 429) membandingkan bagaimana birokrat di Perancis dengan birokrat di Amerika Serikat. “The French administrative structure developed from the royal household, but was adapted to the purposes of the modern nation-state with the overthrow of the monarchical system. The civil service was already powerful and relatively professional; only its master had changed”, sementara untuk Amerika Serikat “Far from being a social, economic, or political elite, the American bureaucracy reflects the American public. Its personnel are recruited nationwide and from all classes of the population”. Dalam sejarahnya birokrasi Amerika Serikat pernah menjadi birokrasi yang sangat gemuk, lamban dan dianggap sangat boros / tidak efisien dan tidak produktif, barangkali seperti itulah yang dialami oleh Dewan Pemerintahan Daerah dan DPRD pada saat itu yang isinya bukanlah orang-orang profesional dalam soal pemerintahan, namun diberi kewenangan memerintah.  

Sadu Wasistiono dan Petrus Polyando menyebutkan bahwa dilihat dari semangat para penyusunnya UU No. 22 Tahun 1948 ini “lebih mengedepankan dimensi politik daripada dimensi manajemen pemerintahan dan juga dimensi kemampuan keuangan Negara” (Sadu Wasistiono dan Petrus Polyando 2017: 90)

Selepas dari UU No. 22 Tahun 1948 Indonesia masuk ke era Undang-undang Dasar Sementara 1950, setelah sebelumnya sempat memberlakukan Konstitusi RIS sebagai “trade off”dengan pengakuan kedaulatan oleh Belanda. Bila Konstitusi RIS jelas-jelas mengadakan Negara dalam Negara (karena sistem Federal), maka UUDS 1950 mengembalikan semangat dan kerangka politik hukum ke Negara Kesatuan.

Pada era Konstitusi RIS yang berlangsung hanya satu tahun, terbitlah Undang-undang Nomor 44 Tahun 1950.

Setelah memasuki era Undang-undang Dasar Sementara 1950, lahirlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957. Masih sama dengan undang-undang No. 22 Tahun 1948, undang-undang ini menganut sistem pemerintahan berjenjang, sehingga birokrasinya tetap gemuk dan boros, apalagi banyak mengadopsi kepentingan-kepentingan politik yang dinamika dan konfliknya sangat tajam saat itu. Pada era itu investasi asing sangat sulit masuk, perizinan prosesnya berbelit-belit, sehingga pembangunan ekonomi menjadi stagnan. Pada era ini dikenal istilah daerah “Swatantra” (artinya sama dengan daerah otonom) yang dibagi menjadi tiga (3) level yaitu Daerah Swatantra Tingkat I (ada di daerah Khusus dan daerah istimewa), Daerah Swatantra Tingkat II (daerah Swapraja, daerah Kerajaan / Kesultanan) dan Daerah Swatantra Tingkat III (entitas lainnya seperti volksgemeenschappen). Satu lagi yang sama dengan UU No. 22 Tahun 1948, Undang-undang ini tepat menganut sistem Legislatif Dominance. Undang-undang No. 1 Tahun 1957 merupakan Undang-undang hasil dari DPR yang dipilih Pemilu Pertama kali di Indonesia yang dianggap sebagai pemilu paling bersih dalam sejarah Indonesia, jauh dari money politics maupun intimidasi. Undang-undang ini tidak membuat rincian urusan apa saya yang diurus pusat dan daerah. Keuntungannya pelaksanaan urusan tertentu menjadi lebih fleksibel, namun di sisi lain kelemahannya ada urusan tertentu yang pusat dan daerah sama-sama tidak mau mengurus padahal prinsip penyelenggaraan pemerintahan itu “Tidak boleh ada kekosongan pemerintahan”

Belum lama undang-undang ini berlaku, terbitlah keputusan politik kenegaraan yang “extra ordinary” yaitu Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sehingga lahirlah Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959. Penetapan Presiden ini mengandung beberapa point penting antara lain: 1. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD (tidak lagi Legislative Dominance, tetapi sejajar). 2. Pemerintahan Daerah tidak lagi dijalankan dengan mekanisme Kolektif-Kolegial bersama Dewan Pemerintahan Daerah, tetapi oleh Kepala Daerah dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH). 3. Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat Berwenang (Pemerintah Pusat), tidak lagi oleh DPRD. Era Pasca Dekrit Presiden adalah era keluar dari model demokrasi liberal.  Oleh beberapa kalangan pendukung demokrasi liberal Politik Hukum pada era ini disebut sebagai kemunduran konsep desentralisasi (otonomi).

Dalam pandangan ilmu politik maka mempelajari Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 ini lebih mudah didekati secara Political Science ketimbang Political Sociology (Reinhard Bendix dan Seymour Lipset dalam Power Participation and Ideology oleh Calvin J. Larson and Philo C. Wasburn, 1969: ix):

Like political science, political sociology is concerned with the distribution and exercise of power in society. Unlike political science, it is not concerned with the institutional provisions for that distribution and exercise, but takes them as given. Thus political science starts with the state and examines how it affects society, while political sociology starts with society and examines how it affects and exercise of power          

Sedangkan Undang-undang No. 22 Tahun 1948 dan Undang-undang No. 1 Tahun 1957 adalah sebaliknya.

Presiden Soekarno yang sangat paham dengan sistem politik dan ketatanegaraan tentunya tidak nyaman mengatur pemerintahan hanya dengan Penetapan Presiden, maka dari itu setelah lebih dari 5 (lima) tahun sejak mengeluarkan Dekrit diterbitkanlah Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah di era Demokrasi Terpimpin yang tujuannya untuk membuat kestabilan politik akibat dari gejolak berkepanjangan akibat penerapan demokrasi liberal. Sama halnya dengan model pemerintahan di pusat, di daerah pun diharapkan Kepala Daerah menjadi “sesepuh” (panutan). Barangkali saja Presiden Soekarno mengartikan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan” di tingkat daerah personifikasikan pada Kepemimpinan yang bijak oleh sesepuh yang memiliki kewibawaan tinggi, mencerminkan amanat penderitaan rakyat, revolusioner dan mendapatkan kepercayaan dari Pemerintah Pusat.  “The Leader is always the nucleus or a tendency, and on the other hand, all social movement, closely examined will be found to consist of tendencies having such nuclei” dan sekaligus “leadership as a combination of traits which enables an individual to induce other accomplish a given task” (Cooley dan Ordway Tead dalam Pamudji, 1995: 9 – 11) adalah gambaran yang tepat untuk mengartikan konsep tersebut.

Sebelum Orde Lama berakhir, masih sempat terbit Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Undang-undang ini merupakan upaya untuk mengakui lembaga masyarakat tingkat Desa menjadi daerah otonom. Sebagaimana di atas telah disebutkan bahwa saat menyusun UUD 1945 di BPUPKI telah digariskan oleh pendiri-pendiri republik ini bahwa Negara Republik Indonesia bertekad mengakui, menghargai, menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat secara sosiologis dan kultural, yang oleh Talcott Parson (dalam Setya Yuwana Sudikan, 2001: 7) “masyarakat adalah suatu sistem sosial yang swasembada (self-subsistent), melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya”. Kemudian dilengkapi oleh Edward Shils dalam literature yang sama yang “menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan sendiri (self sufficiency) yang dibaginya ke dalam tiga komponen yaitu: pengaturan sendiri, reproduksi sendiri dan penciptaan diri (self regulation, self-reproduction, self-generation)” sebagai ciri masyarakat pedesaan yang otonom.

Sayangnya undang-undang ini tidak sempat berlaku efektif karena beberapa saat setelah diundangkan terjadi peristiwa politik G 30 S PKI yang di kemudian hari menghapus semua sistem desentralisasi yang diimunisasi dan dijadikan pergulatan pemikiran, perdebatan konsep hingga pergerakan politik untuk memperjuangkan “hak-hak otonomi / kewenangan daerah” pada era orde lama, karena digantikan model sentralisasi pemerintahan model orde baru.

Pemerintahan memang bukan hanya soal administrasi / manajemen pemerintahan ataupun soal hukum tentang pembagian kewenangan, karena pemerintahan tetap merupakan peristiwa yang tidak lepas dari kekuasaan (tidak bisa dipisahkan dari politik).

Pemerintah Orde Baru yang selalu mengklaim sebagai Pemerintahan yang menjalankan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 paling murni dan konsekuen, ternyata tidaklah demikian adanya. Kebijakan sentralistisnya dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 membuktikan bahwa Orde Baru tidak berniat menjalankan Desentralisasi, sehingga muncullah isu ini menjadi salah satu dari tuntutan reformasi.

Desentralisasi di Era Reformasi

Saat ini di era reformasi, desentralisasi telah memiliki dasar hukum dengan berbagai koreksinya antara lain:

• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 Ayat 1 – 7, Pasal 18A ayat 1 dan 2, Pasal 18B ayat 1 dan 2.
• Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
• Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
• UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
• UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
• UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
• UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Revisi UU No.32 Tahun 2004)
Otonomi daerah telah dinormalkan untuk melahirkan semangat kemandirian dari kungkungan pemerintah pusat yang sentralistis. Otonomi daerah juga telah menghasilkan proses suksesi kepemimpinan yang dipilih secara langsung di daerah, padahal sebelumnya sangat ditentukan oleh Pusat (baca Soeharto).

Reformasi Indonesia telah bergerak maju dan telah menunjukkan konsistensi historis dan filosofinya sesuai cita-cita kemerdekaan, sehingga tidak mungkin untuk diputar lagi ke belakang, namun demikian Pemahaman tentang Desentralisasi / Otonomi Daerah pernah dianggap keluar dari konteks Pemerintahan Negara Republik Indonesia (NKRI) secara utuh(kebablasan). PBB (United nation) yang dikutip oleh Kertapraja (dalam Sadu Wasistiono, 2017: 19) menyatakan bahwa “Decentralization refers to the transfer of authority away from national capital whether by deconcentration (i.e. delegation) to field offices or by devolution to local authorities or local bodies”. Turner dan Hulme (masih dalam buku yang sama) menambahkan dengan menyatakan “decentralization is a transfer of authority to perform some service to the public from an individual or an agency in central government to some other individual or agency which is closer to the public to be served”.

Dengan mempelajari dinamika desentralisasi dari Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi maka gagasan-gagasan pengembangan desentralisasi ke depan memang selayaknya tidak hanya terpaku pada persoalan pemberian kewenangan (legitimasi) kepada daerah, tetapi lebih pada bagaimana mendekatkan kewenangan publik kepada warga negara dalam rangka Good Governance untuk mencapai kebahagian warga Negara sebagaimana menjadi cita-cita konstitusi Undang-undang Dasar 1945, karena memang seperti itulah tujuan Republik Indonesia ini dibentuk.

Perjuangan reformasi Mei 1998 telah mengingatkan kita semua,  ketika kita sempat lama terlena…..

Bersambung……
Penulis : Didik Sasono Setyadi
Editor : Roni Paslah

Megawati Minta Kepala Daerah Pelopori Kedaulatan Pangan

Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dalam Rapat DPP yang secara khusus membahas Politik Pangan bersama dengan perwakilan kepala daerah PDI Perjuangan, Senin (11/05/2020).

TRIBUNUSBANYUASIN.COM | JAKARTA - Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dalam Rapat DPP yang secara khusus membahas Politik Pangan bersama dengan perwakilan kepala daerah PDI Perjuangan menegaskan bahwa pandemik Covid-19 membawa pelajaran berharga bagaimana Indonesia harus kedepankan semangat berdikari di bidang ekonomi, termasuk di bidang kesehatan dan pangan. 

“Politik berdaulat di bidang pangan dengan cara berdikari, melalui kebijakan hulu-hilir, dimulai dari penelitian, pengembangan benih unggul, sarana dan prasarana untuk peningkatan produksi, pengolahan hasil, hingga pemasaran,” ujar Megawati sebagaimana disampaikan oleh Hasto Kristiyanto, Sekjen DPP PDI Perjuangan dalam keterangan tertulisnya diterima Gesuri, Senin (11/5).

“Bu Mega memiliki koleksi umbi-umbian yang sangat lengkap, juga buku-buku pertanian. Beliau juga tercatat sebagai Presiden yang paling sering mengunjungi pusat penelitian Benih Padi Sukamandi, Jawa Barat. Karena itulah seluruh kepala daerah kami wajib mengedepankan politik pangan berdikari tsb dan sekaligus berjuang bagi peningkatan kesejahteraan petani dalam pengertian luas. 

Untuk itu sejak tanggal 28 Maret 2020 yang lalu, Ibu Mega sudah menginstruksikan agar seluruh kepala daerah PDI Perjuangan mencanangkan gerakan menanam tanaman yang bisa dimakan seperti Sorgum, Umbi-umbian, Sagu, Talas, Sukun, Jagung, Porang, Ketela dll,” ujar Hasto memaparkan.

Dalam teleconference tersebut, para kepala daerah PDI Perjuangan juga berkomitmen untuk saling bekerja sama terutama melalui penelitian benih, kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian, peningkatan produksi, pemasaran, dan komitmen untuk menghadirkan lumbung desa, badan usaha milik desa, pasar lelang komoditas, serta menggerakkan rakyat di dalam gerakan menanam tersebut. 
Perhatian Megawati Soekarnoputri terhadap pertanian memang sangat besar. 

“Jateng misalnya laporan Ganjar Pranowo terjadi surplus Beras dan Bawang Merah, sementara daerah lain minus; Dosmar, Bupati Humbang Hasundutan, melaporkan 2 minggu lagi akan panen bawang putih seluas 100 ha, sementara Maluku dilaporkan oleh Gubernur Maluku, Murad perlu bawang putih. 

Prof Nurdin Abdullah, Gubernur Sulsel melaporkan kerjasama penelitian benih. Sementara Sugiyanto Gubernur Kalteng tentang potensi lahan gambut untuk padi. Kerjasama antar kepala daerah PDI Perjuangan, juga ditempatkan dalam mata rantai pemasaran, dimana daerah yang surplus memasarkan ke daerah yang kurang. Inilah bentuk gotong royong antar kepala daerah PDI Perjuangan,” Hasto menjelaskan.

Lebih lanjut Hasto mengatakan seluruh instruksi Megawati Soekarnoputri berangkat dari apa yang disampaikan oleh Bung Karno, bahwa persoalan pangan adalah “urusan hidup matinya sebuah bangsa”. 

Karena itulah, Ia menambahkan, penggembangan penelitian di sektor pertanian harus dilakukan secara progresif sebagai penopang dari hulu untuk mewujudkan kedaulatan di bidang pangan. (Rn).

Senin, 11 Mei 2020

Akibat Covid 19 Pemerintah Mengambil Kebijakan

TRIBUNUSBANYUASIN.COM - Akibat Covid 19 Pemerintah mengambil kebijakan berupa bantuan antara lain;
1. PKH
2. BPNT
3. BLT Dana Desa
4. BLT Kementerian/kemensos
5. BLT APBD
6. Sembako APBN
7. Sembako APBD

Ini harus dibedakan supaya kalau mau protes tidak muncrat kembali;

PKH adalah program keluarga harapan, bentuknya uang tunai langsung masuk rekening masing-masing.

BPNT (dulu namanya Raskin) adalah Bantuan Pangan Non Tunai, bentuknya berupa Bahan Makanan yang disalurkan melalui Kios Desa yang ditentukan oleh bank Mandiri kerjasama TKSK kecamatan.

BLT Dana Desa adalah Bantuan Tunai dari Desa Masing-masing, (ingat bukan untuk kelurahannya tapi desa).
Besarannya 600 ribu per bulan direncanakan selama 3 bulan. Nah BLT dari Dana desa  perlakuannya ada 3;
I. Bagi Desa yg belum Cair Dana Desa Tahap I, maka diprioritaskan untuk BLT Covid 19.
II. Bagi desa yg telah cair Dana Desa Tahap I, namun belum habis dibelanjakan, maka diprioritaskan untuk BLT Covid 19.
III. Bagi desa yg telah cair Dana Desa Tahap I dan tlah habis dibelanjakan, maka segera bermohon Tahap II diprioritaskan untuk BLT Covid 19.

Pertanyaan, siapa yg dibantu BLT Dana Desa? Jawab: adalah warga desa yg penghasilannya terdampak Covid 19 dan bagi warga desa rentan sakit, atau sakit menahun. 
Dengan demikian ada Desa lebih duluan beri bantuan ada juga terlambat beri bantuan karena prosesnya tadi diatas itu Tahap I, Tahap II.

BLT kementerian Sosial adalah bantuan bentuk Tunai Berdasarkan DTKS Dinsos diperuntukkan bagi rata-rata perkotaan atau kelurahan dan juga Desa.

BLT APBD adalah juga bantuan Tunai Dari Dinas Sosial juga diperuntukkan bagi masyarakat yg belum Dapat BLT Dana Desa atau lainnya.

Sembako APBN adalah bantuan berupa bahan makanan yang bersumber dari pemerintah pusat langsung

Sembako APBD adalah juga bantuan berupa bahan makanan yg bersumber dari APBD provinsi dan Kabupaten.

Kesimpulan :
Ternyata bantuan itu banyak ... dan yang bertanggung jawab sendiri sendiri ...

1. PKH itu penanggung jawabnya kementerian sosial pusat ... data dari mereka .... desa memang tidak dilibatkan ... dan ada Pendampingnya looo ...

2. BPNT itu penanggung jawabnya Dinas Sosial Kab ... dan pembagiannya oleh Dinas langsung ... 

3. BLT DANA DESA ini baru jadi tanggung jawabnya pemerintah desa ... 

4. BLT PUSAT ini tanggung jawabnya  Kementrian Sosial pusat juga ...

Dan Semua Bantuan di harapkan tidak tumpang tindih atau ganda ..
🙏🙏🙏🙏

Minggu, 10 Mei 2020

Kasus KKN Pengaspalan Jalan Poros Desa Lubuk Karet, Taja Raya II dan Taja Mulya Kec Betung Sepanjang 12 KM, Senilai Rp 30,62 M, PT. AGM

SURAT PENGADUAN TINDAK PIDANA KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME KABUPATEN BANYUASIN 2020

Kasus KKN Pengaspalan Jalan Poros Desa Lubuk Karet, Taja Raya II dan Taja Mulya Kec Betung Sepanjang 12 KM, Senilai Rp 30,62 M, PT. AGM



BANYUASIN 11 MEI 2020

Perihal : Kasus KKN Pengaspalan Jalan Poros Desa Lubuk Karet, Taja Raya II dan Taja Mulya Kec Betung Sepanjang 12 KM, Senilai Rp 30,62 M, PT. AGM
Lampiran : Terlampir

Kepada Yth : 
Kapolda Sumsel,
Irjen. Pol. Prof. Dr. Eko Indra Heri, S, MM.
Di, Palembang.

Dengan Hormat,
Sebelum kami menyampai kan perihal surat di atas. perkenankan lah kami dari media massa online KeizalinNews.com Biro Kabupaten Banyuasin Sumsel menyampai kan ucapan selamat atas, dilantiknya Bapak sebagai Kapolda Sumsel, semoga tuhan yang maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada Bapak beserta keluarga terciptanya, Amin.
Ada adagium yang sangat terkenal dalam hukum pidana iaitu,”lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang benar”. adagium ini menisyaratkan bahawa ketika satu orang benar atau tidak bersalah dijatuhi hukuman, maka Runtuhlah Hukum Itu.

Menimbang :
a. bahwa pemberian pelayanan kepada masyarakat merupakan kewajiban bagi penyelenggara negara sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, yang pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat dalam rangka mewujudkan akuntabilitas publik, menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme;
b. bahwa hak untuk mendapatkan pelayanan merupakan harapan bagi setiap warga masyarakat atas permasalahan yang disampaikan pada penyelenggara negara guna mendapatkan penyelesaian secara tuntas;
c. bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan bagian dari penyelenggara negara berkewajiban untuk memberikan pelayanan atas keluhan dan pengaduan masyarakat guna mendapatkan penyelesaian dan kepastian hukum;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Mengingat:
1.UU Nomor 06 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin.

2.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Mengingat Pasal 5 ayat (2).

3.PERDA Kabupaten Banyuasin No 28 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin Tahun 2012-2032.

4.PP No 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

5.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (3)Pemerintahan Daerah dan Pasal 30 ayat (9).

6.Peraturan Menteri Dalam Negeri No 64 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Organisasi Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/ Kota.

7.Perda Kabupaten Banyuasin Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Perubahan Keempat atas Perda Kab Banyuasin Nomor 15 tahun 2008 tentang pembentukan organisasi lembaga teknis daerah kabupaten Banyuasin.

8.Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; 

9.Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Kewenangan Desa.

10.PERBUP Kabupaten Banyuasin Nomor 98 Tahun 2017 Tentang Peraturan Bupati (PERBUP) tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2018.

11.PP No 58 tahun 2005 tentang pengelolaan uang daerah

12.Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
13.Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4186);
14.Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3866);
15.Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia;

16.Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/20/MENPAN/11/2008 Tentang Petunjuk Penyusunan Indikator.

Atas dasar Pancasila dan UUD,45 dan konsep adagium ini terlahir dan dasar ini lah kami yang tergabung dalam lembaga, dan media masyarakat adat maupun nasional atas nama : Masyarakat Banyuasin Menggugat (MBM), Media KeizalinNews.com.
MBM, 
Media KeizalinNews.com. 



Menyampaikan permasalahan yang sanggat kongred dan krusial suda seyogyanya segerah untuk ditindaklanjuti secara hukum yang berlaku dan berkualitas, terkait tingginya angka KKN di lingkungan pemerintahan kabupaten banyuasin yang semakin hari semakin meningkat dengan cepatnya bahkan tindakan rasua tersebut yang dilakukan pejabat banyuasin sekarang ini suda melampaui batasan-batasan kewajaran. 

“Hingga pelaku koruptor suda tidak lagi merasa malu dan takut untuk terus-menerus korupsi, di segala bidang pekerjaan dan kegiatan (kalau tidak ada uang nya tidak mau kerjakan) karena, walaupun masyarakat umum mengetahui kejahatan tersebut to masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa masalahnya. 


Walaupun Dilaporkan ke pihak penegak hukum (Kepolisian,Kejaksaan) sama saja bunuh diri, karena terlapor tidak juga diproses hukum, diduga pihak penegak hukum (Asal ada Uang), suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari para koruptor itu sendiri, yang ada laporan kita tersebut tidak ditindaklanjuti dengan alasan, yang selalu dikatakan oleh pihak penegak hukum itu pada sang pelapor ialah “Karena laporan tersebut tidak memiliki bukti yang kuat” 

Selalu itu,.,..itu saja’ yang menjadi alasan sang pemegang keadilan. 

“Malah yang ada laporan itu dijadikan oleh oknum penegak hukum, dasar atau alasan mendapatkan bagian uang dari KKN yang sudah dilaporkan tersebut. walaupun laporan tersebut sudah melengkapi syarat-syarat dan mekanisme laporan namun itu lah alasan-Nya. Padahal kita semua tahu kalau pihak penegak hukum melalui lobih lobihnya suda di suap oleh terlapor Sungguh tragis dan miris nasib sang pelapor menjadi bulan-bulanan dan kondisi tersebut dimanfaatkan oleh seng penegak hukum untuk meraup uang dengan tidak ada resiko sedikit pun.. Saat ini Saya mewakili seluruh masyarakat banyuasin meminta Kepada Yth : Kapolda Sumsel, Irjen. Pol. Prof. Dr. Eko Indra Heri, S, MM.

“Untuk turun kelapang melihat kondisi yang sebenar benarnya yang terjadi di dalam bermasyarakat sosial dan beragama tidak ada kata-kata yang pantas mewakili kondisi saat ini rakyat Indonesia “ KRISIS” itu lah kata kata yang tepat buat masyarakat saat ini Rakyat Memanggil”,

1.2. Memperhatikan :
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 : Kemerdekaan berserikat berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan lisan, tulisan dan fikiran dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.

2. UU. RI. No. 28 Tahun 1999 :Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Dan Bebas Dari KKN.

3. UU.RI.No.20 Tahun 2001 : Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. UU.RI.No.30 Tahun 2002 : Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana kpr upsi melalui upaya Koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
5. PPRI No 71 Th 2000 : Tentang tata cara pelaksanaan dan peran serta masyarakat dan pemberian dalam pencegahan tindak pidana korupsi.
6. Undang-undang No 17 Th 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.

7. UU.RI.No.14 Tahun 2008:Tentang Keterbukaan Informasi Publik.

8. INPRES No.1 Tahun 2010 : Tentang Percepatan Pembangunan Nasional.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1.3. Penting Untuk Ditindak Sesegera Mungkin :
Banyaknya pengaduan masyarakat dan hasil tim investigasi yang tergabung di dalamnya iaitu : MBM, Media KeizalinNews.com langsung turun kelapangan melihat langsung di realisasi kan atau tidaknya :

DUGAAN ANGGARAN YANG DI KORUPSI :
Pengaspalan Jalan Poros Desa Lubuk Karet, Taja Raya II dan Taja Mulya Kec Betung Sepanjang 12 KM, Senilai Rp 30,62 M, PT Artha Graha Makmur (AGM), BERMASALAH



Ketika di temukan di lapangan pembangunan jalan tersebut hanya sepanjang 10 KM, yang seharusnya 12 KM, Pengaspalan jalan ternyata hanya beberapa kilometer saja lebih kurang 4 KM saja selebihnya bukan pengaspalan namun seperti kita lihat pada gambar pengecoran, Kamis (07/05/2020).

Poin Masalah yang berkapasitas merugikan negara pada pekerjaan tersebut adalah : Pekerjaan Pengaspalan Jalan Poros Desa Lubuk Karet, Taja Raya II dan Taja Mulya Kec Betung Sepanjang 12 KM, Senilai Rp 30,62 M, PT Artha Graha Makmur (AGM).P

PT AGM di lapangan tidak sesuai dengan kontrak yang sudah disepakati, yang bersifat menguntungkan berlipat2 pihak PT Artha Graha Makmur (AGM);
Harusnya Pengaspalan namun di lapangan hampir semua hanya Cor Beton;
Seharusnya 12 Kilometer, dibangun hanya ∆10 KM;
Tidak dilakukannya pengerasan terlebih dahulu sebelum di aspal/Cor;P
Behel (besi) sebagai tulang bedulang kuat coran tidak benar/ plastik tidak layak pakai; danK
Cor jelek, Agregat, batu split MakeUp (Cor beton jalan yang sedang dikerjakan sudah retak dan pecah, patah).

Dijelaskan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kabupaten Banyuasin Ardi, Pada kegiatan penandatangan kontrak digelar di Aula Dinas PUTR Kabupaten Banyuasin, Pengaspalan jalan poros Desa Lubuk Karet, Taja Raya II dan Taja Mulya Kec Betung sepanjang 12 Km Rp 30,62 M. dipimpin Kadis PUTR Ardi Arfani dan disaksikan oleh Tim TP4D dan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Kamis (26/12) beberapa waktu lalu. 

Ketika di temukan di lapangan pembangunan jalan tersebut hanya sepanjang 10 KM, yang seharusnya 12 KM, Pengaspalan jalan ternyata hanya beberapa kilometer saja lebih kurang 4 KM saja selebihnya bukan pengaspalan namun seperti kita lihat pada gambar pengecoran, Kamis (07/05/2020).

Potensi Kerugian Negara : Rp 30,62 M dari nilai kontrak dapat dirumuskan negara dirugikan Rp.15 M. belum lagi Anggaran Fiktif ??? Sesuai dengan Peraturan Bupati Banyuasin Nomor 55 Tahun 2018 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuasin Tahun 2019.

Ketujuh proyek pembangunan jalan tersebut sudah dianggarkan pada APBD Tahun 2019 dan sudah dikerjakan 100% terselesaikan sebagaimana yang sudah di undang kan pada Peraturan Bupati Banyuasin Nomor Tahun 2018 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuasin Tahun 2019.

APBD KABUPATEN BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN ANGGARAN 2019 DI DINAS PUTR.
1.03 . 1.03.02. 15 Program Pembangunan Jalan dan Jembatan 100% Rp.1.014.200.277.948 - 100% Rp.1.065.739.641.845.

1.03 . 1.03.02 . 15 . 01 Perencanaan Pembangunan jalan Tersedianya DED jalan 2 dok 400.000.000 1 kegiatan 420.000.000. 

1.03 . 1.03.02 . 15. 03 Pembangunan jalan Panjang jalan yang dibangun 20 Km Rp.648.876.850.000 20 Km Rp.682.168.042.500, 

Tapi kenapa pada akhir tahun 2019 ini Bupati Banyuasin mengatak klau 7 proyek jalan segera dilaksanakan. Proyek yang dibiayai melalui dana pinjaman Bank Sumsel Babel senilai Rp 288 Miliar padahal ke tujuh Proyek tersebut sudah dianggarkan pada APBD 2019.

Dari hasil investigasi di lapangan terkuak fakta dan kenyataannya Sangat mengejutkan rasa tidak percaya sampai seberani itu dalam menggunakan Uang atau Dana Pemerintah (rakyat) Tidak kami temukan atas kegiatan tersebut tim juga berusaha untuk menemui Kepala Dinas yang terkait namun saat hendak ditemui kepala Dinas PUTR tidak dapat di temui seakan akan mengelak untuk ditanya terkait pelaksanaan kegiatan yang tersebut.

1,4. Kendala dan Permasalahan yang Selalu Dihadapi atas Penegakkan Hukum :
PANCASILA dan UUD,45 Hak-hak dasar manusia Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukanNya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya. Pemerintah menjamin atas hak Institusi setiap warga negara untuk mendapatkan jaminan" 

Yang jadi permasalahan lagi baik berita maupun pengaduan dari masyarakat dijadikan pihak penegak hukum sebagai Suatu dasar atau memproses secara hukum yang terkait namun proses hukum nya hanya sampai tahapan damai ditempat (86) kolusi, kolaborasi antara pelaku korupsi dan oknum penegak hukum. ini semua masyarakat sudah sangat mengetahui yang membuat rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap Pihak penegak hukum itu semakin tinggi khususnya di Provinsi Sumatera Selatan ini.

Saat pelapor atau wartawan tanyakan atas tindak lanjutnya atas pemberitaan atau pelaporan atas suatu kasus, eh, malah oknum penegak hukum tersebut, (Polisi,Kejaksaan) bermacam macam alasan yang tidak masuk akal, dan alasan mereka tersebut yang bersifat melemahkan pelopor,.. salah ini,,, salah itu lah..kurang ini dan kurang itu lah kata si oknum, polisi atau kejaksaan. 

“Ini terjadi karena bagi mereka penegak hukum Free/tidak ada masalah sedikitpun padahal kembali ke tugas dan tanggung jawabNya seorang penegak hukum??..... Dapat disimpulkan dengan kebungkaman Instansi yang diberi Wewenang Oleh Pemerintah dan diatur dalam Per UU Yang berlaku merupakan suatu bukti keterlibatan oknum instansi penegak hukum tersebut.


1,5. Dasar Pembahasan :
1.Hak-hak dasar manusia. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya.
2.Undang-undang No 40/1999 tentang Pers.
3.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
4.Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.
5.Peraturan Kepala Kepolisian Kepolisian Negara Republik Indonesia No.7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi Dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas POLRI;
6.Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor;
7.Peraturan Kepala Kepolisian Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 21 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.

8.Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Dari Anggota Kepolisian Republik Indonesia.
9.Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Pasal 4 Perkapolri 14/2011 
Pasal 1 Angka 24 dan angka 25 jo. Pasal 5 huruf dan Perkapolri 14/2011. 

10. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
11. UU No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
12. UU No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.
13. Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
14. UU No.15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
15. UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi (KPK).
16. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
17. Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
18. Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.

1.14. Namun sayangnya saat ini belum ada tindakan yang berarti (penindakan tegas secara hukum) Kejahatan yang Terstruktur Sistematis dan Masif. Kalau sudah seperti ini kemana lagi kami rakyat ini mau mengadu untuk meminta keadilan demi hak-hak yang merupakan jaminan serta kewajiban pemerintah yang harus dipenuhi, pada setiap warga negara Nya, berupa hak mendapat kehidupan yang layak, hak atas mendapat jaminan perlindungan hukum, Kesetaraan dimata hukum di setiap masing-masing warga negara serta kedudukannya wajib menjunjung tinggi hukum, dan Pemerintah menjamin atas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seutuh-utuhnya”. namun sekarang ini pemerintah sendiri,lah yang menciptakan perbedaan itu, membuat Perbedaan dari sudut pandang : 
Uang,
Jabatan (Status Sosial), dan 
Beking. 


1.15. Diduga pelaku koruptor tersebut adalah BUPATI BANYUASIN SUMSEL H. ASKOLANI JASI
Kepala Dinas PU Tata Ruang
Pejabat Pemegang Kebijakan Anggaran (PPK)P
perusahaan, PT Artha Graha Makmur
Kepala Bagian ULP Banyuasin, dan
Kab, Banyuasin.

Yang Kuat Memangsa Yang Lemah, Yang Kaya Memakan yang Miskin, dan Yang Berkuasa Menindas Warga Negaranya.

Inilah Faktanya ketidak hadirannya Pemerintah pada saat rakyatnya membutuhkan asupan pertolongan atas perlindungan secara hukum, untuk mendapat keadilan, kehidupan yang layak serba berkecukupan. demi menjamin atas kewajiban pemerintah pada setiap warga negaranya lalu apa artinya negara hukum dan rakyat pemegang kedaulatan itu”. 

Dunia tidak akan kekurangan alasan untuk menyalahkan yang benar dan/atau untuk membenarkan yang salah. Bagaimanapun cerdiknya seseorang menyiasati kehidupannya, akhirnya ia akan menjadi orang yang kalah dan merugi juga, jika ia tidak mempunyai kejujuran dan keikhlasan dalam menjalani kehidupannya. Sesuatu yang baik untuk membangun kehidupan yang mulia dan bermartabat, tidak akan pernah tercapai, jika tidak memiliki tiga hal yaitu punya komitmen yang jelas, punya sikap konsisten, dan dilaksanakan secara terus-menerus dan berkelanjutan.

Ini lah cermin penegakkan hukum yang terjadi ditengah-tengah masyarakat selama ini, dapat ditarik kesimpulan, yang menjadi penentu salah satu perkara atau kasus adalah Uang, Jabatan atau status sosial, dan Beking.

Bukan karena salah atau benar hukum dan UU Peraturan yang menjadi alasan para pejabat yang memiliki tarif hukum itu sendiri. Dari kejadian ini bisa kita lihat jelas lalu dimana tegaknya hukum Itu dan dimana kepedulian dan tanggung jawab si pemegang keadilan.

DI KABUPATEN BANYUASIN SUMSEL TIDAK MENDAPAT PERLINDUNGAN DAN JAMINAN SEPERTI YANG BERBUNYI DI DALAM : PANCASILA, DAN UUD,45.

BANYUASIN 11 MEI 2020     
                 RADEN, RONI PASLAH
(MASYARAKAT BANYUASIN MENGGUGAT)


Tembusan :
Presiden RI,
Ketua DPR RI,
Menteri Dalam Negeri,
Menteri Keuangan, dan
Arsif Media KeizalinNews.com

Nama : Roni Paslah.
Alamat : Dusun 1 RT/RW : 04/01 Desa Tebing Abang Kecamatan Rantau Bayur Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
No.identitas,(KTP) : 1607111203820002 
Phone : +6282280023160
Email : tribunusbanyuasin@gmail.com
Sumber Dokumen :

Informasi yang termuat di dalam dokumen ini mungkin berisi informasi yang bersifat pribadi, rahasia dan tertutup, jika Anda bukanlah penerima yang dituju, Penyebaran, Distribusi atau meniru dengan keras DILARANG. Jika Anda menerima pesan ini tanpa disengaja, harap segera hubungi pengirim dan hapus material ini seluruhnya, baik dalam bentuk elektronik maupun dokumen cetak. Terima kasih.


TOPIK MINGGU

KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN

SURAT KEPUTUSAN : Nomor : SK/42/DEPIDER/BK/VI/2016. TENTANG KEPENGURUSAN BALADHIKA KARYA KABUPATEN BANYUASIN.  "MAJU TERUS PANTANG MUND...